Bagian 9

36 12 0
                                    

Ibram merasa kedamaiannya datang lagi, setelah beberapa bulan ini ia selalu di tempeli oleh Ajeng yang cerewet.

"Akhirnya, gue bisa nikmatin kedamaian ini lagi" Ucapnya lega.

"Tapi, perasaan gue kok ngga enak ya? " Ucapnya. "Ahh, mungkin cuman perasaan aja" Sambungnya.

~~•~~

Bel masuk berbunyi, membuat kelas yang tadinya sunyi menjadi ramai.

Dari sekian banyaknya anak anak yang masuk, Ibram belum melihat Ajeng sama sekali. Padahal Rehan sudah masuk dari tadi.

"Lah, tuh cewek kemana kok belum masuk? " Batinnya.

"Kok, gue jadi khawatir gini sih? " Batinnya.

Tak lama, masuklah Ajeng dengan kondisi yang sudah membaik dari sebelumnya.

Ibram yang melihat Ajeng pun bernapas lega.

"Ahh, itu dia bikin khawatir aja".Batinnya.

Sikap Ajeng tak seperti biasanya, ia menjadi pendiam dan jarang berbicara. Melihat hal itu, Ibram bertanya kepada Ajeng.

"Lo, kenapa?. Tumben jadi pendiem" Ibram.

"Banyak omong salah, diem juga salah" Batinnya Ajeng.

"gapapa" Jawab Ajeng.

"Et dah, tumben bener ni anak jadi pendiem" Batin Ibram.

Ibram hanya mengangguk, pertanda ia mengerti.

Pelajaran berlangsung dengan hikmat, tanpa ada keributan sama sekali. Hingga bel pulang berbunyi.

"Je, aku anterin pulang ya? "Ujar Rehan.

"Gausah, Ajeng sendiri aja" Ajeng.

"Gapapa, ayolah. Ya..ya..ya?  Plisss" Rehan.

"Dia pulang bareng gue" Ujar Ibram yang tiba tiba muncul dari belakang mereka.

"Tapi kan gue yang duluan ngajak Ajeng pulang" Ujar Rehan.

"Wahh, masnya beneran ngajak Ajeng pulang bareng? Senangnya hati Ajeng!!!" Batin Ajeng seakan berteriak gembira.

"Yuk" Ajak Ibram, dan di angguki oleh Ajeng.

"Rehan, kayaknya Ajeng pulang sama masnya aja. Soalnya, Ajeng kerja di rumah masnya" Ajeng.

"Hmmm, okee" Rehan.

~~•~~

"Udah sampe,turun" Ibram.

"Iya" Ajeng.

"Assalamualaikum" Ucap mereka berbarengan.

"Waalaikumsalam" terdengar sahutan dari dalam rumah.

"Eh, kalian udah pulang ayo masuk" Yolanda.

"Iya Bu, makasih" Ajeng.

"Ibram ke atas" Ucap Ibram seraya menaikki tangga.

Yolanda menatap getir punggung anaknya yang semakin menghilang. Ia bingung bagaimana cara mengubah sikap anaknya itu.

"Dia emang gitu, kalo di rumah pendiem dan jarang ngomong sama Ibu" Yolanda.
"Di sekolahan juga sama kali Bu, masnya juga pendiem" Batin Ajeng.

"Ohh" Jawab Ajeng.

"Yasudah bu, saya mau masak sama beberes rumah dulu" Ajeng.

"Oh, iya silahkan".

Dengan sangat cekatan, Ajeng pun mulai melakukan pekerjaannya.

~~•~~

Di dalam kamarnya, Ibram termenung sambil menulis diarynya.

"Gue kangen sama lo, lo lagi apa sekarang?, lo bahagia ga?, gue ngga bahagia di sini, gue pengen selalu deket sama lo" Tulisnya.

"Gue pengen ketemu lo, kenapa lo tinggalin gue sih? "Ujar Ibram prustasi.

Ia menangis sejadi jadinya mengingat semua kenangan kebersamaannya dengan 'dia'.

Kamar Ibram memang kedap suara,  jadi biarpun dia hendak menangis sekencang kencangnya,  tidak akan ada yang mendengar.

Ibram tertidur sambil memeluk buku diarynya, ia hanya ingin ketenangan untuk sementara waktu.

~~•~~

Ajeng sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia sedang beristirahat di sofa di temani oleh Yolanda.

"Ajeng, kamu tinggal sama siapa?" Tanya Yolanda.

"Ajeng tinggal sendiri bu" Jawab Ajeng.

"Loh, orang tua kamu di mana? " Tanya Yolanda.

"Di Desa bu, saya di sini ngekost sendiri" Jawab Ajeng.

Yolanda merasa takjub dengan penuturan Ajeng. Ajeng yang notabenya seorang gadis, tinggal sendirian di kota yang keras ini.

"Kamu memang gadis yang tangguh dan kuat Ajeng, saya jadi ingin memiliki menantu seperti kamu" Batin Yolanda.

IbramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang