(Part 3) Menari Di Hari Pernikahan

3.7K 148 1
                                    

Setelah cukup lama berteduh menanti hujan reda, akhirnya cuaca mulai sedikit terlihat terang. Hujan masih turun tapi hanya rintik-rintik geeimis saja. Karena memang sisa perjalanan hanya tinggal sedikit lagi, akupun nekat menerobos gerimis supaha lekas sampai ditempat Ratih supaya bisa segera mengisi perut yang sudah sangat lapar.

Bertahun-tahun tidak berkunjung kerumah Ratih ternyata tidak ada perubahan sama sekali yang terlihat di kampungnya. Perkebunan pisang yang cukup luas milik bapaknya Ratih masih tetap asri dilihat. Aku tak tahu beberapa petak tanah ini sudah berpindah kepemilikan atau belum. Tapi sepertinya jika memang sudah berpindah kepemilikan seharusnya pohon-pohon pisang ini sudah disulap menjadi bangunan-bangunan rumah.

Dari jarak sekitar 100 meter aku melihat beberapa tenda memang sudah mulai didirikan di rumah Ratih. Dan benar saja, rasa kaget serta penasaranku karena mendengar ucapan dari anak kecil yang aku temui dijalan tadi terjawab sudah saat ini. Ada bendera kuning berkibar di pagar rumah Ratih. Melihat bendera kuning itu tanganku menjadi lemas, kecepatan motorku berkurang karena genggaman tanganku juga sedikit melemah.

Rumah Ratih memang bisa dibilang paling luas diantara rumah-rumah warga sekitarnya. Bapaknya memang juragan buah yang cukup sukses dengan komoditas utama yang dimiliki adalah pisang. Kesuksesannya tersebut terlihat dari bentuk dan posisi rumahnya yang dikelilingi oleh perkebunan pisang miliknya pribadi. Tidak salah kalau tenda pernikahan yang didirikan juga menurutku sangat besar untuk ukuran hajat di perkampungan.

Sesampainya dirumah Ratih, aku langsung menghampiri seseorang yang bagiku sangat tidak asing. Sedari tadi dia hanya melihat-lihat para pekerja yang memasang tenda layaknya seorang mandor. Benar saja dia adalah Adit, teman sekolahku juga semasa SMA. Hanya saja ketika kelas 11 dia pindah sekolah karena harus ikut ayahnya pindah kerja ke luar kota.

"Dit?" tanyaku sambil menepuk punggungnya pelan. Adit sedikit terkejut dan menatapku perlahan. Mungkin dia masih mengingat-ingat.
"Lu ibeng ya?" tanyanya balik
"Iya Dit, wih udah lama ga ketemu udah jadi mandor aja nih"
"Hahaha, lumayan lah beng biar bisa ngasih makan anak istri"
Adit memang sudah berkeluarga, sekitar 2 tahun setelah lulus sekolah sempat terdengar kabar bahwa Adit menghamili pacarnya sehingga secara terpaksa dirinya harus menikahi pacarnya dan kini mengurus anaknya tersebut. Beruntungnya ayah dari istrinya memang seorang wedding organizer kampung yang cukup tersohor karena cukup sering membantu warga kampung yang ingin menikah namun hanya memiliki sedikit uang saja. Adit mungkin meneruskan usaha mertuanya dengan konsep yang lebih modern terlihat dari apa yang ia suguhkan saat ini di pernikahan Ratih.
"Mantaplah dit, tapi yang ini kayaknya gede banget nih dit. Bisa stok makan anak istri 5 bulan nih kayaknya, hahaha" kataku sambil tertawa.
"Hahaha iya beng, ini request dari bos Asep-nya langsung" jawabnya .

Adit lalu membawaku ke satu rumah yang tidak terlalu besar namun cukup bagus terletak tepat dibelakang rumah Ratih. Sesampainya disana ia langsung menyuguhkan makanan, katanya dia memang dipesankan oleh Ratih untuk mengantarku kerumah ini dan menyuguhkan makanan begitu aku sampai sini. Adit yang sedari tadi sibuk dengan anak buahnya pun akhirnya ikut menemaniku makan sambil saling bercerita tentang perjalanan hidupnya pasca menikah dan memiliki usaha WO rintisan mertuanya. Disamping itu Adit juga bercerita bagaimana akhirnya Ratih memanggilnya untuk mengurus acara pernikahannya.

"Beng, lu tau ga kalo calonnya Ratih ini duda?" tanya Adit tiba-tiba dengan suara yang sangat pelan tapi sangat jelas terdengar olehku yang duduk berhadapan dengannya.
"Eh seriusan lu? Masa sih dit?" aku balik tanya saking makin penasarannya dan rasanya aku makin jadi penasaran dengan semua keanehan yang terjadi secara perlahan.
"Jadi gini, Beng. Bos Asep (Calon mempelai pria) ini pemborong buah-buahan yang disuplai dari bapaknya Ratih. Istrinya dulu sinden, tapi meninggal 1 tahun yang lalu karena serangan jantung tiba-tiba waktu pentas nari di balai desa" cerita Adit sesekali terhenti karena suapan makanannya. Tapi ia sepertinya mau bercerita banyak, jadi aku hanya terdiam sambil sesekali mengangguk supaya Adit terus melanjutkan ceritanya.
"Nah dari istri yang sinden ini bos Asep ga punya anak sama sekali selama 3 tahun menikah." lanjut Adit.
"Eh tapi gimana ceritanya bapaknya Ratih bisa mau nikahin anaknya sama bos Asep itu, Dit?" saking penasarannya aku mulai bertanya kepada Adit.
"Gue gatau sih beng gimana tadinya, tapi yang gue denger dari pekerjanya Bos Asep nih ya, Pak Ade (Bapaknya Ratih) itu pernah diborong pisangnya kurang lebih 5 hektar sama Bos Asep tapi waktu itu belum masa panen. Nah karena Pak Ade memang sedang butuh duit banyak waktu itu entah buat apa dia malah minta uang muka 3 hektar ke Bos Asep seminggu sebelum panen" jawaban Adit tersendat karena ia makan kerupuk.
"Sayangnya, ketika besoknya panen kebun Pak Ade malah kebanjiran dan semua pohon pisangnya membusuk beserta pisangnya. Disitu Pak Ade rugi besar sedangkan uang muka 3 hektar yang sudah dibayar ternyata sudah terpakai entah untuk apa" lanjut Adit.
"Jadi Ratih dipake buat bayar hutang ke Bos Asep gitu maksud lu Dit?" tanyaku memotong karena tiba-tiba saja aku seperti menduga hal yang aneh.
"Gue gatau detailnya gimana, Beng. Tapi bisa jadi itu juga ada benernya sih." jawab Adit. Aku kaget dan hampir saja tersedak makanan. Begitu teganya ayah Ratih menggunakan anaknya untuk membayar hutang. Tapi masih banyak kejanggalan lain yang aku harus tau jawabannya.

Makan siang selesai. Adit kembali membereskan perlengkapannya dan hendak kembali menyelesaikan pekerjaan memasang tenda. Dari jendela, aku liat seorang pria berjalan dengan Ratih dan seorang remaja wanita dari luar rumah menuju kedalam rumah Ratih dengan membawa koper, sepertinya itu gaun pernikahan mereka dan lelaki itu sepertinya adalah Bos Asep. Tapi remaja wanita itu sepertinya tidak begitu asing, namun entah siapa.

Sebelum Adit keluar ruangan, aku memanggilnya lagi. Adit mendekat seolah tahu bahwa aku akan membisikkannya.
"Dit, kalo ibunya Ratih beneran meninggal?" kataku ditelinganya membisik.
"Gue selesein kerjaan gue dulu beng, nanti gue ceritain ke lu yang gue tau" jawabnya sambil perlahan kembali ke tempat kerjanya.

Bersambung...

MENARI DI HARI PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang