#24

9.6K 618 6
                                    

'Dina harus ikhlas. Masih ada Allah yang lebih mengerti perasaanmu, Din. Dekati Allah, biar Allah sendiri yang mendekatkan jodohmu dengan cara-Nya' batinku menenangkan hati yang menangis.

"Tapi kulo cinta njenengan, Ning," ucap Gus Maulana.

Deg,
'Gus Maulana cinta denganku?' batinku.

"Sudah terlambat, Gus. Njenengan sudah dijodohkan dengan Ning Fidzah. Jangan sakiti hati Ning Fidzah, Gus. Cukup aku saja yang sakit," ucapku.

"Sakit? Apakah njenengan mencintai kulo, Ning?" tanya Gus Maulana.

"Cukup aku dan Allah saja yang tau tentang rasa ini. Jika itu iya toh sudah terlambat kan karna njenengan sudah punya calon," jawabku.

"Kan bisa poligami, Ning," ucap Gus Maulana.

"Maaf, Gus. Kalo bisa cukup satu seumur hidup," ucapku.

"Tapi, Ning. Aku nggak cinta dengan Ning Fidzah," ucap Gus Maulana.

"Tresno teko jalaran soko kulino -cinta datang karna terbiasa-. Buka hatimu untuk Ning Fidzah, Gus. Bagaimanapun dia yang terpilih untuk bersanding disampingmu," ucapku.

Belum sempat Gus Maulana menjawab tiba-tiba Ning Fidzah menghampiri. Segerah aku menghapus sisa air mata. Walaupun terlihat jelas jejak air mata di niqob yang aku gunakan.

"Sudah selesai Ning main nya?" tanyaku kepada Ning Fidzah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Sudah, Ning. La njenengan nggak main?" tanya Ning Fidzah kembali.

"Nanti saja nunggu Ning Zulfa puas main, Ning," jawabku.

Ning Zulfa keluar dari area mandi bola. Kemudian menghampiriku dan memeluk ku.

"Loh Ning kenapa?" tanyaku bingung.

"Mbak jangan nangis lagi ya. Zulfa nggak mau liat Mbak nangis lagi," ucap Ning Zulfa.

"Mbak nggak nangis sayang. Ini tadi cuman kemasukan debu terus perih jadi nangis deh, hehe," jawabku kemudian tertawa.

"Oo kena debu. Nakal ya debunya," ucap Ning Zulfa polos.

'Iya debunya Gus Maulana,' batinku.

"Ning Zulfa mau main lagi?" tanya Ning Fidzah.

"Mau, ayo Mbak main," ucap Ning Zulfa kemudian menarik tangan Ning Fidzah dan meninggalkanku berdua dengan Gus Maulana.

Hanya ada hening diantara kita berdua. Hingga Gus Maulana membuka permbicaraan.

"Njenengan nggak mau main?" tanya Gus Maulana.

"Mau, ayo main Gus," ucapku bahagia seolah-olah melupakan apa yang telah terjadi sebelumnya.

Aku berjalan duluan.

"Kaya anak kecil, hehe," ucap Gus Maulana kemudian tertawa dan mengimbangi langkahku.

"Biarin. Kapan lagi coba bisa main kaya gini kalo nggak sekarang," ucapku sambil melihat kanan dan kiri mencari permainan yang menarik.

"Kan setiap hari bisa main kesini," ucap Gus Maulana.

"Nggak bisa, Gus," jawabku.

"Kenapa?" tanya Gus Maulana penasaran.

"Habis ini mau UKOM terus lanjut US kemudian UN," jawabku.

"Setelah UN kan bisa," ucap Gus Maulana.

"Nggak bisa juga, Gus," ucapku.

"Kenapa lagi?" tanya Gus Maulana penasaran.

"Aku mau lanjut masuk pesantren di pulau jawa, Gus," jawabku.

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang