16. Deniable Truth

12.2K 1.6K 63
                                    

"Besok lunch bareng dong. Mati gaya gue nggak bisa ikut Dion ke Jerman," Alis Natasya mengerung sambil menatap harap ke arah Olive dan Utami.

"Hm, gue nggak bisa. Mau makan bareng Yoga," jawab Utami.

"Lancar jaya nih yang baru jadian," goda Olive.

"Nggak jadian lah, udah umur segini mah. Cuma tetep harus saling mengenal aja," sanggah Utami.

"Tapi so far so good kan?" tanya Olive. Utami mengulum senyum dan mengangguk.

"Gue tertarik sama dia," kata Utami.

"Good for you, Tam. Gue turut seneng dengernyaaa..." sambar Natasya. Ia langsung memeluk Utami dari samping. Sebagai sahabat yang pernah menjadi roomate  Utami selama enam bulan dulu, ia tentu mengharapkan masa dimana sang sahabat dapat kembali hidup bergairah dan bahagia lagi.

"Gue aneh nggak sih tapi? Kayak gini?" tanya Utami kepada Olive dan Natasya. Kedua sahabatnya saling pandang sebelum Olive menangkup telapak tangan Utami di atas meja.

"Udah saatnya lo jalanin hidup lo lagi, Tam. Kita semua bakal selalu ngedukung lo untuk bisa lebih bahagia. Okay?" kata Olive. 

Utami melebarkan senyumnya dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu Olive dan Natasya sibuk mengatur janji makan siang besok sementara Utami mendapat pesan di ponselnya. Wajahnya menghangat membaca pesan Yoga yang mengingatkannya untuk makan siang mereka besok.

***

"Thank you for meeting with me today," kata Arun kepada perempuan yang tetap anggun meskipun memakai setelan kerja di hadapannya.

"Hm... saya yang terima kasih seharusnya, seenggaknya kamu masih mau diajak ketemuan," jawab perempuan itu dengan tatapan tegas ke mata Arun. Adhisty terlihat begitu memegang kendali saat itu, mungkin karena ia tahu bahwa Arun memendam rasa bersalahnya.

"Ada yang salah?" tanya Arun pura-pura bodoh. Adhisty memajukan tubuhnya.

"I was asking for a dinner and you set a lunch," ucap Adhisty perlahan, agar setiap kata-katanya terdengar jelas.

"And that's a problem... because?"

"Ayolah Arun, kita berdua tahu apa artinya makan siang dan makan malam kan?"

"Secara waktu, memang berbeda. Secara arti, hmm... I don't know."

Adhisty tertawa, "Bohong banget kalau cowok kayak kamu nggak bisa membedakan mana yang pertemuan kasual dan mana yang ajakan kencan."

"So you were asking me for a date?"

"And rejected."

Arun salah tingkah menanggapi Adhisty. Perempuan itu begitu unik. Berani, tegas, tapi juga lucu untuk seleranya. Selama ini ia selalu berhati-hati karena Adhisty adalah anak Pak Hutama. Ia tak ingin kebiasaan buruknya mengacaukan kerjasama ini. Tapi semakin lama daya tarik perempuan itu memang semakin sulit ditolak.

"Saya hanya sedang ingin fokus kepada urusan kerjasama kita. You and I dating, it just gonna make things complicated. Kamu ngerti kan?" tanya Arun baik-baik.

"Hm, kamu nggak mikir bahwa menunggu kerjasama ini selesai terlalu lama untuk sebuah kencan?" tanya Adhisty.

Jantung Arun berdetak kencang menahan seluruh hasratnya untuk membawa perempuan di hadapannya itu ke apartemen dan beradu kasih di sana. Adhisty terlalu menarik dan menggiurkan, belum lagi dengan penampilan yang sangat menarik dan menggoda. Rambut kecokelatannya yang bersinar, hidung yang mancung dan terlihat lembut, bibir lembap yang sedikit tebal dan terpulas warna merah, tulang selangka yang menonjol di dekat kerah kemeja yang terbuka dua kancing teratasnya...

"You don't wanna date me. Percaya deh," ucap Arun sambil menyumpahi pikiran kotornya dalam hati.

"Can we argue about it over dinner?" goda Adhisty. Arun butuh udara segar agar kekeruhan di kepalanya bisa dinetralisirkan. Ia melihat ke arah lain, lalu  ia menyesal.

Kalau tadi kepalanya yang sudah penuh pikiran kotor, kini hatinya terasa keruh. Dunia seperti gelap ketika matanya menangkap Utami dengan senyum termanisnya berbincang dengan seorang laki-laki. 

Arun tak habis pikir, dari sekian banyak restoran dan rumah makan di kota itu, Kenapa Arun selalu berada di satu tempat dengan Utami?

Arun menatap mata Adhisty yang menunggu jawabannya. Ia tersenyum meskipun rasa menggebu terhadap perempuan di hadapannya itu hilang. Kini tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya tak bisa berpikir dengan baik.

"So... Dinner tonight?"  tanya Arun sambil menahan kesal di dadanya.

***

"Baru jalan sama Mbak Adhisty ya?" Utami mendekati Arun yang sedang menunggu lift sementara ia sendiri baru saja masuk lobby.

"Siapa tuh yang nganterin lo?" bukannya menjawab pertanyaan Utami, Arun malah balik bertanya.

"Lo lihat, Mas?"

"Nggak sengaja. Siapa, Tam?" ujar Arun berbohong.

"Kenalan." Utami menjawab singkat, kesal dengan kebiasaan Arun yang selalu memburu jawaban. Pria itu bahkan tak peduli dengan rasa penasaran Utami, ia hanya mementingkan pertanyaannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba kenalan sama cowok?"

"Kenapa nggak dijawab dulu sih pertanyaan gue?"

"Iya, habis jalan sama Dhisty."

Pintu lift terbuka. Arun langsung masuk ke dalam sementara Utami menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak ada orang. Wajar sebenarnya, mengingat waktu sudah lewat pukul dua siang.

"Buruan masuk," panggilan ketus Arun menyadarkan Utami. Perempuan itupun masuk ke dalam lift.

Berduaan dengan Arun terasa kurang nyaman ketika sang atasan terlihat sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Utami bingung dan mati gaya dalam lift, ia tak suka itu.

"Mas, lo serius kan sama Mbak Adhisty?" tanya Utami.

"Lo serius nggak sama cowok tadi?" tanya Arun balik. Ada yang aneh dengan perasaan Utami saat itu. Tiba-tiba ia merasa dikekang Arun.

"Gue cuma pengen ngerasain serunya dating. It's been three years." Utami siap mendebat apapun ucapan Arun saat itu.

"Oh..." kata Arun sambil tetap menatap pintu lift.

"Oh doang?" tanya Utami tak percaya. Pintu lift terbuka setelah itu.

"Yap, gue sibuk. Lo juga kerja, jangan ngajak gue ngerumpi melulu," kata Arun.

"Siapa yang ngajak lo ngerumpi sih?" Utami mulai sewot. Arun menengok ke arahnya dengan dahi berkerut.

"Lo lah." Jawab Arun lalu meninggalkan Utami sendiri. Ia tak bisa melihat wajah berseri-seri Utami karena baru bertemu dengan pria lain. Semua hal terasa tidak masuk akal baginya saat itu.

"Pak Arun," pikirannya yang dalam dan berlarut-larut buyar saat Olive memanggilnya tepat sebelum ia masuk ke dalam ruangannya sendiri.

"Utami nggak akan pernah tahu kalau Bapak nggak kasih tahu," kata Olive. Arun mendekati asistennya itu dengan menahan seluruh emosinya.

"She knows I care, she just doesn't want my concern." Arun nyaris berbisik karena ia benar-benar bingung dengan kemarahan yang tak berdasar itu.

"Why don't you tell her what she doesn't know yet?" tanya Olive. Arun mengerutkan dahi seperti melihat soal matematika paling rumit sedunia. Mata dan mulut Olive terbuka lebar.

"Nggak mungkin kan kalau Pak Arun juga nggak tahu?" tanya Olive

"Tahu apa sih?!" ujar Arun yang sudsh kehilangan kesabarannya.

"Ya tahu kalo Bapak suka sama Utami lah!"

Mata Arun berkedut dan kepalanya pusing. Mendengar ucapan Olive barusan, perasaannya jadi semakin tak keruan.

(((Bersambung)))

***

Nggak muda, nggak tua, kalo gengsian pasti denial ya naksir temen sendiri. Fufufuuu...

Semoga suka ya sama part ini~

Free-Trial Love [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang