Bab 5

1.7K 175 20
                                    

Tidak dapat dipungkiri bahwa bangunan lama selalu menawarkan nuansa nostalgia. Menarik jiwa yang ingin melepaskan beban sambil menikmati sisa masa lalu. Makanya tak heran kalau desa yang menawarkan keindahan otentik telah menjadi objek wisata yang diminati. Di antara orang yang tergoda keindahan itu, seorang gadis menjadi salah satunya.

Setiap kelokan di jalan tua itu menawarkan pemandangan berupa ornamen china yang menghiasi pintu-pintu bangunan. Di depan setiap bangunan, ada tembikar yang dijajakan sebagai cenderamata. Gadis itu melihat-lihat, bibirnya melengkung ke atas tiap kali ia mendapati barang yang menarik. Sudah ada tiga barang yang ia beli, dua jepit rambut kupu-kupu dan cincin dari batu giok.

Kaki jenjangnya lincah menyusuri jalan seorang diri. Sesekali melempar senyum pada pejalan kaki lain yang tidak sengaja bertukar pandang dengannya. Lelah berjalan, ia duduk di salah satu kursi yang terletak di depan sebuah rumah kosong. Tangannya meraih ponsel di saku, menekan beberapa tombol lalu menghubungi tunangannya di Korea.

"Halo."

"Apa kabar? Kau sedang sibuk?"

"Tidak. apa kau menikmati liburanmu di sana?"

"Tentu, tempat ini indah sekali."

"Benarkah? Aku ingin sekali ke sana bersamamu tapi kerja sama bisnis ini benar-benar membuatku tidak punya waktu untuk bersantai."

Gadis bergaun merah itu hanya tertawa maklum. Jarinya bergerak mengelus pelan gelang giok yang ia beli. "Aku membelikan sesuatu untukmu. Kau akan menyukainya."

Kali ini giliran sosok di ujung sambungan yang tertawa, "Aku jadi tidak sabar melihatnya. Kau ternyata tahu seleraku, ya."

"Tentu saja."

Obrolan menyenangkan itu berhenti sejenak ketika seorang pria lewat di hadapan gadis tersebut. Matanya mulai menyipit, memandang curiga pada pria asing itu. Jelas sekali ada dua kursi kosong di sana, tapi pria asing itu justru duduk disampingnya.

"Yunho, aku tutup dulu teleponnya. Sampai nanti."

"Baiklah, hati-hati di jalan. Aku mencintaimu."

Begitu sambungan diputus, gadis itu bergegas pergi.

"Mau kemana?"

Gadis pembawa payung itu tercekat, memaksa kakinya untuk bergerak semakin cepat ketika pria asing itu membuntutinya. Suara langkah kaki dari belakang sama sekali tidak terburu-buru. Terkesan santai tapi membuat kengeriannya meningkat. Gadis itu berusaha mengindahkannya. Sayang nasib buruk telah menjadi takdirnya kala langkah kaki mereka mengarah ke jalan kecil yang sepi. Pria asing di belakang sudah semakin dekat. Langkah kaki mereka membuat suara yang bersahutan memenuhi lorong lembap. Beberapa hiasan kertas merah bertinta emas bahkan robek dan menggantung di pucuk ranting pohon yang menjulur dari rumah.

Gadis itu kelimpungan, cemas. Ia melirik sekitar, berharap ada seseorang yang mungkin menolongnya. Sementara itu, langkah kaki di belakang terdengar semakin jelas dengan kecepatan yang tetap. Seakan tidak mengejarnya tapi terus berada di belakangnya.

"Mau ke mana kau? Disini tidak ada orang," kata suara asing itu. Pria asing itu membenarkan tudung hoodie-nya, kedua tangannya ia masukan ke saku, tempat ia menyimpan sapu tangan dengan kloroform.

Derap langkah gadis itu mengencang, berlari putus asa sepanjang lorong yang udaranya bergeming. Seolah menemui akhir waktu, gadis itu merasa jantungnya mencelos begitu menemui jalan buntu. Ia berhenti, mencoba melawan ketika tangan seseorang menutup hidungnya. Meski sinar matahari masih mampu menembus lorong yang lembab, tapi segalanya berubah gelap.

Fall, Fell, Fallen [YUNJAE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang