7. Tidak Mungkin

15.6K 2K 108
                                    

Malam, pukul sebelas lebih sepuluh menit. Hari dimana peringatan isra' mi'raj di masjid perkomplekan digelar.

Nio memperhatikan dari jendela depan. Kedua orang di luar gerbangnya nampak sedang mengobrol, lalu wanita di sana masuk dan mengunci gerbang. Hati Nio sungguh terasa panas sejak melihat mereka berdua tiba secara bersamaan. Ia juga merasa gerah dan alasannya belum bisa ia pastikan.

Di balik pintu ia menunggu wanita yang tadi mengobrol singkat dengan pria bernama Rizky masuk ke rumah. Nio berkacak pinggang, tapi ia merasa itu terlalu berlebihan. Ia pun menurunkan tangannya kembali dan menyilangkannya di bawah dada. Bertepatan dengan itu, pintu rumah terbuka.

"Kamu bilang jam sepuluh?"

"Astaghfirullah."

Dinda terkejut melihat penampakan di depannya. Baiklah, Dinda memang parah. Pria tampan yang menunggunya pulang sejak beberapa jam yang lalu kini ia bilang sebagai penampakan.

"Mas ngapain, sih? Saya kira udah tidur."

"Kamu kok pulang sama dia?" tanya Nio, tak mempedulikan pertanyaan basa-basi Adinda.

"Mas Rizky maksudnya?"

"Iyah. Gak usah sebut-sebut namanya!" ujarnya, jengah.

"Udah malem. Jadi dia anter saya pulang." Sebenarnya mereka juga tadinya tidak hanya berdua. Tapi orang-orang yang bersamanya sampai lebih dulu di rumah, jadilah hanya tersisa ia dan Rizky saja.

"Kalau gak berani pulang sendirian, harusnya waktu berangkat kamu bilang ke saya. Biar saya jemput."

Dinda mengerjap tak mengerti. "Mas majikan saya. Mana mungkin saya berani buat minta jemput," jujurnya yang entah mengapa dijawab dengusan oleh Nio. Padahal Dinda benar, 'kan? Mana ada pembantu yang minta jemput ke majikannya? Mana mungkin Dinda bilang begini, Mas, nanti kalau saya pulang kemaleman, jemput yah. Saya gak berani pulang sendirian. See!!! Gak masuk logika.

"Saya kan udah pernah bilang, kalau butuh apa-apa, bilang aja!"

Dinda hanya menghela napasnya tak mengerti dengan jalan pikiran majikannya ini. Sebenarnya dia dianggap apa sih oleh Nio?

"Lagipula sekarang udah jam sebelas lewat. Kamu bilang jam sepuluh selesai? Kamu pasti ngobrol dulu sama laki-laki tadi."

Mendengar nada penuh tuduhan itu membuat Dinda merasa sangat terusik. Waktu acaranya memang diluar perkiraan, karena nyatanya baru selesai pukul setengah sebelas lewat. Dinda memang menyempatkan diri untuk mengobrol, tapi bukan bersama Rizky, melainkan bersama para wanita yang duduk di dekatnya. Dan lagipula kenapa kalau ia mengobrol dengan Rizky? Kenapa Nio terlihat sangat marah?

"Mas kenapa, sih? Memangnya saya gak boleh punya temen? Masa hal kaya gitu aja harus minta izin ke Mas?"

"Saya gak ngelarang kamu buat punya temen. Tapi memangnya harus si Rizky?"

"Emang kenapa? Mas Rizky juga orangnya baik."

"Jadi menurut kamu saya gak baik? Makannya kamu cuma anggep saya sebagai majikan."

Satu detik, dua detik, Dinda mencoba mencerna kalimat yang Nio ucapkan. Namun, ia tak kunjung mengerti apa maksudnya. Memang Nio harus ia anggap apa? Kan memang benar majikan! Dan ia rasa, Nio sudah semakin kelewatan dengan bicara menggunakan nada tinggi padanya. Ibunya saja tidak pernah seperti itu. Dan ngomong-ngomong, Dinda bahkan tidak merasa memiliki salah. Semua pekerjaan sebagai pembantu sudah ia laksanakan. Seharusnya ini adalah waktu untuknya beristirahat, bukan waktu Nio membentak-bentaknya.

"Saya gak ngerti Mas ngomong apa. Saya mau tidur."

Dinda berjalan hendak meninggalkan Nio. Namun saat berselisihan dengan Nio, lengannya ditahan. Dinda terkejut bukan main, apalagi Nio memegangnya begitu erat, semakin ia ingin melepas, genggamannya semakin dipererat.

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang