11. Bagaimana caranya?

13.3K 1.8K 87
                                    

Keesokan harinya. Dinda terbangun kala mendengar suara mesin pembersih yang sangat ia hapal. Dengan perlahan ia duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Sudah lima hari ia tak shalat subuh karena ia sedang haid, ia sempat bangun pukul lima untuk mandi lalu tidur lagi karena Nio masih tidak mengizinkannya melakukan apapun. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam, kata Nio, besok saat dirinya sudah benar-benar pulih, barulah ia bisa memasak. Padahal sekarang pun Dinda merasa kalau ia sudah sangat baik-baik saja.

Dinda berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ketika pintu itu terbuka, Dinda dikejutkan oleh pemandangan seorang wanita yang sedang membersihkan lantai di dekat kamar, membelakanginya. Wanita yang bersih-bersih ini memakai seragam yang sepertinya memang khusus pekerja rumah tangga. Kening Dinda mengernyit berusaha mencerna, bertepatan dengan itu wanita yang ia pandangi melihatnya.

"Eh, Non udah bangun. Mas Nio udah nunggu di bawah."

"Mbak jangan panggil saya kaya gitu! Saya asisten rumah tangga di sini. Mbak siapa?"

"Haha, Non jangan bercanda gitu!" wanita itu tertawa tak percaya. "Saya Marni, dari pegawai kebersihan yang ditugasin untuk membersihkan rumah ini. Atasan saya bilang Mas Nio yang telfon."

Ya Allah, jadi Nio benar-benar tidak membolehkannya bersih-bersih?

"Adinda, kamu baru bangun?" suara bariton yang muncul dari ujung tangga itu membuat kedua wanita di sana menoleh. Satu menunduk dengan sopan, satunya lagi menatapnya dengan kedua alis bertaut.

Dinda yang alisnya bertaut kini berjalan mendekat. "Mas, itu siapa?" tanyanya meminta penjelasan.

"Pegawai kebersihan, yang kalau ditelfon cepet dateng, kalau udah selesai, langsung pergi."

"Tapi maksud saya, apa harus?"

"Iyah. Kamu kan gak boleh bersih-bersih. Ayo sarapan!" ajak Nio, lalu berbalik dan berjalan mendahului, sementara Dinda hanya bisa mengikutinya dari belakang.

Saat sampai di dapur, Dinda melihat wanita lain dengan seragam yang sama sedang mengaduk kopi. Ia tak sadar ketika Nio menarik kursi untuknya dan mempersilakannya duduk. Dinda duduk saja dengan fokus yang masih tertuju pada wanita paruh baya itu. "Mas, itu siapa lagi?"

"Orang." Nio memberikan jawaban itu sambil terduduk.

Dinda memutar bola matanya jengah mendengar jawaban tak memuaskan itu. "Maksud saya ngapain?"

"Masak sarapan buat kita."

Jawaban Nio membuat Dinda menghela napasnya. Sekarang, ia malah merasa menjadi majikan di rumah itu. Sekali lagi ia bertanya-tanya, kenapa Nio seperti ini?

"Ayo makan! Abis itu minum obat. Kata dokter obatnya harus diminum tiga hari berturut-turut walaupun kamu udah sembuh."

"Mas, apa gak papa?"

"Gak papa gimana?" tanya Nio tak mengerti.

"Saya gak kerja. Tapi malah ikut sarapan sama Mas. Udah gitu-"

"Kan saya yang minta. Udah deh, gak usah kamu pikirin!"

"Iyah, tapi kenapa?"

"Biar kamu cepet sembuh, terus bisa masak buat saya lagi! Saya pengen makan masakan kamu."

Dinda terdiam. Lalu tersenyum kecil dan mulai mengambil makan. Benar, ia harus meyakinkan Nio kalau dirinya sudah sembuh, agar pekerjaannya tidak hanya berleha-leha dan makan gaji buta.

***

Siang yang terik. Dinda berada di dapur, baru selesai membuat jus jeruk yang kini terlihat begitu menggugah selera. Dinda tak mengerti akan satu hal, hari ini, Nio tidak pergi bekerja lagi. Dan alasannya masih sama, dia meliburkan diri. Padahal puluhan kali Dinda meyakinkan pada Nio kalau ia sudah membaik. Namun tetap saja Nio menjadikannya salah satu alasan untuk tidak pergi bekerja.

Kali ini, di siang hari yang teramat panas sampai menusuk kulit, pria itu berendam di kolam renang samping. Sebelum memutuskan berenang, pria itu meminta dibuatkan jus pada Dinda. Nio tak menyebutkan jus apa, jadi Dinda buatkan saja jus jeruk kesukaan dirinya.

Wanita berjilbab hijau itu membawa jus di atas nampan menuju tempat dimana Nio berada. Semakin dekat dengan tujuan, Dinda semakin bisa mendengar suara orang berenang. Dinda berhenti sejenak, sedang menguatkan hatinya agar kali ini ia bisa menjaga pandangan. Akhir-akhir ini Dinda memang merasa mudah sekali menatap wajah Nio saat pria itu berbicara. Tak seperti kali pertama ketika ia begitu mudah mengabaikannya. Kali ini, Dinda merasa sudah kesulitan. Netra biru dari pria itu membuat Dinda dilingkupi rasa penasaran hingga ingin terus menatapnya.

"Mas, ini jusnya!" ujarnya, ketika sampai di pintu samping. Dinda masih menunduk lalu berjalan menuju meja di samping kolam.

"Bawa sini!" perintah itu bersumber dari seseorang yang kini bersidekap tangan di atas tepian kolam renang, sementara tubuhnya yang topless tenggelam sampai batas dada.

Dinda membawakannya, ia berjongkok untuk meletakkan gelas berisi jus itu, pandangannya masih ia tundukan.

"Jeruk, yah?"

"Iyah. Mas gak suka?"

"Gak papa." Nio akan mulai menyukainya.

"Ada lagi yang Mas mau?"

"Kalau saya mau kamu tetep di sini?"

"Ngapain?"

"Gak usah ngapa-ngapain. Duduk aja di sana." Nio menunjuk pada kursi yang ada di samping meja putih dekat dinding. "Kamu bisa sambil telfonan sama ibu kamu. Handphone saya ada di meja tuh."

Dinda melihat ke arah yang Nio katakan. Benda pipih itu memang berada di sana.

"Boleh?" tanyanya memintan izin sekali lagi.

"Boleh."

Dinda lekas berdiri menuju kursi dengan senyum tercetak manis di wajahnya. Nio pun kini tersenyum lalu mengambil gelas berisi jus berwarna orange.

Manis. Itu yang mata dan lidah Nio rasakan. Minum jus jeruk dengan memandangi Adinda. Percayalah, tak ada yang lebih manis dari itu.

Adinda sudah menelfon. Panggilan video seperti kemarin. Dia terlihat begitu bahagia. Senyumnya merekah indah, sementara matanya berbinar-binar. Cantiknya. Cantik sekali. Kapan lagi Nio bisa menemukan wanita seperti Adinda? Yang keindahannya begitu tersembunyi. Yang kecantikannya tak diumbar ke publik. Sungguh beruntung pria yang bisa memilikinya. Memiliki untuk dirinya sendiri. Mencari tahu lebih dalam tanpa pernah didahului. Nio yakin tak ada satu orang pun pria yang pernah menyentuhnya lebih dari ia pernah menyentuh wanita itu.

Ia ingat betapa Adinda menjaga jarak darinya, menghindari menatapnya dan menghindari sentuhannya. Namun ketika sakit, wanita itu tak memiliki pilihan lain. Wajahnya dibiarkan tersentuh, rambutnya dibiarkan terlihat, leher jenjangnya yang putih sudah Nio rekam dengan jelas dalam ingatannya. Halus tangannya yang Nio genggam semalaman pun masih bisa Nio rasakan.

Nio merasa sangat beruntung. Pria seperti dirinya yang menganggap wanita sebagai sesuatu yang hanya sekali pakai kini bisa berada di dekat wanita yang bahkan harus didesak agar jilbabnya mau dilepas. Keberuntungan dari mana yang ia dapati ini? Kebaikan apa yang sudah ia perbuat hingga hari-harinya selalu dihadapkan dengan seorang gadis suci yang belum tersentuh siapapun.

Benar katanya, seorang bajingan pun menginginkan wanita baik-baik untuk menjadi istrinya. Ingin wanita baik-baik untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Itu yang kini Nio inginkan. Ia bahkan tak mempedulikan usianya yang terpaut tujuh tahun. Rasanya akan ia berikan segala yang ia punya untuk mendapatkan hati Adinda. Entah cinta atau bukan. Namun yang pasti, Nio sangat menginginkan wanita itu menjadi miliknya. Hanya menjadi miliknya sendiri.

Tapi, bagaimana caranya?

Nampaknya, membuat Adinda mencintainya bukan sesuatu yang mudah.











Hayooooo gimana caranyaaaa 🙄

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang