"Serius? Kamu bisa ngerjain dalam sehari? 8 jam kerja doang?" Aksa masih tidak percaya. Aku bercerita padanya kalau hari ini menganalisis data tinggi muka air menggunakan HEC-RAS. Dari pagi sampai jam pulang kerja.
"Iyalah. Fau gitu loh," kataku membanggakan diri sendiri.
Aksa melirikku sekilas kemudian berkata, "gak mungkin."
Di dalam mobil kami berdebat. Dia ngotot gak percaya, aku juga ngotot dengan apa yang ku katakan.
"Pasti bukan kamu sendirian kan? Dibantu orang lain. Untuk bendung sekelas ini minimal dua kilo meter. Dibagi tiap 50 meter tiap STA. Belum kamu harus bikin pemodelan penampang, isi cross section data sampai mata mau copot. Setidaknya dua sampai tiga hari dugaanku," dalam argumen saja Aksa masih pakai perhitungan.
Tawa ku pecah. Ok, aku mengalah. "Lain kali nikmatin aja kalau aku ajak bercanda," kataku. Lagi pula aku tidak bohong. Kan aku bilangnya kalau aku ngerjain tugas itu dari pagi hingga jam pulang kantor. Hanya itu.
"Sebenarnya sudah sebagian dikerjakan Mas Ridwan, karena istri Mas Ridwan lagi lahiran dia gak bisa datang. Aku yang lanjutin deh," jelasku. Kali ini Aksa hanya manggut-manggut mengerti.
Mereka berdua tidak langsung pulang ke rumah. Ada acara makan-makan di rumah orang tuanya Fau. Yang diundang hanya keluarga dari kedua belah pihak saja dalam rangka kehamilan Fau. Terlambat sih diadakannya, itu semua karena menunggu Bundanya Aksa pulang dari Bali.
"Aku nyalain lampunya ya," kata Fau meminta ijin terlebih dahulu, takutnya saat menyetir Aksa kesilauan. Mereka terjebak macet. Karena tidak sempat pulang dulu ke rumah, wajah Fau kusam, bedaknya sudah pudar, lipsticknya juga tidak kentara lagi.
Bermodalkan kaca di sun visor, Fau menambahkan bedak di wajahnya, tak lupa wanita itu mengaplikasikan lagi lipsticknya. Kalau dulu Fau kurang percaya diri memakai warna agak ngejreng, sekarang ada kemajuan sedikit setidaknya warna bibirnya sedikit lebih merah. Kalau hanya memakai warna natural, Fau pikir dirinya terlihat seperti orang sakit.
"Sudah cantik belum?" tanya Fau, wanita itu mengerling dan tersenyum pada Aksa. Bukan maksud menggoda pria itu. Dia senyum karena ingin memperlihatkan merah-merah yang ada di pipinya.
Aksa tidak menjawab. Pria itu malah balik bertanya, "sudah kelar kan make up nya? Silau banget."
Fau menahan senyumnya. Wanita itu meninju pelan lengan Aksa, "kamu bisa aja ih."
"Hah?" Aksa kebingungan. Lagi nyetir. Fau nyalain lampunya kelamaan, banyak mobil dari arah berlawanan yang mengarahkan lampu ke mereka. Kegiatan menyetirnya terganggu karena wanita itu tak kunjung selesai berkaca. Padahal pakai bedak sudah, tapi pas ngaca ada yang sedikit di hapus. Belum puas, tambah lagi bedak di pipi. Kapan kelarnya?
"Kamu gak ngerti atau pura-pura gak ngerti?" suara Fau berubah. Semenjak wanita itu hamil suasana hatinya cepat berubah-ubah. Lebih sensitif, galaknya juga bertambah.
Aksa menerka-nerka apa yang salah. Aha.. dia mengerti. "Pede banget dikatain silau," kata pria itu gemas sambil mencubit hidung Fau. Pasti Fau pikir Aksa sedang memujinya.
"Sudah kan acara dandannya? Mobil kita kayak aquarium kalau dilihat dari luar," Fau lalu mematikan lampunya. Butuh satu jam hingga mereka tiba di rumah orang tuanya Fau. Sebelum turun Fau kembali berkaca. Dia ingin memastikan tidak terlihat kusam, setidaknya kalau dekil yang malu dia, suaminya, dan orang tuanya juga. Apalagi mobil orang tuanya Aksa sudah terparkir di sana.
"Ya Allah... Wajah kamu gak akan berubah Fau, buruan turun," Aksa sampai membukakan pintu untuk wanita itu karena tak kunjung turun dari mobil. Fau menatap pria itu meminta pendapatnya. Aksa mengangguk sekali, pria itu pikir Fau sudah tahu artinya. Tetapi rupanya Fau ingin jawaban secara lisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Same Office with Wife (Revisi)
RomanceVERSI LAMA -AKAN DILANJUTIN KOK, TAPI SETELAH SAME CAMPUS WITH WIFE TERBIT - YANG INI SAYA UNPUBLISH KARENA CERITA SEBELUMNYA (SAME CAMPUS WITH WIFE) AKAN TERBIT. ADA BEBERAPA PERUBAHAN DI CERITA ITU, JADI PADA CERITA YANG INI AKAN ADA BEBERAPA PERU...