His dream

60 8 41
                                    

Bagi sebagian orang mungkin mengakui suatu hubungan spesial dengan seseorang yang disukai bukan masalah besar, namun berbeda bagiku, sebagai orang yang sangat tidak berbakat dalam mengekspresikan perasaan hal itu benar-benar tidak mudah untuk dilakukan.

Tersisa tiga puluh menit lagi sebelum Wino dan kawan-kawannya naik ke atas panggung. Oh ya, mengenai  teman-teman band Wino, aku sudah berkenalan dengan mereka. Kak Fandra yang paling mencolok menurutku, ia punya mata yang berbinar seperti bayi. Namun dibalik mata bayinya itu, Wino justru pernah mengatakan padaku bahwa Kak Fandra yang sikapnya paling dewasa diantara teman-teman lain. Dilihat dari pembawaannya, kesan pertamaku pun tak berbeda jauh dari apa yang dikatakan Wino.

"Jadi, lo udah berapa lama macarin adek gue?"

Sejak tahu tentang hubunganku dengan Wino, sikap Kak Jean menjadi sedikit dingin, terutama pada Wino.

"S-sebulan, Bang. Ya 'kan, Ra?"

"E-eh, i-iya."

"Wah, lumayan jago ya lo nyembunyiinnya dari gue." Ama juga sepertinya masih sedikit kesal karena aku sama sekali tak bercerita apapun padanya.

"Wino juga kalo gak gue introgasi mana mau cerita." Itu suara Brian.

"Pantesan waktu itu Yon liat Teh Nura di kampus fakultas seni, mau nyamperin Bang Wino tah." Adiknya Ama yang biasanya diam sekarang malah ikut-ikutan bersuara. Fakta bahwa Dyon berada di band yang sama dengan Wino dan Kak Jean pun baru kuketahui sekarang. Ama bilang Dyon baru beberapa bulan bergabung, jadi wajar kalau aku belum pernah melihat penampilannya bersama Dsix di acara penutupan ospek dua tahun lalu.  Ternyata dunia sesempit ini.

"Eh, Nura sama Ama udah pada makan belom?" Tentu saja yang tengah bertanya adalah Kak Fandra.

Terbaik memang Kak Fandra ini. Ia pasti sengaja mengalihkan topik agar aku dan Wino tidak terus-terusan dipojokkan.

"Udah, Kak."

"Aku juga udah kok."

"Nah, karena kalian semua udah pada makan, sekarang giliran minum. Gini, guys, jadi gue ada produk yang mantep nih. Tumbler stainless tukala yang lucu-lucu. Kalian bisa isi pake kopi atau teh dan bakal tetep anget sampe sore. 'Kan barangkali ngampus sampe sore terus ngantuk, nah bisa ngopi anget-anget pake tumbler dari gue. Cuma 125K, murah 'kan?"

"Dagang teroooos si Brian mah."

"Alus banget emang ngalihin topiknya udah kek tukang iklan di televisi," komentar Kak Jean.

"Yeu! Diem kalian, Bang." Brian mengambil beberapa tumbler dengan beberapa variasi warna dari ranselnya. "Nih, warnanya juga macem-macem. Mbak Ama sukanya warna apa?"

"Gue males bawa minum ke kampus, berat. Jajan es aja."

Aku hanya bisa tertawa melihat reaksi Brian yang seketika cemberut karena mendapat respons seperti itu dari Ama yang sangat terus terang. Dan, sekarang akulah sasarannya.

"Nah, kalo Mbak pacar Wino suka warna apa? Biru? Orange? Atau ungu?"

Tunggu sebentar.

Barusan Brian memanggilku dengan sebutan apa?

Baru saja degupan jantungku yang tak karuan mereda sekarang sudah dibuat berantakan lagi.

Pada akhirnya, semuanya tidak sesuai dengan yang kukhawatirkan. Aku tahu, aku memang selalu overthinking terhadap segala hal yang belum bisa diprediksi. Seperti halnya kejadian hari ini, terlalu mengkhawatirkan pandangan teman-teman Wino terhadapku sampai membuat perasaanku campur aduk. Padahal semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja. Teman-teman Wino memberikan kesan pertama yang baik di mataku.

All About U(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang