9. Jadi Suami Kamu

15.3K 2.1K 170
                                    

Ceklek

Dinda baru saja membuka mata. Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh dan dengan cepat mengambil kerudung yang ada pada meja di sebelahnya. Dengan terburu-buru Dinda memakainya, ia bahkan tidak sempat memakai ciput karena seseorang bahkan kini sudah duduk di sampingnya.

"Kamu ini kenapa, sih? Saya kan udah lihat kamu gak pakai kerudung."

"Bukan berarti Mas boleh lihat lagi. Semalam kan keadaan mendesak."

Nio mengedikkan bahunya meski dalam hatinya ia menggeram keras-keras. Ia letakkan nampan berisi makanan dan segelas air itu di atas meja. Lalu tangannya terulur untuk memeriksa suhu tubuh wanita yang semalaman membuatnya terjaga. Demamnya sudah turun. Syukurlah.

"Mas, cek suhu itu biasanya di kening. Bukan di pipi," keluh Dinda, lalu menepis tangan Nio yang lama sekali di wajahnya.

Dan dengan entengnya Nio menjawab, "suka-suka tangan saya." ia bahkan tak peduli dengan tatapan jengah yang Dinda layangkan dan kini memilih untuk mengambil mangkuk berisi nasi dengan sayur hijau yang ada di atas nampan.

"Kamu makan dulu, habis itu minum obat!"

Dinda terenyuh mendengarnya. Meski pria ini kadang memang menyebalkan, tapi kebaikan hatinya tak bisa diragukan. Dan ngomong-ngomong, ini jam berapa? Apa Nio tidak bekerja?

"Mas gak kerja?"

"Libur."

"Libur? Memang ini hari apa?"

"Saya meliburkan diri."

Ada yah libur yang seperti itu? Tapi, apakah alasannya karena dirinya? Tanpa sungkan, Dinda pun bertanya.

"Apa karena saya?"

"Memang karena siapa lagi? Saya gak mungkin ninggalin kamu sendirian di rumah."

Kembali Dinda merasakan perasaannya menghangat. Ada rasa haru mengetahui bahwa orang yang bukan siapa-siapanya ini benar-benar merawatnya dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah.

"Makasih yah, Mas. Maaf, saya ngerepotin terus."

"Berhenti bilang kaya gitu! Saya gak merasa direpotin. Kalau kamu gak makan, baru itu ngerepotin. Jadi sekarang makan! Yang banyak!" Nio mengatakan itu sambil mengulurkan sendok berisi sesuap nasi ke depan bibir tipis Dinda.

"Saya bisa mmp-" Dinda terpaksa menutup mulutnya saat sesuap nasi itu masuk dengan paksa. Matanya menyipit menatap Nio yang malah tersenyum padanya.

"Saya tahu kamu mau bilang bisa makan sendiri. Tapi saya udah meliburkan diri, masa iyah biarin kamu makan sendiri?!"

Alasan itu sebenarnya tidak dapat Dinda terima. Tapi tetap saja ia memilih diam karena tahu kalau Nio bisa saja memberikan jawaban yang lebih menyebalkan.

"Enak. Mas masak sayur itu sendiri?"

Nio menggeleng. "Saya mana bisa masak. Ini dapet beli."

Dinda hanya mengangguk-ngangguk. Tampang Nio memang sangat jelas terlihat kalau ia tidak bisa memasak.

"Hari ini kamu istirahat aja! Gak usah ngapa-ngapain."

"Terus yang masak nanti siapa?"

"Beli."

"Tapi saya udah gak papa."

"Gak usah macem-macem. Kemarin masakan kamu rasanya gak karuan. Ada yang asin, ada yang hambar, ada yang terlalu manis."

Adinda melotot mendengarnya. "Beneran Mas?"

"Iyah."

"Terus Mas makan?"

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang