Bagian 19

31 4 0
                                    

Malamnya, Ibram berinisiatif mengajak Ajeng jalan jalan di sekitar komplek perumahan mereka.

"Mau jalan jalan gak? " Tanya Ibram gugup.

"Jalan? " Tanya Ajeng cengo.

"Iya jalan" Ibram.

"Tapi kita harus belajar, kan besok hari terakhir ulangan" Ajeng.

"Sekali kali gapapa, buat refresing otak. Masa belajar terus" Ibram.

"Iya juga ya. Yuadah ayo" Ujar Ajeng seraya menarik tangan Ibram.

"Kita jalan kaki aja" Ibram.

"Emangnya mau kemana sih? " Tanya Ajeng.

"Udah ikutin aja" Ibram.

Di perjalanan, baik Ibram ataupun Ajeng sibuk dengan pikiran masing masing. Sehingga hanya keheningan yang tercipta diantara keduanya.

"Gue baru pertama kali ngajak cewek jalan jalan" Batin Ibram.

"Mau kemana sih, kok jalannya jauh banget" Batin Ajeng.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan.

"Udah sampe" Ibram.

Ajeng yang sedari tadi menunduk, langsung mengarahkan pandangannya ke depan.

Telihat pemandangan gemerlapnya kota di malam hari dari ketinggian. Mereka kini tengah berada di bukit yang langsung mengarah ke kota.

"Waah, bagus banget" Ajeng.

"Suka gak?" Ibram.

"Suka banget, masnya tau tempat ini dari siapa?" Tanya Ajeng.

"Dari temen gue" Ibram.

"Temen? " Ajeng.

"Apa jangan jangan itu Aldo" Batin Ajeng.

"Lo, laper gak mau gue beliin bakso?" Ujar Ibram  mengalihkan pembicaraan.

"Hmmm, boleh" Ajeng.

Semakin tinggi malam, semakin sejuk udara di perbukitan itu. Ajeng yang hanya menggunakan piyama tidur mulai merasa kedinginan.

"Dingin banget" Ujar Ajeng seraya memegang kedua lengannya.

Tiba tiba dari arah belakang Ibram datang dengan membawa dua mangkuk bakso.

" Kenapa?" Ibram.

"Gapapa" Ajeng.

Ibram yang paham melihat gelagat Ajeng yang seperti orang kedinginan, langsung memberikan jaketnya kepada Ajeng.

"Nih, pake" Ibram.

"Buat? " Ajeng.

"Ngepel lantai, ya buat lo lah" Ujar Ibram jengkel. Pasalnya Ajeng selalu menanyakan hal hal yang tidak penting.

"Gue tau lo kedinginan, jadi jangan sok bilang gipipi gipipi" Ibram.

"Hmm, makasih" Ajeng.

"Nih, makan" Ujar Ibram seraya memberikan mangkuk bakso kepada Ajeng.

Ajeng pun menerimanya dengan senang hati.

"Yeeee" Ajeng.

Ajeng langsung memakan bakso itu, ia tidak menegtahui bahwa bakso itu masih dalam keadaan panas. Bahkan sangat panas.

"Ahhhkkk, panas banget. Huaaa" Ujar Ajeng seraya menangis.

Ibram yang melihat Ajeng menangis menjadi gelagapan, pasalnya ia takut dituduh bikin anak orang nangis.

"Aduh, makanya kalo makan itu hati hati" Ibram.

"Huaaa, Ajeng kan gak tau" Ajeng.

Ibram menghela napas gusar. Ia mengambil mangkuk yang dipegang Ajeng, meniup niupnya, lalu menyuapkannya kepada Ajeng.

"Nih, udah gue tiup" Ujar Ibram seraya menyodorkan satu sendok bakso.

Melihat hal itu, Ajeng berhenti menangis dan langsung melahap bakso itu.

"Gimana, gak panas kan? " Ibram.

"Enggak" Ujar Ajeng seraya mengunyah.

Di tengah makannya, Ajeng merasa kedinginan dan sering menggosok gosokkan kedua tangannya.

Ibram yang melihat hal itu pun langsung menggosokkan kedua tangannya dan menaruhnya di kedua tangan Ajeng.

"Kalo dingin bilang" Ibram.

"I...i...iya" Ajeng.

Ibram kembali menggosokkan kedua tangannya, namun ia menempelkan kedua tangannya di pipi gembul Ajeng.

Begitu juga dengan Ajeng, ia menggosokkan kedua tangannya dan menempelkannya ke pipi Ibram.

"Masnya beneran homo apa gak sih?,  perlakuannya kok manis banget" Batin Ajeng.

"Kok, gue jadi deg degan ya" Batin Ibram.

Acara saling mengahatkan antara keduanya lumayan lama, hingga membuat keduanya terlihat kaku setelahnya.

"Ayok, pulang" Ujar Ibram seraya meninggalkan Ajeng.










IbramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang