(Part 11) Menari Di Hari Pernikahan

3.2K 134 1
                                    

Kematian memanglah sahabat sejati, tatkala yang lain menjauh niscaya ia mendekat.

Hatiku tak hentinya meringis mendengar secara langsung perjalanan kematian orang-orang yang aku kenal meski tidak begitu dekat. Sudah hampir dua jam aku dan Adit berbincang terkait kematian. Tak terasa kini malam sudah semakin dingin. Namunn tidak sedingin apa yang aku pikirkan. Beberapa kejadian luarbiasa yang Adit ceritakan panjang lebar membuat pikiranku justru semakin rumit.

Ditengah perbincangan antara Adit dan aku, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah Ratih. Waktu itu jam 11 dan semua orang sudah mulai beristirahat demi mempersiapkan diri untuk acara besok.

"Aduuuhhh! Sakiiiit!" suara teriakannya sangat keras sampai terdengar dari luar rumah. Tak salah lagi, itu adalah suara teriakan Ratih.

"Beng, Ratih Beng!" Adit langsung merespon dengan lari menghampiri Ratih yang ada didalam rumah. Tangannya menarik bajuku, namun ia sampai lupa dengan sendalnya. Aku tahu dia pasti sangat terkejut. Akhirnya akupun ikut berlari mengejar Adit.

Sesampainya dirumah Ratih, aku dan Adit langsung menuju salah satu kamar yang pintunya terbuka. Didalam terlihat Pak Ade yang tengah duduk berusaha menenangkan Ratih yang sedang terbaring sambil memegang dadanya. Sesekali Ratih berguling ke kanan atau ke kiri. Kakinya bergerak tak beraturan seperti orang yang tengah mengamuk. Matanya sangat merah. Dan seluruh bajunya basah dibanjiri keringat. Mulut Ratih tak henti-henti meringis mengucap kata sakit.

"Sakit pak!" teriaknya
"Sabar ya dek, bapak telponkan pak ustadz dulu" Pak Ade terlihat sangat panik. Adit langsung menghampirinya dan ikut membantu Pak Ade menenangkan Ratih. Begitu Adit datang, Pak Ade langsung mengambil Handphone dan menelpon seseorang. Mungkin ustadz yang kemarin, pikirku.

Sementara yang lain sibuk membantu menenangkan Ratih, aku justru masih terdiam di pintu sejak tadi. Pandanganku teralihkan ke sudut barat kamar Ratih. Mataku sangat jelas melihat ada sosok Putri. Ia terdiam memandangi kakaknya yang mengamuk kesakitan. Kali ini wajahnya tidak begitu secantik didalam mimpi. Wajahnya kembali terlihat sangat putih pucat. Rambut panjangnya terurai seperti tidak terurus. Matanya sembab dengan kantung mata yang menghitam. Aku tak mengerti apa maksudnya datang dan hanya memandangi kakaknya yang tengah kesakitan.

Sambil terus mengucap istighfar didalam hati, kuberanikan diri melangkahkan kaki untuk menghampiri Putri. Ketika jaraknya hanya tinggal 2 meter, Putri tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menatapku dengan pandangan yang kosong. Langkahku terhenti sejenak. Kulihat mulutnya seperti terbuka dan mau mengucap sesuatu kepadaku.

"Assalamualaikum" tiba-tiba saja suara salam begitu keras mengagetkanku dibelakang. Dengan reflek aku langsung membalikkan pandangaku kearah pintu. Kulihat Pak Ustadz datang dan langsung menghampiri Ratih yang tengah ditenangkan oleh Adit dan Pak Ade. Aku kembali membalikkan pandanganku ke sudut kamar tetapi tiba-tiba saja Putri sudah menghilang entah kemana. Kususuri seluruh sudut ruangan dengan pandanganku dan tetap saja kedua mataku tidak menemukan sosok Putri sama sekali.

"Beng, buru sini bantuin!" suara Adit menghentikan pencarianku. Dari tatapan ekspresi wajahnya, Adit sepertinya juga tahu apa yang terjadi pada diriku barusan. Akupun menghampiri mereka dan langsung membantu menahan kaki Ratih agar tidak menendang kesana kemari.

Kudengar Pak Ustad membacakan beberapa ayat Al-Qur'an sambil memegangi kening dan urat nadi ditangan Ratih. Ratih makin menjerit tak karuan. Urat lehernya seperti terlihat ingin keluar. Pandangannya tajam menatap keatas dengan bola mata yang entah mengapa menurutku sangat hitam pekat. Kedua kakinya yang aku pegang hampir saja terlepas saking keras pergerakannya. Pak Ustad perlahan menggerakkan tangan yang memegangi kening Ratih mengusapnya sampai ke dagu.

"Sakiit!" teriak Ratih dengan suara awal yang keras lalu makin mengecil suaranya karena tertutup oleh usapan tangan Pak Ustad. Itu mungkin menjadi teriakan yang terakhir saat itu.

Mata Ratih terpejam namun nafasnya masih begitu cepat dan tak beraturan. Pak Ustad meminta Pak Ade mengambilkan segelas air putih lalu memposisikan Ratih duduk agar tidak kesulitan untuk minum. Setelah dibacakan doa yang entah apa oleh Pak Ustad, segelas air itupun diminumkan kepada Ratih. Matanya mulai terlihat normal, nafasnya pun sudah perlahan lebih tenang. Hanya saja mungkin seluruh tubuhnya masih begitu lemas. Ketika aku mulai melepas peganganku dari kedua kakinya, tiba-tiba saja Ratih batuk luar biasa dan keluarlah dari mulutnya sebuah cairan yang sangat hitam. Keluarnya memang hanya sekali, namun cairan hitam itu menyebar kemana-mana saking banyaknya.

"Istighfar ya dek" Kata Pak Ustad menenangkan sambil mengusap-usap punggung Ratih. Mata Ratih mengeluarkan air mata. Mulutnya sedikit bergerak seperti mulai beristighfar namun tak ada suara. Ia terlihat begitu lemasnya.

Tak lama kemudian dua orang wanita yang tak lain adalah sepupunya Ratih datang menghampiri kami. Mereka lalu membantu membangunkan Ratih dan memindahkannya keatas tempat tidur serta membersihkan lantai yang kotor. Aku, Adit, Pak Ade dan Pak Ustad lalu keluar kamar karena Ratih akan segera digantikan baju lalu istirahat.

Adit menyeretku hingga kami berdua keluar rumah. Padahal aku masih ingin didalam sebentar saja untuk mendengarkan apa yang tengah diobrolkan antara Pak Ade dengan Pak Ustad.

"Beng, Putri ngomong apa sama lu tadi?" tanya Adit berbisik. Nafasnya masing tegang. Sementara aku hampir saja terjatuh karena terlalu kuat ditariknya. Aku masih terdiam seakan bingung akan berbicara apa kepada Adit. Aku sendiri belum sempat mendengar apa yang diucapkan Putri.

Bersambung...

MENARI DI HARI PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang