Bagian 11

34 10 0
                                    

Matahari mulai terbenam, terlihat sinar surya mulai meredup digantikan oleh malam yang diterangi oleh rembulan.

"Udara di sini sejuk banget, Ajeng suka" Ucap Ajeng seraya menatap rembulan.

Di tengah menikmati indahnya angin malam, Ajeng sejenak terpikirkan oleh keadaan orang tuanya di desa.

"Bapak, sama ibu, gimana ya keadannnya?" Ucap Ajeng. "Ajeng kangen pak, bu. Ajeng pengen ketemu sama bapak dan ibu" Sambungnya seraya menitikkan air mata.

Ajeng segera mengapus air matanya, ia tidak ingin lemah karena keadaan. Bapak dan ibunya mati matian bekerja keras di desa demi menyekolahkannya agar menjadi orang sukses kelak.

"Ajeng harus kuat" Ucapnya menyemangati diri sendiri.

Tiba tiba datang seseorang yang entah muncul dari mana mengagetkan Ajeng.

"Lo kenapa?, kok nangis" Ujarnya.

"Hah? haduh masnya bikin kaget Ajeng aja, untung Ajeng gak jantungan" Ajeng.

Seseorang itu adalah Ibram. Yang entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya.
"Lo, kenapa" Ulangnya.

"Gapapa" Ajeng.

"Aneh, perasaan tadi gue liat dia nangis tapi kok bilangnya gapapa sih. Dasar cewek, susah dimengeti" Batin Ibram sambil menggelengkan kepala.

"Masnya ayo makan, ini udah jamnya makan malam" Ajak Ajeng.

"Hmmmmm" Ibram membalas dengan deheman singkat.

Di meja makan hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar di tengah keheningan. Menjadikan suasana menjadi canggung bagi keduanya.

"Masnya mau nambah lagi? " Tanya Ajeng memecah keheningan.

"Boleh" Jawab Ibram. Ibram memang memiliki porsi makan yang cukup banyak, dikarenakan ia melakukan aktivitas yang berat di sore hari seperti ngegym, bersepeda, lari dan olahraga lainnya.

"Sini, biar Ajeng aja yang ambilin" Ajeng.

"Duh, gue kok jadi deg deg kan gini sih?. Tapi, kenapa dia harus ngelayanin gue? seakan akan gue itu suaminya" Batin Ibram.

"Ini, makanannya tolong dihabisin takut mubazir" Ajeng.

"Hmmm" Ibram.

"Ham hem ham hem. Gitu aja terus, sampe lebaran biawak" Batin Ajeng.

Tak perlu waktu lama, untuk Ibram menghabiskan makanannya. Setelah makanannya habis, Ibram langsung pergi ke kamarnya.

"Tuh kan, kalo gak di diemin pasti di tinggalin. Hedeeh sabar jeng sabar, orang sabar jodohnya mas Ibram" Ucap Ajeng dalam hati.

~~•~~

Di dalam kamarnya, Ibram mencobanya untuk menetralkan detak jantungnya. Detak jantung yang dulu pernah ia rasakan untuk seseorang yang kini telah pergi darinya.

"Detak jantung ini" Batinnya. "Ngga...ngga mungkin" Sambungnya.

Ia langsung mengambil diary di dalam nakas tempat tidurnya dan menuliskan sesuatu di sana.

Rasa ini, rasa yang sama, rasa yang pernah aku rasakan ketika dekat denganmu. Jantung ini, berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ada apa ini?, apakah mungkin aku telah......

Tapi mengapa harus sekarang dan dengan orang itu.

Aku belum siap jika harus jatuh untuk kedua kalinya, kepada seseorang yang kuanggap teman sebelumnya.

Jakarta, 030320

Ibram.

Tok...tok...tok

Terdengar suara ketukan dari luar kamarnya, Ibram dengan sigap bergegas menyimpan diarynya di dalam nakas tempat tidurnya.

"Masnya udah tidur?, ada yang mau Ajeng sampein!!!" Teriak Ajeng dari luar kamar.

"Masnya kok ngga buka pintu sih?, masa jam segini masnya udah tidur" Batinnya.

Tak lama terdengar langkah kaki yang menghampiri pintu, kemudian membukakan pintu.

"Kenapa" Tanya Ibram ketus.

"Ini" Ucap Ajeng seraya memberikan segelas susu.

Ibran mengangkat alis tanda tak mengerti.

"Kata ibu masnya harus minum susu sebelum tidur, kalo ngga masnya ngga bisa tidur" Ucap Ajeng polos.

Ibram rasanya ingin melompat ke rawa-rawa dan tenggelam saat itu juga ketika mendengar penuturan Ajeng. Ia malu bukan main sang mama membeberkan kebiasaannya sebelum tidur.

"Mamaaa!!!!" Batinnya berteriak.


IbramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang