18. Mungkin Hanya Mimpi

12.8K 2K 427
                                    

Absen duuluuu dong kota kaliaan!!!

Yang dari subuh udah baca cerita ini, kalian dari kota mana gaeess??

Tiati part ini bikin merindiing~

Aku semangat update kalau kalian semangat komeeen 💕

Komen kemarin tembus 200 lebih, jadi subuh subuh update lagi niihh 😍

Kuy dibacaaaa

💚💚💚

Nio merasa suruhannya pada Adinda sungguh tidak berguna. Ya, ia menyuruh Adinda untuk mengunci pintu kamarnya. Tapi pada akhirnya tetap saja Nio bisa masuk karena ia memiliki kunci cadangan. Bisikan setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari segala pertahanan yang ia buat. Ya, kini ia berdiri di ruangan temaram itu. Lampu utama kamarnya tentu sudah Dinda matikan, menyisakan satu lampu menyala di meja nakas yang tak begitu membantu untuk menerangi kegelapan.

Nio tak melakukan apa-apa. Pria itu hanya berdiri dengan pandangan tak lepas dari wanita yang tertidur lelap, rambutnya tergerai di atas bantal yang ia tiduri. Sangat cantik. Dinda mungkin sudah berkelana jauh di alam mimpi karena kini waktu menunjukkan pukul dua dini hari.

Nio tak mengeluarkan suara apapun sejak tiga puluh menit ia berdiri di tempatnya. Jaraknya dari tempat tidur sejauh tiga langkah. Ia tak ingin mengambil resiko lebih dekat karena takut Dinda terbangun.

Deru napas wanita itu terdengar teratur. Kini untuk pertama kalinya ia bergerak memutar posisi yang tadi menghadap langit kamar menjadi miring ke kanan, membuat Nio lebih leluasa menatapnya. Nio tidak keberatan kalau ia diberi julukan brengsek atau bajingan atas apa yang ia lakukan sekarang. Demi apapun, ia menahan diri untuk pergi ke tempat penuh dosa itu tapi malah memilih untuk melakukan dosa yang lain. Bahkan, Dinda ikut serta karena aurat yang selama ini Dinda tutupi dilihat olehnya.

Baiklah, Nio memang bajingan.

Rasanya sudah cukup. Nio berjalan mundur tanpa suara, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu. Ia harus pergi karena tidak lama lagi Dinda akan terbangun. Nio tentu tahu kebiasaan Dinda. Wanita itu selalu bangun entah pukul dua atau tiga, melakukan shalat tahajud lalu mengaji dan Nio selalu mendengarkan lantunan Al-Qur'an nya yang merdu dari luar pintu kamar.

***

Pagi ini, Dinda merasa Nio sangat aneh. Bagaimana tidak?! Sejak kemunculannya di dapur, pria itu belum membuka suara. Bahkan tak mengucapkan selamat pagi yang biasanya ia ucapkan dengan nada ceria.

Tidak. Dinda tidak merasa kehilangan. Ia hanya merasa ... kalau Nio menjauhinya. Baguslah. Ya tentu saja bagus. Inilah yang Dinda inginkan. Yakni Nio menjauh dan melupakan perasaannya padanya. Perasaan itu tak seharusnya ada karena sampai kapanpun Dinda tidak akan bisa membalasnya.

Nio berdiri setelah menyudahi sarapannya. Ia mengambil jas yang tersampir pada kepala kursi dan memakainya.

"Saya pulang malam. Jadi kamu kunci saja rumahnya."

Dinda yang sedang menata gelas bersih beralih fokus pada Nio yang terlihat sedang merapihkan jas yang ia pakai. "Iyah, Mas," jawabnya tanpa mau repot bertanya. Apapun yang Nio lakukan tidak mesti menjadi urusannya. Tapi, entah mengapa, nada bicara Nio yang tidak seperti biasanya, membuat Dinda merasa resah. Nio berucap kelewat datar, bahkan manik birunya tak menatap Dinda sekalipun.

Yang lebih anehnya lagi, Nio pergi begitu saja. Tidak mengucap salam atau pamit seperti biasanya. Apakah pria itu benar-benar patah hati? Dinda memang merasa tak nyaman saat Nio begitu agresif. Namun, Nio yang seperti ini, lebih membuat Dinda merasa berkali-kali lipat tidak nyaman.

Mistake [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang