2. Mas Anton

18K 2.2K 103
                                    

“Saya berangkat kerja jam tujuh pagi, Pulang jam empat sore. Sabtu dan minggu libur. Saya pastiinn rumah selalu bersih, karena saya juga gak suka tempat yang kotor. Jadi kamu gak perlu bersih-bersih setiap hari. Tugas kamu nyiapin sarapan sama makan malam. Kamu bisa masak makan siang buat saya kalau saya minta.”

Adinda yang berdiri di depan pria yang duduk pada kursi kerjanya itu menunggu karena Nio sudah terdiam. Pria bernetra biru yang melipat tangannya di atas meja di sana terlihat sedang berpikir, lalu mengambil keputusan.

“Saya rasa cuma itu.”

“Gak cuci pakaian, Mas?”

“Gak perlu. Pakaian saya dibawa ke laundry. Untuk kamar saya, harus kamu bersihin dan pel lantainya setelah saya pergi kerja.”

“Baik, Mas.”

“Untuk ruangan ini, kamu boleh bersihin kalau saya suruh. Tapi jangan sentuh apapun yang ada di atas meja!”

Adinda mengangguk. Ia menebak, kalau ruangan dengan dominasi warna putih yang berada dalam kamar pria ini merupakan ruang kerjanya. Ya, ternyata alasan Nio memintanya untuk ke kamar karena dia sedang bekerja. Jadi akhirnya segala pemikiran negatif itu menghilang. Dinda terlalu su'udzon.

“Berapa lama kamu di sini?”

“Satu bulan, Mas.”

“Oh, saya juga.”

Adinda hanya tersenyum tipis menanggapinya.

“Kamu masih kuliah?”

Wanita itu bingung mengapa pria tersebut menanyakan soal pendidikan padanya. Tapi tidak sopan rasanya kalau dia tidak menjawab. “Saya pernah kuliah. Tapi sekarang sudah enggak, Mas.”

“Kenapa?” Nio bertanya heran.

Adinda tersenyum masam lalu menjawab singkat, “gak ada biaya.” meski sebenarnya ia memiliki alasan yang cukup panjang. Karena jika hanya soal biaya, Adinda bisa mengupayakannya, ia bahkan dapat beasiswa. Tapi rasanya ia tak perlu menjelaskan soal itu pada pria yang baru ia temui hari ini.

Pria tersebut menghela napasnya. Ia rasa beberapa orang memang memiliki hidup yang kurang beruntung. “Di desa kamu kerja apa?”

“Dengan sedikit pengetahuan yang saya punya, saya mengajar anak-anak di sana.”

Nio menganggukkan kepala pertanda mengerti dan karena sudah tidak ada yang mau dibicarakan, ia pun memperbolehkan Adinda untuk keluar. Tapi sebelum itu Adinda bertanya padanya.

“Sebentar lagi makan malam. Mas mau dimasakin apa?”

“Apa aja, saya gak pilih-pilih makanan.”

“Baik, Mas.”

***

Makan malam sudah tersaji di atas meja. Makanan itu sudah dingin. Namun meski begitu, Nio yang melihatnya langsung terserang rasa lapar. Harusnya ia sudah memulai makan sejak pukul delapan tadi. Namun karena pekerjaannya, Nio baru bisa mendatangi meja makan pukul sembilan.

Pria itu duduk di salah satu kursi. Sejujurnya ia tidak menyangka kalau yang akan menjadi asisten rumah tangganya ini merupakan wanita muda yang berasal dari desa. Dan Nio akui kalau wanita itu tidak seperti wanita desa seperti yang ada di bayangannya selama ini. Malah lebih seperti wanita modern, bahkan dia bisa berbahasa inggris. Hanya saja menurut Nio pakaiannya memang sedikit ketinggalam zaman.

Nio pikir, Adinda mungkin takut dengannya. Apakah tampangnya menyeramkan? Tapi, dimana pun dia berada, para wanita pasti mengagumi parasnya dan menatapnya lama-lama. Namun kenapa Adinda malah menunduk dan tak berani menatap seakan ia memiliki wajah seperti monster?

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang