Ribuan kata keluar dari sebuah buku yang tengah kubuka. Terkadang, aku berpikir bahwa 'kata' adalah sesuatu yang menarik. Hanya dengan kata-kata, orang bisa down. Hanya dengan kata-kata, bisa membuat orang sukses.
Efek yang disebabkan oleh kata-kata juga bisa menjadi lebih kuat apabila diucapkan secara langsung, dari mulut. Ingatanku kembali terputar, kusadari efek kata yang sangat kuat itu saat bertemu dengan pria paruh baya dengan almameter putihnya saat itu. Mengingat apa yang diucapkannya benar-benar membuatku kehilangan fokus pada ribuan kata ini.
Stres, itulah kondisi yang disebut untuk yang kualami ini. Dalam kondisi ini, aku memilih untuk menutup sang jendela dunia. Kemudian, indraku yang satunya menangkap sesuatu yang menarik. Suara tepuk tangan yang meriah dari luar.
Dengan langkah perlahan, aku keluar dari kelas. Kulihat, seluruh teman sekelasku tengah berdiri di belakang tiang pembatas, sembari menengok ke bawah. Aku pun menghampiri seorang lelaki dengan kulit putih, tubuh yang atletis, tinggi badan yang tinggi.
"Kenapa pada tepuk tangan, elo pada?" tanyaku seraya tertawa. Padahal tidak ada yang lucu.
"Eh, Azka. Elo gak apa-apa?" Ia menatapku dari atas hingga bawah.
"Baik, kok." Aku mengangguk.
Dia mengangguk paham, ia lalu melirik ke lantai paling bawah. Di sana terdapat panggung.
Hari ini, SMA Nusadyaksa tengah mengadakan 17-an, jadi ekskul-ekskul SMA ini diharapkan berpartisipasi dalam sebuah pentas seni.
Di panggung, kulihat ekskul tari tengah menampilkan tarian daerah. Melihat sekilas saja membuatku bosan. "Elo gak bosan liat tarian? Setau gue, sang Rayi Adichandra adalah orang yang tidak suka seni."
Rayi menjitak kepalaku. Lumayan sakit. "Yeu, elo kalo lihat sekilas, mah, gak akan tertarik."
Tangannya lalu menunjuk salah satu dari penari itu. "Coba elo perhatiin, cewek yang paling pendek, yang posisinya di tengah."
Aku mengikuti ucapannya. Jika ia melawak dengan bilang tariannya jelek, maka aku akan memukulnya. Yah, walaupun aku bosan dengan tarian, tetapi aku tak pernah mengejeknya. Tarian adalah budaya Indonesia, tentu tidak boleh mengejeknya.
Secara tak sadar, perempuan yang ditunjuk Rayi sangat menarik perhatianku. Gerakan tangan dan kakinya sungguh lentik, dan elegan. Ditambah ukuran badan, dan paras perempuan itu, sungguh imut.
"Terlebih lagi, silat itu ngandung unsur seni. Jadi, jangan kira gue gak suka seni," ucapnya tak terima, tapi entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari perempuan itu.
Alunan musik mengalun dengan semangat, tetapi ia nampak membawakannya dengan tenang. Seolah-olah ia mengalirkan semangatnya layaknya ibu pada anaknya, yang berusaha menyemangati anaknya dengan tenang.
"Oi!" Rayi menampar pipiku bertubi-tubi. "Masih sadar, Masnya?"
"Wah, parah sih, gue bisa panggilin Alea, nih. Biar elo keburu sadar. Alea kan calon dokter serba bisa, kembaliin kesadaran pun bisa." Rayi mengeluarkan hpnya, lalu menggeser-geser layarnya.
Aku membelalakkan mataku, lalu dengan cepat mencoba merebutnya dari Rayi, tetapi tetap tak bisa. "Jangan, woi!"
Alea adalah cewek dari ekskul PMR, ia biasanya bertugas untuk mengobati orang-orang, tetapi aku agak trauma kepadanya. Karena, pernah aku tertabrak pintu kelas, saat aku ingin menarik pintu untuk membukanya, justru pintu itu dibuka lebih dulu oleh Gendis-teman sekelasku- dengan cepat. Hingga kepalaku berdarah.
Aku langsung dibawa menuju UKS, sesampainya di sana, Alea melihat lukaku, lalu ia menuangkan albothyl-obat sariawan- pada kapas, dan ingin menempelkannya pada lukaku. Aku langsung lari, dan membiarkan kepalaku berdarah di hari itu.
"Yah, gue udah sadar. Gak perlu panggilin dia, gue trauma, nih," ungkapku kesal, dan kembali menatap penari mungil tadi. Aku bertanya-tanya, Ibunya ngidam apa, ya? Sampai ngelahirin anak yang imutnya kebangetan, ini.
Rayi ikut menatapnya. "Elo suka, sama Bilqis?" Oh! Ternyata namanya Bilqis!
Aku berpikir. Nyatanya, suka itu disebabkan oleh rasa penasaran, kemudian menjadi rasa tertarik, lalu bermetamorfosis menjadi suka atau cinta. Eh iya, gue tadi penasaran, emaknya ngidam apa, apa artinya itu gue suka sama emaknya? Eh, gak mungkin! Eh, tapi bisa aja. Takdir enggak ada yang tau kan? Jadi entar endingnya kayak FTV kan, calon istriku ternyata calon anakku. Cuma becanda.
Aku kembali berpikir. Apakah aku menyukai Bilqis? Lalu aku teringat, rasa stres yang menimpaku tiba-tiba menghilang, hatiku menjadi tenang.
Aku tersenyum. "Yah, gue rasa, gue gak suka." Rayi mengangguk.
"Cuma cinta aja," tambahku.
![](https://img.wattpad.com/cover/214860195-288-k398558.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZKA
Teen FictionBercerita tentang Azka yang selalu disia-siakan dalam hal cinta. Terkadang, ia penasaran, bagaimana rasanya cinta sejati? Dirinya kemudian bertemu Bilqis Salsabilla, yang merupakan cewek mungil dari ekskul tari. Azka merasa bahwa tarian Bilqis bisa...