20. Khayalan

12.4K 1.9K 364
                                    

Ciyeeee nungguiiinn wkwk

Dari kota mana aja nih yang udah mentengin wattpad sejak subuh nungguin mistake update???

Jangan lupa ini hari terkahir yaaaahhh

Double up untuk nanti malem tergantung seberapa semangatnya kalian komeeeennn 🔥🔥🔥🔥🔥

Yoooo, selamat membaca :)

💚💚💚




Dinda mengernyit heran saat melihat Nio yang sudah tiba di dapur pagi ini. Dia bukan heran karen Nio tampan seperti biasanya. Yang membuatnya heran adalah pakaian yang Nio kenakan hanyalah pakaian rumahan. Apa pria itu tidak bekerja?

"Adinda, saya mau teh," ujarnya setelah menduduki salah satu kursi di meja makan. Dinda sedikit terkejut melihat Nio meminta, mengingat semalam mereka berdebat cukup hebat.

"Iyah, Mas." padahal Dinda sudah membuat kopi karena memang Nio jarang sekali minum teh. Tapi yasudahlah.

"Ini, Mas," ucapnya sambil meletakkan segelas teh ke atas meja.

"Terima kasih," Nio menjawab dengan menatapnya lekat. Dinda hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Harusnya ia suka situasi normal ini. Tapi rasanya malah semakin mencekam.

"Duduk dulu!"

"Ya?"

"Duduk dulu, saya mau bicara."

Wanita itu menurut karena nada bicara Nio kelewat serius. "Ada apa, Mas?"

"Lima hari lagi kamu pulang?"

Dinda mengangguki pertanyaan bernada sedih yang coba Nio sembunyikan agar tetap terdengar tegar. Lalu pria itu merogoh saku celana selututnya dan mengeluarkan amplop cukup tebal yang ia letakkan di atas meja.

"Ini gaji kamu, sekalian saya titip untuk Mbok Rum."

Dengan formal Dinda mengambil amplop tersebut. Namun perasaannya terasa mengganjal karena amplopnya kelewat tebal. Bukankah kata ibunya, gajinya hanya tiga juta? Kenapa ini tebal sekali? Berapa yang Nio titipkan untuk ibunya?

"Apa ini gak terlalu banyak, Mas?"

"Enggak. Kamu pulang mau naik apa?"

"Bus."

"Berapa lama?"

"Sekitar sepuluh atau dua belas jam. Tergantung lalu lintas."

"Mau saya pesankan tiket pesawat?"

Dinda menggeleng. Meski memang kalau lewat jalur udara ia bisa lebih memangkas waktu lagi. Tapi sayang ongkosnya karena lebih mahal.

"Mas gak kerja?"

"Enggak, untuk lima hari kedepan."

Dinda mengernyitkan keningnya, "kenapa?" namun pertanyaan itu malah dibalas pertanyaan oleh Nio.

"Boleh saya minta sesuatu sebelum kamu pergi?"

"Apa?"

"Habisin waktu sama saya di luar. Kamu bisa pakai uang kamu kalau kamu gak mau saya bayarin."

Dinda memikirkan permintaan itu. Ia tahu bisa jadi lima hari adalah benar-benar waktu yang tersisa bertemu dengan Nio. Dinda tidak memiliki alasan lagi untuk datang ke kota. Nio pun tak mungkin pergi ke desanya. Dinda mendesah pelan. Selama ini Nio sudah begitu baik padanya. Mungkin tak ada salahnya kalau ia mengiyakan permintaan terakhir dari pria yang mencintainya itu.

Tepat saat Dinda menganggukkan kepalanya, senyuman tampan Nio yang akhir-akhir ini tak pernah nampak kini terukir jelas di wajahnya. Mata birunya berbinar begitu cerah sampai Dinda yang harusnya tak menatap itu, kini malah kesulitan memalingkan wajah.

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang