Kemudian Kang Aris membaca suluk. Setelah itu Kang Aris mengisyaratkan untuk aku memulai duluan. Rasanya ingin pura-pura pingsan sebentar.
"Addinu lana wal haqqu lana,"
"Shollu alaih," jawab mereka.
"Wal ‘ad-lu lana wal kullu lana,"
"Shollu alaih," jawab mereka.
"Adlhal islamu lana dina. Wa jami’ul kawni lana wathona ...."
"يا تريم يا تريم . شيء لله شيء لله . بلدة الأولياء . شيء لله شيء لله ,"
"MasyaAllah bagus banget suaranya njenengan, Ning," puji Kang Aris.
"Masih bagusan njenengan, Kang," ucapku.
"Jadi vocal kita saja ya, Ning," bujuk pemain bass.
"Nggak deh. Biar Kang Aris saja," ucapku.
Kemudian aku pergi meninggalkan mereka. Ku langkahkan kaki ini menuju belakang ndalem. Aku duduk disisi irigasi.
Air irigasi mulai surut, berbeda saat awal datang kesini. Mungkin ini faktor karna banyak petani yang mulai bercocok tanam.
Alunan tabuhan hadroh membuat suasana menjadi lebih damai. Hidup berdampingan dengan keagamaan membuat jiwa menjadi tenang.
Angin sepoi-sepoi berhembus sedang. Mengoyangkan cadar yang aku kenakan. Ku hirup udara pedesaan dari balik cadarku.
Aroma tanah basah dengan hembusan angin yang sejuk membuatku jatuh cinta dengan pulau Jawa.
Cukup lama aku menikmati suasana ini. Hingga seseorang datang menghampiriku.
"Sendirian aja, Ning," ucap seseorang membuyarkan lamunanku.
"La njenengan liatnya gimana?" tanyaku tanpa berbalik badan.
Entah siapa yang sedang berbicara denganku. Yang aku ketahui dari suaranya, dia adalah laki-laki.
'Mungkin Kang santri,' batinku.
"Boleh ditemenin nggak, Ning?" tanya orang tersebut.
"Nggak boleh berduaan ditempat sepi, Kang," ucapku.
"Kita nggak berdua kok. Tapi bertiga," jawabnya.
Aku tidak menghiraukan ucapan mereka. Mungkin mereka santri nakal yang ingin menggangguku. Aku terus menikmati indahnya suasana pedesaan. Hingga tiba-tiba ....
"Awas Ning! Ada ulat," ucap mereka bersamaan.
Spontan aku langsung melompat dari tempatku duduk dan akhirnya aku masuk kedalam saluran irigasi.
Gamisku bagian bawah basah terkena air irigasi yang tingginya hanya selutut.
'Ih geramnya aku,' batinku.
Aku ingin berbalik badan dan hendak memarahi orang yang telah berteriak ulat kepadaku.
Saat aku berbalik badan, betapa terkejutnya aku bahwa ada dua laki-laki dengan wajah yang sama tetapi tidak dengan tingginya sedang menatapku dengan senyuman melengkung di bibirnya.
Mereka tersenyum kepadaku. Sedangkan aku salah tingkah dengan senyuman mereka. Ingin rasanya aku lari menuju ujung sawah untuk kabur dari kedua laki-laki ini.
'Tunggu, jangan-jangan ini Mas Fuad dan Mas Faid?' batinku.
Aku ingin sekali memandang dan mengamati wajah tersebut, tetapi aku terlalu canggung. Aku hanya bisa diam dan menunduk. Memainkan jari jemariku untuk mengurangi rasa grogi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Diam
RomanceDina Sayyidatina Fatimah, berawal dari seorang gadis biasa hingga satu persatu jati dirinya terungkap bahwa ia adalah seorang 'Ning'. Sebelum ia mengetahui hal itu, ia telah menaruh hati kepada seorang Gus yang bernama Lana Al-Faqih. Cintanya hanya...