12. Pengakuan Cinta

13.6K 2K 217
                                    

Hari ini, Nio sudah kembali bekerja. Dinda juga sudah diizinkan untuk membuatkannya sarapan yang tentu sudah Dinda siapkan sejak pukul enam. Namun sudah hampir pukul tujuh Nio belum menampakkan dirinya. Dinda rasa pria itu kesiangan lagi. Mungkin semalam ia keluar. Entah, Dinda tidak tahu karena ia tidur lebih awal.

Mau tak mau Dinda kembali menaiki tangga, hendak membangunkan Nio. Saat tiba di depan kamarnya, ia ketuk pintu tersebut beberapa kali. Namun tak ada sautan. Dinda semakin yakin kalau Nio masih tertidur.

"Mas, saya masuk."

Wanita itu membuka pintu. Namun ketika melihat ke dalam, tak ditemukan siapapun dimana pun.

"Adinda?"

"Eh, yaaa? Mas di mana?"

Adinda mengedarkan pandangannya.

"Di sini!"

Pendengarannya menangkap dari mana arah datangnya suara itu. Dinda berjalan mendekat ke sebuah ruang yang merupakan walk in closet, tempat berisi lemari pakaian, sepatu, dan lainnya. Nio memang berada di ruangan itu, ia sudah memakai kemeja dan celana kerja, hanya saja belum memakai jas dan terlihat berdiri sambil memegang dua dasi berwarna maroon dan hitam bergaris.

"Cocok yang mana?" tanyanya, meminta pendapat.

"Kiri." Dinda menunjuk warna hitam. Lagipula, Nio juga biasanya memakai warna hitam.

Nio taruh dasi maroon pada sofa di sampingnya. "Kamu bisa makein dasi?"

"Bisa."

"Sini!"

"Mau apa?"

"Pasangin dasi saya!"

"Tapi biasanya Mas pakai sendiri."

"Hari ini saya mau kamu yang pakein."

Dinda tidak langsung menurut. Ia mengerjap dulu berkali-kali sambil memandangi tangan Nio yang terulur memberikan dasi. Tingkah pria ini benar-benar tidak bisa Dinda tebak. Mau tidak mau Dinda kembali su'udzon dengannya.

"Cepet! Nanti saya terlambat."
Barulah kini Dinda bergegas. Ia mengambil dasi hitam itu, lalu berdiri di hadapan Nio. Ia harus berjinjit ketika akan mengalungkan dasi pada leher Nio. Pria yang melihat itu pun terkekeh. Lalu tanpa peringatan ia mengangkat Dinda ke atas sofa. Dinda melotot terkejut, ia tepis kedua tangan Nio di pinggangnya. Jantungnya berdebar menggila, antara terkejut dan takut.

"Mas jangan kaya gitu!" tegurnya, jelas sekali wajahnya menyiratkan amarah. "Jangan sentuh saya!"

"Oke, maaf. Abisnya kamu gak nyampe makein dasi saya."

"Tapi saya bisa naik ke sini sendiri! Jangan kaya gitu lagi!" Dinda tak bercanda. Nio dapat melihatnya dengan jelas. Wanita ini benar-benar galak.

Dinda melihat Nio menganggukkan kepala. Ia pun mulai menyimpul dasi panjang itu diantara kerah kemeja putih yang Nio pakai. Tubuhnya kini lebih tinggi dari Nio, membuat ia harus menunduk dan membuatnya tahu kalau Nio juga sedang mendongak melihatnya. Dinda tidak tahu bagaimana eskpresi wajahnya sekarang, yang pasti ia masih merasa kesal pada Nio.

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang