Seharian ini, atau sejak pukul delapan pagi sampai lima sore, Dinda tidak keluar dari kamarnya yang terkunci. Ia takut. Ia takut pada Nio. Usai Nio berbisik padanya, Dinda tak bisa melakukan apapun, tubuhnya lemas sampai ia tak mampu untuk meronta. Dinda tak pernah menduga kalau hal seperti ini akan terjadi. Nio sudah kelewatan. Meski memang pada akhirnya, pria itu tak melakukan apa-apa.
Usai memeluk cukup lama, Nio pergi begitu saja, bahkan saat Dinda memeriksa dapur, sarapan di meja masih utuh, kopi yang ia buat pun tak diminum. Dan sudah pukul lima tapi Dinda tak mendengar suara mobil Nio. Ya, pria itu belum pulang. Meski begitu, Dinda masih tak berani keluar dari kamar.
Dinda tidak merasa lapar bahkan meski ia belum makan dari pagi. Ketakutannya membuat rasa laparnya hilang. Andai saja Dinda punya uang, ia pasti sudah lari dari rumah itu dan pulang ke kampungnya. Bayangkan saja, sebatang kara di ibu kota, tanpa saudara, tak punya teman, tak punya uang dan satu atap dengan seorang pria yang tadi pagi terdengar mengancamnya. Wanita mana yang tidak akan ketakutan?
Hanya pertolongan Allah yang bisa Dinda harapkan saat ini. Ia hanya bisa berpasrah dan berdo'a semoga Nio tidak melakukan apa yang ia bilang tadi pagi. Entah maksud "paksa" itu menjurus kemana, Dinda tidak tahu. Tapi yang pasti, itu bukan sesuatu yang Dinda inginkan.
***
Malam menjelang. Waktu sudah menunjuk ke pukul sepuluh. Dinda terbangun karena rasa lapar yang tak tertahankan. Ia tidak tahu Nio sudah pulang apa belum karena ia tertidur sejak pukul delapan. Segelas air di kamarnya sudah tandas. Tidak ada lagi pengganjal perut yang bisa ia andalkan. Tapi tetap saja, rasa takutnya lebih besar dari rasa keinginannya untuk makan. Dinda memilih mengikat perutnya dengan kerudung panjang supaya bisa mengurangi rasa laparnya. Pada akhirnya ia memilih untuk tertidur kembali.
Dinda tak memasak makan malam. Seharian ini ia tak melakukan apapun selain mengurung diri di dalam kamar. Biar saja Nio membeli makanan di luar. Biar saja Nio membuat kopi sendiri dan mengacak-ngacak dapurnya. Dinda tak peduli. Ia tak ingin bertemu Nio lagi. Kalau perlu, ia akan mencari gara-gara supaya diusir. Tapi Dinda tetap akan meminta pesangon karena selama dua minggu ini ia sudah bekerja di rumah tersebut.
Bersama waktu, Dinda kembali larut dalam mimpi. Dinda juga sungguh berharap kalau yang terjadi beberapa jam lalu hanyalah sebuah mimpi.
Waktu terus berjalan selama Dinda memejamkan mata. Namun, suara-suara membuat wanita itu terusik. Dinda mencoba untuk tak mendengarkan. Tapi suara bel yang ditekan berulang-ulang kali mau tak mau membuat ia membuka mata.
Pukul dua dini hari. Dinda tak percaya kalau ada manusia yang menekan bel rumah seseorang selarut ini. Namun semakin didiamkan, suara itu semakin menjadi. Dinda menurunkan kakinya dari ranjang, tak lupa ia melepas ikatan kerudung di perutnya dan mengenakan jilbabnya. Dinda berjalan cukup cepat untuk menghampiri. Suara bel di kesunyian malam ini bisa-bisa membangunkan tetangga yang juga sedang terlelap. Ia tak ingin itu terjadi.
Sambil berjalan menuju pintu depan, Dinda membawa sapu sebagai persenjataan. Ia takut kalau yang menekan bel rumah adalah orang dengan niat jahat. Dinda merapat pada pintu, disibaknya hordeng di sampingnya. Detik itu juga matanya membelalak dan dengan cepat ia membuka pintu.
"Astaghfirullah, Mas Anton kenapa?"
Dinda bertanya pada seorang pria yang memapah tubuh Nio. Sapu yang ia pegang, entah sudah ia lempar kemana. Dan bukannya menjawab, pria itu malah diam memandanginya.
"Mas, ini kenapa?" tanya Dinda lagi, suaranya lebih keras. Ia tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat wajah Nio babak belur seperti ini. Pelipisnya merah, pipinya ungu, bibirnya berdarah. Astaga, pria ini habis tanding tinju dimana, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SELESAI]
RomanceCERITA LENGKAP!!! Romance Young Adult "Kalau saya gak punya sedikit pun peluang bahkan meski saya sudah berubah. Apa saya harus memiliki kamu dengan cara paksa, Adinda?" *** Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Terkadang sangat fatal sampai ra...