(Part 4) Menari Di Hari Pernikahan

3.6K 153 1
                                    

Waktu terus berlalu, setelah selesai makan siang bersama Adit dan membereskan perlengkapan pribadiku di rumah yang katanya disediakan untukku selama tugasku ini, aku lalu bergegas membersihkan diri dan bersantai hingga sore tiba. Rumah ini tidak terlalu luas, ada 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Hanya saja ketika dulu aku sering mampir kesini, bangunan rumah ini memang belum ada dan setahuku hanya sebuah halaman tempat Pak Ade dan keluarganya bersantai di kala sore sambil memandangi kebun pisang miliknya.

Masih banyak pertanyaan aneh yang belum kutemukan jawabannya. Tentang kematian ibu dan adek Ratih yang aku sendiri bahkan tidak diberi tahu, hingga sikap Ratih yang berubah. Bahkan saat kulihat langsung lewat jendela siang tadi jelas sekali bahwa tatapannya begitu kosong seperti bukan Ratih yang aku kenal. Lalu yang terakhir, anak remaja wanita yang tadi ikut berjalan bersama Ratih dan Bos Asep. Mungkinkah itu anak Bos Asep? Tapi kata Adit Bos Asep tidak memiliki anak. Atau mungkin itu anak dari istri yang lain? Ah entahlah.

Panas terik di tempat ini mulai memudar, hari sudah berganti sore. Adit mulai berhenti bekerja dan berjalan menghampiriku yang sedang bersantai menikmati sebatang rokok.

"Udah kelar dit?" tanyaku sambil memberinya segelas air. Wajah lelahnya cukup jelas menandakan bahwa ia kehausan.
"Udah nih beng, tinggal ngurus kursi pelaminan aja. Agak ribet soalnya Bos Asep minta dekorasinya cukup pake bunga melati sama selendang hijau dan kuning. Untung gua udah kepikiran mau digimanain" Jawabnya sambil merebahkan diri di lantai samping aku duduk. Penjelasannya cukup aneh tapi aku tidak mau memperpanjang urusan itu dulu. Aku langsung kembali pada pertanyaanku yang belum sempat terjawab.

"Gimana yang tadi jawabannya dit?" tanyaku langsung.
"Jawaban apa? Ibunya Ratih?" Aku tidak menjawab hanya menganggukan kepala.
"Gini Beng. Sepengetahuan gue, ibunya Ratih sebelum meninggal itu sempet berantem sama Pak Ade. Dia kagak setuju kalo Ratih mau diminta sama Bos Asep buat jadi istrinya. Dia malah lebih memilih memberikan kebunnya untuk membayar kerugian dari bisnis antara Pak Ade dengan Bos Asep" kata Adit dengan volume suara yang sangat pelan seakan ini rahasia yang tidak boleh didengar oleh siapapun.

"Sayangnya, Bos Asep tidak terima dan lebih memilih Ratih dibanding tanahnya Pak Ade. Pak Ade tidak punya pilihan lain, uang muka yang dulu diberikan oleh Bos Asep katanya sudah terpakai untuk membayar hutang membangun rumah yang lu tempatin ini". Jelas Adit.

"Tapi Dit, ini apa hubungannya dengan kematian ibunya?" potongku karena makin penasaran.
"Entahlah, setelah akhirnya tetap diputuskan bahwa Ratih harus menikah dengan Bos Asep, ibunya sempat bersumpah bahwa dia tidak akan datang di pernikahan Ratih bahkan mau membawa kabur Putri (Adik Ratih) pulang kampung ke Garut". Ceritanya terpotong sejenak, Adit mengambil sebatang rokok milikku lalu melanjutkan pembicaraan.

"Seminggu setelah undangan disebar, tiba-tiba ada kabar bahwa ibunya Ratih meninggal diperjalanan saat menjemput Putri pulang latihan tari. Mereka berdua terlibat kecelakaan tunggal jatuh ke gorong-gorong dan meninggal ditempat"
"Astaghfirullah, ibu" aku beristighfar pelan. Tak terasa air mata mulai mengalir di pipi membayangkan bahwa apa yang ibu bilang tidak akan hadir di pernikahan anaknya menjadi kenyataan.

"Bukan hanya itu, setelah pemeriksaan rumah sakit, ternyata sebelum kecelakaan ibu Ratih sempat terkena serangan jantung lalu kehilangan kendali dan mengarahkan motor ke gorong-gorong bersama dengan Putri"

Aku tak hentinya menitikkan air mata, membayangkan wajah imut dan cantik putri dan baik hatinya ibu Ratih harus dipanggil Tuhan secepat itu. YaAllah.

Obrolan terhenti oleh suara panggilan Bos Asep untuk Adit. Bos Asep berdiri di jarak 20 meter bersama dengan Ratih lalu tak lama kemudian Adit menghampiri mereka sedangkan Ratih malah berjalan menghampiriku. Aku lekas mengusap air mata seolah tidak ingin diketahui bahwa aku baru saja menangis.

"Ibeng udah makan?" tanya Ratih. Tatapannya masih kosong, nada suaranya sudah berbeda.
"Eh, udah tih. tadi makan bareng sama Adit". Adit terlihat tengah membicarakan soal lampu penerangan dan pengeras suara dengan Bos Asep.
"Yaudah nanti makan malem Ratih yang anter ya" lanjut Ratih lalu berbalik berjalan kembali ke arah Bos Asep. Aku hanya mengangguk dan berfikir semoga saja nanti malam aku memiliki sedikit waktu untuk ngobrol dengan Ratih.

Bersambung...

MENARI DI HARI PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang