[Question]

1.7K 218 9
                                    

Semuanya berkumpul, mereka berempat kembali berkumpul setelah berhari-hari menjalani hidup sendiri-sendiri. Masih memakai pakaian yang sama sejak pagi, setelan hitam tanpa aksesoris apapun. Pandangan sendu terlihat disetiap pasang mata keempat kakak beradik ini. Dua diantaranya masih dengan mata merah dan sembab, dan sisanya dengan raut tenang tapi dalam.

"Sekarang kita benar-benar berempat." Ketiga orang lainnya menoleh pada Jeno, Jeno tersenyum kecut setelahnya.

"Iya kan?" Tidak ada yang menjawab pertanyaan retoris yang Jeno lontarkan. Semuanya makin sunyi, bahkan Renjun sudah kembali berlinang air mata. Jaemin yang berada disampingnya hanya mampu mengusap bahu sang kakak sayang.

Jeno beranjak disusul Renjun dan Jaemin menuju kamar masing-masing, meninggalkan Junkai sendiri diruang tengah. Junkai mulai menundukkan kepalanya dalam diiringi dengan isakan samar yang mulai terdengar. Mengepalkan kedua tangannya mencoba menahan emosi yang tercipta. Marah, sedih, dan kecewa menyerang bersamaan tepat pada hatinya.

"Jeno benar, rumah ini sekarang benar-benar dihuni oleh empat orang. Tanpa ayah dan juga bunda. Aku yang harus menjadi peran pengganti untuk mereka, aku harus jadi ayah yang tegas, bunda yang penyayang, dan kakak yang kuat untuk mereka. Jangan lemah, jangan sampai ini membuat hidupmu semakin gelap, cukup, adik-adikmu harus punya hal terang dimasa depan. Jadilah penerang sementara untuk mereka, jangan sampai redup sebelum Renjun, Jeno, dan Jaemin menemukan cahaya hidup mereka masing-masing." Monolog Junkai pada dirinya sendiri. Cukup ampuh, apalagi karena Junkai memang orang yang lebih mendengarkan apa kata hatinya daripada apa kata orang.
.
.
.
.
Keesokannya suasana masih sama dengan hari kemarin, masih dirundung mendung duka cita. Jaemin yang biasanya selalu mengawali hari dengan tawa dan menjahili Renjun kini hanya diam menatap sarapannya tanpa minat. Renjun juga hanya duduk diam di samping Jaemin tidak berniat melayangkan protes karena menu sarapan yang tidak sesuai keinginannya. Dan Junkai yang biasanya sudah rapi di meja makan dengan setelan kantornya kini malah terdiam di depan pintu kamar Jeno, menunggu sang adik yang tak kunjung keluar padahal hari sudah mulai siang. Meski mereka sepakat untuk tidak berangkat kerja dan sekolah tapi Jeno yang belum keluar kamar padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh bukanlah hal yang biasa terjadi.

"Jen, waktunya sarapan."

Tidak ada sahutan, Junkai jadi bingung sendiri. Kalau saja Renjun yang seperti ini akan mudah untuk membujuknya, tapi ini Jeno, pertama kalinya dia seperti ini dan Junkai tidak tahu harus melakukan apa.

Junkai akhirnya menyerah, tidak peduli dengan Jeno yang akan merasa terganggu nantinya, ia langsung membuka pintu kamar Jeno dan mendapati adiknya tengah membelakanginya dengan ponsel tepat ditelinga.

"Hm iya iya, aku akan ikut."

"Jen, sarapan." Jeno langsung berbalik begitu ia mendengar suara kakaknya itu. Setelah mematikan sambungan teleponnya, Jeno langsung menyusul Junkai menuju ruang makan dimana Renjun dan Jaemin sudah menunggu disana.

Suasana di meja makan hening, mereka berempat fokus pada sarapan masing-masing. Meja makan yang biasanya ramai sekarang malah berbanding terbalik.

'Sama seperti tujuh tahun yang lalu'

"Lusa aku akan berangkat ke Amerika untuk ikut perlombaan dance bersama team ku." Jeno langsung angkat suara tanpa menoleh pada siapapun yang ada disana. Junkai yang pertama merespon langsung mengangkat satu alisnya bingung.

"Kenapa mendadak sekali?"

"Ini sudah direncanakan sejak enam bulan yang lalu, niatnya aku akan meminta izin minggu kemarin pada kakak tapi karena kita sedang dalam kondisi yang tidak baik jadi baru kali ini aku menyampaikannya." Jeno membereskan peralatan makannya lalu menyenderkan punggungnya pada kursi sambil menatap tepat pada mata Junkai.

"Apa tidak bisa diundur? Ini terlalu mendadak, bahkan kita masih dalam suasana berkabung Jen." Junkai manautkan kedua alisnya dengan tatapan tak setuju pada Jeno.

"Terserah apa kata kakak, aku akan tetap berangkat, dengan atau tanpa persetujuan dari kakak." Merasa selesai dengan topik pembicaraan mereka, Jeno langsung meninggalkan ruang makan dan kembali ke kamarnya dengan raut wajah yang semakin mendatar disetiap langkahnya.

"Kak,"

Junkai yang tadinya terfokus pada Jeno langsung mengalihkan pandangannya pada si bungsu Jaemin yang sedari tadi terus menatap kakak dan saudaranya berdebat dan tanpa sadar melupakan sarapannya.

"Hm?"

"Jangan melarang Jeno melakukan apapun, terutama untuk sekarang ini. Bisa kan, kak?" Tanya Jaemin dengan pasti namun ragu pada akhirnya.

"Kenapa?" Dari sekian banyaknya kata yang terkumpul di kepalanya, hanya kata itu yang terucap dengan baik oleh Junkai saat ini.

"Aku hanya takut Jeno akan jauh dari kita."  Jaemin tersenyum simpul sambil mengaduk piringnya, tanpa ada niatan untuk melihat reaksi sang kakak atas pernyataannya tadi.

Junkai paham arti dari kalimat dan senyuman Jaemin saat ini, sangat amat paham. Yang tidak Junkai pahami adalah kepalan tangan Renjun disamping piring sarapannya, bahkan mungkin Junkai tidak tahu akan hal ini.









~TBC~

Masih merasakan getarannya gak gais? Hehe
Sorry ya baru sempet update, baru mood sekarang ㅠㅠ
Btw, ada yang masih setia menunggu fanfic berdebu ini?

1 : 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang