Kalau diperhatikan, Jeon Jungkook itu benar-benar nyaris sempurna. Pemuda itu memiliki perawakan yang tinggi dan kekar. Pendidikan strata satu-nya sudah selesai satu bulan yang lalu dengan nilai akhir yang memuaskan, dan ia tinggal menunggu waktu untuk bisa memegang kendali atas perusahaan Ayahnya. Ia juga dikaruniai paras yang menawan dan kulit mulus seputih susu. Setidaknya, ia bisa mendapatkan seorang gadis hanya dengan satu kali tatap.
Sekarang, jangankan menatap orang lain. Melihat sinar mentari pun ia sudah tidak mampu lagi. Tapi, ah, sudahlah. Tidak ada gunanya menyesali dan meratapi nasib sialnya. Mungkin Tuhan hanya sedang menguji batas kesabarannya saja.
Pagi ini, setelah selesai mandi dan hampir terpeleset karena sabun cair yang tercecer dilantai, Jungkook melangkah dengan tongkatnya ke arah lemari. Bibi Lee sudah mengelompokkan pakaiannya agar lebih mudah dijangkau.
Namun agaknya Jungkook melupakan sesuatu. Sebab saat ia hendak menanggalkan handuk yang melilit pinggangnya, ia mendadak mendengar jeritan tertahan milik seseorang dari arah ranjang.
"Hei, siapa disana?"
"A-aku Lalisa, Tuan Muda. M-maaf aku masuk ke dalam kamarmu tanpa mengetuk pintu. Aku hanya ingin menyiapkan pakaianmu hari ini." Oh, ya ampun. Tadi itu hampir saja Lisa menyaksikan sebuah pemandangan yang tak seharusnya ia lihat.
Jungkook terdiam sejenak. Ia hampir lupa kalau sekarang sudah ada Lisa sebagai asisten pribadinya. "Baiklah, sekarang dimana pakaianku?"
"Ditepi ranjang."
Jungkook segera menuruti arahan Lisa dan melangkah perlahan ke arah ranjang. "Lisa.."
"Ya, Tuan Muda?"
"Ah, kau masih disini rupanya."
"A-aku baru akan keluar, kok."
Jungkook malah terkekeh. "Kupikir kau akan menyaksikan aku berpakaian disini."
Lisa benar-benar merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia terdiam sejenak sembari memerhatikan cetakan abs yang terpampang nyata dihadapannya. Padahal ini bukan merupakan kali pertama ia melihat bagian tubuh seorang pria. Tapi tetap saja ia merasa gugup sekarang.
Tanpa banyak bicara, gadis Hwang itu memutuskan untuk keluar kamar dan menutup pintunya. Ia juga harus membantu menyiapkan sarapan pagi bersama pelayan lainnya sebelum akhirnya membawa Jungkook untuk turun ke meja makan.
Tapi setelah menunggu hampir lima belas menit, Jungkook tak juga keluar dari kamarnya. Hal itu membuat Lisa kembali mengetuk pintu dan memanggil namanya. "Tuan Muda.. Apa kau sudah selesai?"
Tak ada jawaban. Jadi Lisa memilih membuka pintu itu, untuk kemudian masuk ke dalamnya. Disana, Jungkook sedang meraba-raba dinding untuk mencari stop kontak disisi cermin, sementara tangan yang lainnya memegang sebuah hair dryer. Ia berencana ingin mengeringkan rambutnya, namun harus bersusah payah untuk menghubungkannya pada panel listrik.
Lisa menghembuskan napas pelan. Ia melangkah mendekat pada Jungkook. "Tuan, seharusnya kau bisa memanggilku. Biar aku yang mengeringkan rambutmu."
"Ini hanya hal kecil. Kupikir, aku bisa melakukannya seorang diri."
Lisa tak menghiraukan perkataan Jungkook. Ia lantas mengambil kursi dan membantu Jungkook untuk mendaratkan bokongnya disana. Kemudian gadis itu mulai melakukan pekerjaannya--memasang hair dryer dan mengeringkan rambut si pemuda dengan perlahan.
Selama beberapa waktu, hanya terdengar suara berisik dari alat pengering tersebut yang mengudara diruangan ini. Jungkook juga tidak mengajukan protes apapun saat diperlakukan seperti itu. Ia hanya membiarkan tangan Lisa menyentuh surainya dengan lembut.
Tak tanggung-tanggung, setelah selesai mengeringkan rambut Jungkook, Lisa juga sekalian menyisirnya dan menatanya menggunakan jari. Ia berputar, berhenti dihadapan Jungkook untuk merapikan rambut si pemuda yang menjuntai di dahinya.
"Selesai! Kau sudah rapih, Tuan Muda!" ucap Lisa, tampak puas dengan hasil kerjanya pagi ini.
Mendengar suara lucu itu, membuat Jungkook terkekeh gemas. Ia lantas bangkit, dan mencoba meraih kepala Lisa. "Apa warna rambutmu?" ujarnya sembari mengusap surai panjang Lisa.
Gadis itu mendadak membeku ditempatnya. Ia tidak bisa memberikan penolakan begitu saja. "Hitam. Warna rambutku hitam, Tuan Muda."
Jungkook kemudian beralih pada wajah Lisa. Ia meraba kening si gadis, lalu turun pada pipi--mengelusnya dengan ibu jari. "Pipimu tembam.." katanya sembari tersenyum lebar. "Menggemaskan sekali."
°°
"Hei.. Mau ceritakan sesuatu tentang kisah hidupmu?" tanya Jungkook, tiba-tiba. Setelah selesai menyantap sarapan, Lisa membawanya kembali untuk duduk dibalkon kamar--menjemur diri dibawah sinar matahari pagi.
Lisa tersenyum tipis. "Tidak ada yang menarik dalam kisah hidupku, Tuan Muda."
"Kenapa berpikir begitu? Setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Penting bagi kita untuk mensyukuri apapun yang telah didapatkan." jawab Jungkook. Ia berbicara demikian bukan berarti ia sudah mampu berdamai dengan takdirnya. Ia hanya tidak suka mendengar keputus-asaan seseorang meski dirinya sendiri sempat kehilangan harapan.
Maka Lisa memilih untuk mengalah. Gadis itu menarik napas pelan sebelum berbicara, "Setelah lulus sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk pergi merantau ke kota dan meninggalkan Kakek serta Nenekku yang tinggal di desa. Aku sudah banyak menjajal tempat kerja. Beberapa diantaranya adalah menjadi pegawai restoran, bekerja di sebuah toko sepatu, bahkan sampai bekerja paruh waktu disebuah klub malam."
"Banyak kesulitan yang sudah aku lalui. Aku juga harus membantu Kakek dan Nenek untuk melunasi banyak hutang-hutang yang ditinggalkan mendiang Ayah dan Ibuku sebelum mereka meninggal dunia karena kecelakaan. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Tuan Taehyung, dan ia merekrutku untuk menjadi asisten pribadimu." lanjut Lisa.
"Dimana kau bertemu dengan Hyung-ku?"
Tampak ada jeda selama beberapa saat, sebelum Lisa menjawab, "Dikantornya. Aku bekerja sebagai staff kebersihan disana."
"Oh, benarkah? Kenapa dia tiba-tiba merekrutmu untuk menjadi asistenku?"
"Entahlah, Tuan. Mungkin ia membutuhkan seorang asisten untuk menjaga adiknya dalam waktu cepat. Jadi ia memutuskan untuk merekrut salah satu karyawannya saja."
"Ahh, begitu.." Jawaban itu bisa diterima oleh Jungkook. Pemuda itu diam-diam tersenyum, menyadari bahwa ternyata Hyung-nya benar-benar memedulikan keadaannya.
Lalu Jungkook meraba meja kecil yang ada ditengah-tengah kursi mereka, mencari keberadaan tangan Lisa disana, untuk kemudian menggenggamnya. "Jangan bersedih. Kau akan mendapatkan gaji yang layak disini. Aku jamin, hutang-hutang keluargamu akan segera lunas dalam beberapa waktu ke depan."
Lisa sempat terkejut, tentu saja. Genggaman tangan tersebut juga ikut berpengaruh pada kinerja jantungnya yang mendadak berdegup secara gila-gilaan. Disisi lain, ia juga bisa melihat kurva manis dibibir Jungkook itu terukir begitu tulus.
Namun entah mengapa, justru gadis itu malah memasang guratan wajah sendu. Belah bibirnya lantas terbuka, melontarkan sebuah kalimat yang sedikit lancang--yang bahkan tak seharusnya ditanyakan kepada seseorang yang dipanggil sebagai Tuannya itu. "Tapi, Tuan.. Apa kau bahagia?"
Kini ada rasa getir yang tersirat pada senyuman hangat tersebut. Lisa juga bisa merasakan bagaimana Jungkook yang meremat tangannya secara tidak sadar. Pemuda itu kemudian menjawab, "Ya, Lalisa. Aku tetap bahagia meski Tae-Hyung bukanlah kakak kandungku."
KAMU SEDANG MEMBACA
on one's own | lizkook✔
Fanfiction[M] Semesta Jeon Jungkook itu gelap gulita. Tapi Lalisa Hwang datang membawa cahaya, memasang banyak lampion kecil berwarna-warni, dan menyuguhkan secangkir kebahagiaan untuk pemuda itu. Started : 130220 Finish : 060520