Part 12 : Jangan Tinggalkan Aku

189 6 1
                                    

            Pukul 05.00 subuh lewat 19 menit.

            Sheilaaa.... Sheilaa... bangunnn... !!

            Teriakan mama yang langsung menusuk kedalam telingaku meskipun hanya dari balik pintu kamarku sungguh sangat terasa ini keadaan yang gawat. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini nyata bukan mimpi.

            "ada apa sih ma.. panik gitu" , langkahku menuju pintu

            "ikut mama sekarang, nggak usah ganti pakaian", mama menarikku.

            Aku melihat Bilal sudah berada di depan pintu. Wajahnya tak bersemangat. Senyum tak tertoreh meskipun hanya sekilas. Ada Apa semua ini ?!!.. serasa ingin berontak. Kami menggunakan mobil Bilal. Aku, mama, dan Bilal. Mama meneteskan airmata. Membasuhnya sendiri dan sepertinya mencoba mengimbangi perasaannya.

            "kita sebenarnya mau kemana sih mah ",akhirnya kata-kata keluar dari mulutku sambil menggaruk-garuk rambut yang masih sangat acak-acakan. Namun tak ada tanggapan yang berarti.

            Bilal menjadi supir kami, mama duduk disebelahnya, dan aku duduk kursi belakang. Sesekali menyandarkan daguku di bahu Bilal, respon yang kudapat hanya senyuman dari Bilal. Senyum yang memenuhi fikiranku tentang apa yang terjadi. Bilal hanya mengusap pipiku.

Terlihat arah mobil ini menuju ke bandara. Tidak mungkin kami akan berangkat keluar kota tanpa koper yang selalu menyibukkan mama bahkan satu minggu tak akan cukup untuk memenuhi list barang bawaannya. Untuk apa kita ke bandara se pagi ini ? kenapa wajah mereka begitu serius?.

            Kami tiba di bandara lebih cepat dari laju biasanya, kami menunggu kearah kedatangan. Itu berarti tujuan kami kesini bukan untuk keberangkatan keluar kota. Selang 5 menit tak ada tanda-tanda penjelasan kenapa kami harus ke bandara sepagi ini, Bilal membeli segelas kopi yang masih hangat, lalu merangkulku, juga merangkul mama. Sungguh Bilal memelukku dengan kehangatan, beradu dengan hangatnya kopi yang sedang kugenggam. Ku pandang jam tangan pukul 06.10 lewat beberapa detik. Ku lihat dari arah kedatangan wajah mama Deska dengan kacamata hitam yang dipapah tak berdaya. Sesekali terkulai lemas tersungkur kelantai. Tak mengambil banyak waktu lama, ku papah mama Deska, namun yang terjadi tangisannya meluap dipelukanku. Bahkan sebelum sepatah kata keluar dari bibir cantiknya. Lalu tiba-tiba.

            "Deska, Sheii.... Deska... " rintihan mama Deska, menyebut nama anaknya, namun tak kulihat sosok Deska keluar dari arah kedatangan. Sungguh daya nalarku sedang tak berfungsi.

            "Deska ?" aku memasang wajah tanda tanya.

            "Deska udah nggak ada, Sheii", airmataku menetes, terjatuh di hadapan mama Deska, aku sungguh tak mempercayai semua ini.

            Mama menghampiri mama Deska, memeluknya sangat erat, aku tak melihat batang hidung papa Deska, meskipun hanya sedetik. Bilal memelukku ditengah rintihanku menyebut nama Deska. Mana janjimu akan selalu bersamaku Deska... ?!. Rasa sakit yang kurasa saat ini sungguh tak terperih. Yang bisa Bilal lakukan hanya memelukku, mengusap tengkukku, dan mengajakku duduk untuk menenangkan diri.

Ketika kedatangan peti Deska, aku tak dapat melakukan apapun, aku terkulai lemas, seperti merasakan detak jantung berhenti sejenak. Mungkin terlalu sakit hingga... aku tak sadarkan diri. Ketika tersadar posisiku telah berada di atas mobil menuju ke rumah disemayamkannya Deska.

            Sesampai di kediaman Deska, kulancangkan kakiku menuju kamarnya, memandang fotoku bersamanya, tiba-tiba tanpa rasa sadar yang terkontrol aku teriak Histeris sembari memeluk foto bersama kami. Masalah, kebahagiaan, kehebohan, penderitaan telah kulewati hanya berdua dengannya sebelum pertemuanku bersama Bilal.

"Deska... kamu tega, aku sendiri disini", kucoba menahan air mata, namun sulit rasanya

"kamu nggak sendiri Sheilaaa... ada aku, yang sedari pertama bertemu dengan Bilal sudah bejanji akan menjadi penjagamu juga sahabatmu ", sambut Bilal dengan ucapan yang tak kusadari keberadaanya yang sedari tadi telah berdiri dibalik pintu kamar ini

            Tak pernah sebelumnya ku lihat air mata Bilal mengalir deras, bahkan ini dengan suara rengekan yang sangat terasa sakit terdengar. Isak tangis yang terbata membuatku spontan memeluk tubuhnya erat, mencium keningnya. Aku berdiri menghadap ke arahnya, lalu menyandarkan kepala Bilal ke dalam pelukanku.

"Kalau bukan karena dia, kita nggak mungkin akan bertemu seperti ini, kita nggak bakal tau perasaan kita sedalam ini ", Bilal memeluk pinggangku erat seperti tak ingin melepasku lagi.

"boleh aku ceritain dari awal", tambah Bilal sembari mempersilahkanku duduk di kasur Deska.

"Hari itu Deska menghampiriku ditengah kesibukanku mencari beberapa obat untuk pasien dokter sofwan yang masih belum sadarkan diri. Sudah lama ia menjadi langganan pengobatan di rumah sakit ini. Jauh sebelum kamu sering mengecek kesehatanmu. Bahkan kami nyaris menjadi sahabat yaa meskipun hanya tegur sapa dari kami", penjelasan Bilal membuatku terkejut

"lalu? " aku sungguh tak sabar mendengar kelanjutannya

"pada hari kita saling berkenalan, Deska memelankan suaranya, dan bermohon kepadaku, ia berucap ia sangat mencintaimu, ia mengatakan aku sangat menyayangi gadis itu, namun waktuku tidak lama lagi, mungkin kanker darah ini akan menggerogotiku, jadi aku mohon kamu harus menjaga dia menggantikanku .Aku sungguh mencintainya, tapi aku lebih senang melihatnya bahagia bersamamu, melihat tawanya denganmu lebih dari apa yang ku rasa, bahkan mengorbankan waktunya hanya untukmu" jelas Bilal masih dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi

"pada saat itu aku tak yakin pada ucapannya, aku mencoba menjajaki tiap harimu, namun seiring waktu berlalu, rasa sayang dan cintaku tumbuh lebih dari dugaanku, semua hal yang kutau, pengorbananmu mengambil hatiku, bahkan rela menjaga ibuku yang tak berdaya lagi, membuatklu yakin, Deska wajar menyayangimu", tambah Bilal.

            Lalu kami saling merengkuh kenangan demi kenangan bersama Deska yang jika semakin diurut satu demi satu semakin teriris hati dan jiwa kami. Kenangan yang tak kusangka terlalu rapat ia simpan sendiri terlebih aku baru menyadari bahwa ia menyimpan rasa sebegitu dalamnya kepadaku namun tak ingin merusak persahabatan yang telah lama kami ranjut bersama. Kami melewati hari itu dengan jiwa yang terluka, batin yang ingin teriak untuk mengembalikannya lagi, bahkan hati yang ingin kubagi dengannya. Namun itu hanya angan yang harus kujaga dan kusimpan rapat-rapat dan membiarkan kami mengenangnya dalam keindahan dan ketulusan hatinya.

Conquer Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang