[Renjun]

2.1K 212 7
                                    

"Hey kalian tahu Huang Renjun?"

"Oh anak haram yang beruntung itu?"

"Cih! Menjijikkan! Kenapa dia harus sekolah disini? Kenapa dia tidak ikut mati dengan orang tuanya?! Menambah sampah masyarakat saja."

"Orang tua kandungnya saja sudah sangat menjijikkan, bagaimana dengan keturunannya? Menyedihkan."

"Harusnya dia mati saja!"

"Mati."



"Injun?"

"Eh? Iya kak?" Renjun tersentak pelan saat Junkai menepuk bahunya.

"Kakak lihat kamu melamun, ada apa?" Junkai mendudukan dirinya disamping Renjun, siap mendengar semua keluh kesah adiknya tersebut seperti biasanya. Namun sekian detik sudah berlalu Renjun belum juga membuka mulutnya. Tertutup rapat seolah memang tidak ada yang ingin disampaikan.

Junkai menatap bingung pada sang adik, tidak seperti biasanya pikirnya. Renjun yang dulu akan mengomel panjang saat dirinya sedang ada masalah atau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tapi sekarang, Renjun lebih banyak diam seolah membuktikan bahwa dirinya yang sekarang bukanlah Renjun yang dulu. Dewasa, tenang, dan kalem. Berbanding terbalik dengan Renjun yang dulu cerewet, cengeng, juga manja. Sebenarnya bukan hanya Renjun yang Junkai rasa kini berubah, kedua adiknya yang lain pun begitu. Sifat Jeno dan Jaemin juga tidak seperti dulu, Jeno juga menunjukkannya secara terang-terangan seperti Renjun. Sedangkan si bungsu, Junkai tahu Jaemin juga mengalami perubahan ini, hanya saja dia tidak terlalu mengeksposnya dihadapan Junkai. Jaemin masih bersikap seperti dulu dihadapannya, tapi Junkai tahu dibelakangnya Jaemin jauh lebih diam dari Jeno sebelumnya, Jaemin lebih sering terlihat cemas sambil menggigiti kuku jarinya pertanda memang ada hal atau mungkin banyak hal yang sedang ia khawatirkan sekarang.

Kehilangan, lagi.

Hanya itu dugaan kuat Junkai sekarang, dugaan penyebab sifat adik-adiknya berubah. Junkai tidak memungkiri, kali ini jauh lebih sakit daripada tujuh tahun yang lalu. Jika dulu pilar keluarga mereka yang hilang, kini pelita hidup mereka yang redup. Kini hanya mereka berempat yang dimiliki satu sama lain. Tidak ada pilar, maupun cahaya. Hanya mereka, ditengah kehancuran dan kegelapan.

Junkai berusaha keras untuk menjadi keduanya, menjadi pilar dan pelita untuk adik-adiknya. Hanya saja, Junkai rasa dia gagal. Karena bukan hanya mereka yang kehilangan pilar dan pelita, miliknya juga pergi. Pergi meninggalkan tiga berlian bersamanya. Berlian yang perlahan kehilangan kilaunya.

"Injun, hey ada masalah apa?"

"Tidak ada masalah apapun kak, aku hanya sedang merilekskan badan. Katanya terapi melamun bisa menenangkan jiwa." Renjun tersenyum teduh, senyum yang sama seperti biasanya jika dilihat secara nyata. Tapi Junkai tahu, ini bukan senyuman yang biasa Renjun tunjukkan.

"Benarkah?"

"Huum!" Renjun mengangguk kuat, seolah meyakinkan memang benar apa yang dia katakan barusan.

"Jeno besok berangkat, dia tidak ingin diantar, biasanya selalu merengek minta diantar kemana pun itu." Junkai tertawa pelan, "Kamu juga akhir-akhir ini banyak melamun, kenapa hm? Kalian berdua banyak berubah dalam hitungan hari, dan Jaemin pun begitu. Walau tidak kentara. Kakak sangat tidak berguna jika kalian menyimpan suatu hal sendirian."

Renjun memusatkan atensinya pada Junkai. Ia tersenyum dan menggeleng pelan seolah semua kata-kata Junkai tiada benarnya. Perlahan menggenggam kedua tangan Junkai, tangan yang selalu terulur untuk ketiga adiknya. Namun entah, di mata Renjun tangan itu mulai semu, tidak meyakinkan, dan terlihat rapuh untuk dijadikan pegangan. Dirasa tidak efektif untuk menenangkan hati sang kakak, Renjun mulai berangsur mendekati tubuh tegap Junkai dan memeluknya lembut, sembari mengistirahatkan kepalanya sendiri di bahu sang kakak.

"Aku sayang kak Junkai."

Keduanya sama - sama tersenyum, namun dalam konteks yang berbeda.










~TBC~

1 : 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang