6. Bucin

16K 2.2K 151
                                    

Aku suka part ini
Cuma ngasih tau wkwk

***

Hari-hari berjalan dengan baik. Tanpa terasa, satu minggu sudah terlewati. Kedua insan yang berada di satu atap itu sudah tidak secanggung saat pertama kali bertemu. Dinda, yang tidak memiliki pengalaman sebagai asistem rumah tangga kadang berani menegur Nio saat pria itu merecoki tugasnya. Seperti kemarin, Nio sok-sokan membuat kopi sendiri saat Dinda tengah ada di kamar mandi. Tapi pria itu malah mengotori dapur dengan menjatuhkan wadah kopinya. Jadi Dinda kesal karena pekerjaannya bertambah. Dan mungkin karena faktor PMS, Dinda jadi lebih sensitif.

Tapi anehnya, saat Dinda menegur dan mengomelinya, pria itu diam saja, seperti anak nakal yang memang merasa bersalah. Akhirnya Dinda tak tega, apalagi saat Nio merapihkan sendiri bekas kekacauan yang ia buat. Kadang-kadang, Dinda merasa tidak seperti ART di rumah itu.

Dan pagi ini, seperti pagi biasanya. Dinda menyiapkan sarapan untuk sang majikan. Namun, nampaknya karena semalam pukul sebelas pria itu kembali pergi ke tempat yang Dinda ketahui sangat tidak baik, kini batang hidungnya belum kelihatan. Sudah dapat dipastikan kalau pria itu kembali kesiangan. Padahal Dinda sudah memperingati untuk jangan pulang pagi.

Namun yang menyebalkannya adalah, semalam Nio mewanti-wanti untuk dibangunkan. Jadi, dengan perasaan tak karuan, Dinda menaiki tangga menuju kamar Nio. Tak lupa ditangannya ia membawa segelas air. Bukan, itu bukan untuk diminum. Melainkan untuk disiramkan ke Nio kalau saja pria itu sulit dibangunkan. Ya, Dinda memang sadis. Apalagi kalau dengan pria seperti Nio yang sulit sekali dinasehati.

Tok tok tok

"Mas? Mas Anton?"

Sudah Dinda duga, tak akan ada sahutan. Daripada membuang waktu, Dinda langsung membuka pintu. Tepat seperti perkiraannya, pria itu masih berbaring di atas ranjang. Pakaiannya masih yang semalam, kemeja dan celana jeans. Yang membuat Dinda meringis, harum kamar yang tadinya enak dihirup, kini bercampur dengan bau alkohol.

Dinda mendekat, memanggil kembali dengan nada yang semakin keras. Namun pria itu bahkan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya segelas air yang ia bawa bisa digunakan. Ia cipratkan airnya ke wajah Nio yang nampak begitu tenang. Pria berkulit putih itu sudah nampak terganggu. Alis tebalnya kian menyatu.

"Mas bangun! Udah jam tujuh!" seru Dinda yang dibalas geraman.

"Makannya kalau mau keluar malem itu pas hari libur aja!" omelnya meski mungkin Nio tak dapat mendengar.

"Maaaasss!"

"Iyah, astaga. Saya udah bangun!" Apa yang diucapkan tak sejalan dengan apa yang ia lakukan, karena kini Nio berputar membelakanginya.

Dinda berdecak. "Mas, udah jam tujuh! Kerja gak, sih?"

"Hhmmm."

"Ham hem ham hem. Udah yah, pokoknya saya udah bangunin. Awas kalau nanti ngomel-ngomel."

Sudah, Dinda menyerah. Ia memutar tubuhnya untuk berjalan keluar. Tapi, tepat saat tangannya memegang gagang pintu, suara pria itu terdengar kembali.

"Kamu kenapa, sih?"

"Ya?"

Tanpa disangka Nio sudah benar-benar bangun dan posisinya kini tidak membelakangi lagi. Netra birunya yang cerah menatap dalam ke arah Dinda yang kini sudah kembali menghadapnya.

"Kamu gak suka sama saya?"

Dinda memutar bola matanya jengah mendengar pertanyaan melantur dari pria yang baru bangun tidur itu.

"Mas bangun terus mandi! Sarapannya udah di meja."

Dinda sudah benar-benar ingin keluar. Namun, suara Nio kembali menahannya. Kali ini, nada bicaranya penuh tuntutan.

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang