Part 10 : Sheila Fajar = Shena Oriza

167 6 0
                                    

6 hari setelah keberangkatan Deska yang sudah pasti kelak membuat hari-hariku selalu merasa kurang tanpanya, selalu mengingatkanku pada semua senyum yang tulus yang ia miliki serta  banyak hal-hal aneh yang selalu kami lakukan bersama tapi tunggu…  tiba-tiba teringat benda yang diberikan oleh Deska sesaat sebelum ia bertolak kembali ke Singapura. Bungkusan yang berbalut pita ini seharusnya kubuka besok, namun aku masih membayangkan apa yang ia berikan padaku ini, dan sebegitu sempatnya ditengah kemoterapi yang telah ia jalani ia menyiapkan sebuah kotak kecil yang ia berikan padaku, dasar Deska. Mataku mungkin pagi ini berkaca-kaca lagi mengingatnya, dasar Deska, aku begitu merindukan cubitan pipimu yang tak pernah alpa sedikitpun . “hey, mana semangatnya? Jangan buka dulu yah kotak kecil itu ”. aku pun membalas pesan instan melalui handphoneku . “oke bos sip deh, jaga diri yah”.

Hari ini sungguh berat kurasakan meskipun aku harus terbiasa akan semua ini, terbiasa tanpa Deska dan juga terbiasa bersama Bilal seseorang yang kudamba. Tersenyum sendiri dan menangis sendiri didalam kamar berhias bintang buatan yang slalu kubuat, dan bersama kegelapan malam yang terkadang mengusik kesunyianku. Ini mungkin pilihanku saat ini.

hari ini tawaran ajakan makan malam dirumah Bilal harus kupenuhi dengan hati yang seharusnya menjadi berbunga-bunga meskipun bayang-bayang merindukan Deska masih menyelimutiku meskipun bukan candle light dinner, aku memulai segalanya dengan memilih gaun warna merah tak berlengan, dilanjutkan dengan mengikat rambut seperti ekor kuda, menggunakan lipstik berwarna merah, dan sepatu high heels berwarna emas, membuatku terlihat berbeda, high heels yang kugunakan hanya untuk ke acara-acara khusus saja kugunakan kali ini aku memilih untuk menggunakannya sebagai pendamping gaunku,tapi  tidak.. hatiku mengatakan sepatu hitam cukup memadamkan warna merah yang sedang membara di balutan tubuhku kini, tas hitam kecil bertali panjang juga nangkring di pundakku menjulur sampai ke arah pinggangku sebagai padu padan yang cantik menghiasiku, soft lens berwarna coklat juga tak mau ketinggalan untuk memperindah tampilanku malam ini. Parfum beraroma Bubble Gum andalanku menjadi sentuhan akhir yang menyempurnakan semuanya, kuharap.

            Ketika aku keluar dari arah kamar ke dapur untuk mencari mama, aku melihat seluruh keluarga berkumpul disini dan ketika aku menampakkan diri ditengah mereka , jeng.. jeng.. jeng.. pupil mata mereka membesar dan menatapku sangat seksama, bukan hanya mama, 2 adikku yang jarang berkomentar akan cara berdandanku juga ikutan memelototiku sampai-sampai kue lezat yang akan mendarat dimulut mereka jatuh secara cantik di piring mereka

 “kak Sheila kan?” , kata Devan sambil melangkahkan kakinya sampai kedepan pipiku dan masih dengan pupil mata yang masih membesar .

“ya iyalah, memangnya sampai segitu menornya yah sampai nggak bisa ngenalin? “ bibirku mulai bengkok lagi sembari melipat tangan di hadapan mereka bertiga.

“nggak nyangka kakak bisa secantik ini”, ucap Aleya dengan polos sambil mencolek pipiku

“masa’ sih”, senyumku kembali berkibar seperti di upacara bendera di hari senin sekolah Aleya

“kenapa nggak dari kemarin-kmarin aja kakak gini, you look so perfect, syahrini mah lewat”, ucap Devan dengan gaya cuek sembali berjalan menuju tahtanya tadi.

“udah deh, kalian mau ditraktir apaan, ngomong deh ”, sambil mencondongkan diri kearah mama untuk disuapi kue buatannya.

“Pizza !!!” , mama,  devan, dan Aleya teriak serentak menyebutkan makanan kesukaan mereka.

“ok”, aku mengangkat jempol sembari mengunyah habis kue yang sedang berada di mulutku.

            Ditengah perbincangan hangat keluarga kecilku, tiba-tiba suara ketuk pintu rumah samar-samar terdengar awalnya ,lalu kedua kalinya suara ketukannya semakin nyata dan membuat kami yakin suara itu yang berasal dari pintu depan. Kami menunjuk Aleya untuk membuka pintu rumah alasannya karena dia anak yang terkecil yang seharusnya mengikuti perintah yang lebih tua. Kodrat seorang anak bungsu mungkin seperti itu. Kedua kaki Aleya tidak berjalan dengan lembut layaknya wanita anggun di atas catwalk, namun lebih memilih untuk berlari-lari kecil kea rah pintu depan dan terdengar ucapan “mari masuk kak” yang ku prediksi orang yang datang itu adalah Bilal Rhaba-ku, pangeran berseragamku. Sedetik setelah terdengar ucapan Aleya, hentakan lari Aleya terdengar lagi berlari, namun kali ini lebih cepat dan berkata,”ada yang nyariin tuh kak” dan bukan hanya aku yang mengayunkan kakiku menuju ruang tamu, mama dan ketiga adikku juga mengekor dibelakangku.

Conquer Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang