His desicion

36 5 6
                                    

Memang benar pertemuanku dengan bunda Wino sama sekali tak menemui masalah, namun ada satu hal yang masih membuatku merasa tidak nyaman dan menjadi sedikit menghindari Wino sampai saat ini. Tentu saja aku sudah berusaha untuk selalu berpikir bahwa diantara Wino dan Yona tidak ada hal istimewa melainkan sebatas teman sejak kecil, tetapi melihat apa yang akhir-akhir ini terjadi membuatku tak bisa lagi berpura-pura masa bodoh.

"Wino, sore nanti kamu luang? Bisa anter aku ke toko buku enggak?"

"Maaf, Ra. Kemaren Yona ngabarin, katanya lagi di Bandung dan minta anter ke toko alat musik yang bagus."

.

"Weekend kamu latihan di studio enggak?"

"Mungkin bentar aja, Ra, soalnya jam 10 harus nemenin Yona beli kado buat ayahnya."

Itu hanya sedikit potongan percakapan kami akhir-akhir ini dari sekian banyak topik mengenai Yona. Aku juga tidak tahu apa yang kali ini kurasakan benar atau salah. Bolehkah aku muak dengan Wino yang sekarang? Setiap kali aku membutuhkannya, Wino selalu ada, tentu saja bukan untukku, tetapi untuk Yona. Entah, sejak kapan semuanya menjadi tentang Yona.

Kemarin saja Wino membatalkan rencananya untuk bertemu denganku setelah bimbingan skripsinya rampung. Aku sengaja tidak menanyakan alasannya, bahkan tak membalas chat terakhirnya. Sebenarnya tidak hanya tentang Yona, aku sendiri paham kesibukan Wino akhir-akhir ini sebagai mahasiswa tingkat akhir seperti apa. Jadi ... mungkin untuk saat ini lebih baik jika kami tidak banyak bertemu.

"Nura!"

Sepertinya takdir lebih menginginkan kami bertemu, terbukti dengan suara Wino yang kian terdengar mendekat. Seperti biasa, ia berlari kecil menghampiriku dengan rambut yang terlihat naik turun seirama dengan langkahnya. Ada beberapa buku tebal di sebelah lengannya. Sepertinya ia baru selesai menemui dosen pembimbing.

"Baru beres kelas?" tanyanya dengan napas sedikit terengah.

"Iya. Kamu baru beres bimbingan?" Hanya beberapa detik kami saling bertukar pandang, setelahnya aku yang terlebih dahulu membuang muka.

"Uhmm. Masih banyak banget yang harus dibenerin. Aargh! Pengen skip aja langsung wisuda," keluhnya setengah berteriak. Tak ada tanggapan dariku. Pikiranku sedang tak hadir di sini.

Dari ujung mata terlihat Wino mencondongkan tubuhnya untuk sekadar melihatku atau mungkin ... menelisik ekspresi tak enakku. "Sabtu kamu luang gak?"

"Gak tau. Belum ada rencana apa-apa sih," balasku seadanya

"Mau nonton?"

"Sama siapa? Yona?"

Seketika seluruh suara yang ada di sekitar kami seperti tertelan udara hampa. Langkah Wino pun turut terhenti, membiarkanku berjalan beberapa langkah lebih depan darinya. Aku melakukan hal yang sama saat tersadar bahwa ucapan yang baru saja keluar dari mulutku seperti pemantik yang siap menyala dan membakar kertas putih sampai habis.

"Kok Yona? Aku 'kan lagi bicara sama kamu." Terdengar nada tak nyaman dari kalimat Wino barusan.

"Ya ... barangkali aja kamu udah ada janji dengan Yona juga."

Wino mengambil langkah cepat hingga tiba di depanku dengan jarak cukup dekat.

"Nura ... ada apa, hm?" Ia masih berusaha membuatku menatapnya, namun aku terlalu keras kepala dan lagi-lagi melempar pandangan ke arah lain.

"Udahlah. Ayo, pulang!" Tak sempat melangkah meninggalkannya, Wino menghalangiku.

"Kamu tau sendiri 'kan Yona temenku sejak kecil. Hanya itu. Gak perlu ada yang kamu cemburuin."

"Iya. Maaf kalau sikapku terlalu kekanakan. Aku belum pernah menganggap seseorang seberharga ini selain keluarga dan teman. Terlalu banyak ketakutan. Berlebihan memang. Maaf kalau rasa cemburuku bikin kamu gak nyaman. Aku pulang duluan, ya."

Tanpa menunggu reaksinya, aku bergegas menjauh, meninggalkan Wino di belakang yang masih berusaha memanggilku.

Tentu tidak berakhir sampai situ usaha Wino, malamnya ia terus menghubungiku, namun tak kujawab. Entah sudah berapa panggilan yang tak terjawab. Sebenarnya hal seperti ini yang sangat kubenci dari diriku sendiri. Setiap ada masalah, aku tidak punya keberanian yang cukup untuk segera menghadapinya dan menyelesaikannya. Hanya bisa menghindar, membiarkannya berlarut-larut dan menunggu keadaan membaik dengan sendirinya.

Beberapa hari selanjutnya apa yang kulakukan masih sama seperti hari-hari sebelumnya, mengabaikan usaha Wino untuk membicarakan masalah kami sampai Wino benar-benar berhenti menghubungiku juga. Sejak kemarin ponselku tak lagi terus-terusan berdering di malam hari. Benar-benar meleset dari yang biasanya kuperkirakan. Aku pikir semuanya akan membaik dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, namun yang terjadi justru kebalikannya. Ini semakin buruk dan ketakutanku semakin besar.

"Ra, lo udah jarang ketemuan sama Wino ya? Biasanya dia nangkring di depan nungguin lo sambil nyedot es teh." Aku yakin Ama tidak menyadari hal ini baru saja, sebenarnya ia sudah menanyakan lah yang sama beberapa hari ke belakang.

"Dia sibuk skripsi," kataku mendahului langkahnya pergi menuju pintu keluar gedung fakultas.

"Beneran? Gak ada masalah apapun?" Ama berlari menyusul.

"Kami lagi sibuk masing-masing aja. Gak kenapa-napa."

"Nura!"

Sebuah suara terdengar tepat ketika aku dan Ama tiba beberapa langkah di depan gedung fakultas. Sudah lama sekali rasanya aku tidak mendengar suara itu.

"Ra, Win, gue duluan ya." Ama lantas meninggalkan kami berdua dengan segenap rasa canggung yang menguasai.

"Emm, hati-hati, Ma." Wino membalas.

Selanjutnya, kedua mata itu melihatku lekat-lekat. Kali ini dengan susah payah aku membalas pandangannya. Kedua ujung luar alisnya terlihat turun, tergambar rasa khawatir yang sangat jelas di sana.

"Kamu ... ada kelas lagi enggak?" tanyanya agak ragu.

Aku hanya menggeleng, terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Aku takut jika kalimat yang kuucapkan akan memperburuk keadaan lagi sama seperti sebelumnya.

"Kalo gitu, kita bicara sebentar yah? Kita bicara dimana? Di kantin?"

"Di sini aja."

"O-oh ... oke."

Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin berpikir kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terucap dari mulut Wino, namun semua hal buruk itu entah kenapa terbayang sangat jelas saat ini.

"Aku minta maaf kalau beberapa hari yang lalu aku terus-terusan ganggu kamu dengen meneleponmu." Wino memberikan jeda sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. "Kamu baik-baik aja?"

"Hmm, aku baik-baik aja. Maaf ya, waktu itu aku terlalu kalut dan egois. Kamu sendiri gimana? Skripsi lancar?" Semakin banyak kata-kata yang keluar, rasanya leherku semakin tercekat.

"Yah, skripsi banyak rintangan, tapi jadwal sidangku udah ada."

"Selamat ya. Semoga lancar sampe wisuda."

Aku bersyukur bahwa kami masih bisa berbicara seperti ini. Bolehkah aku berharap lebih? Aku benar-benar ingin kami membuat kenangan bersama lebih banyak lagi.

"Iya. Makasih, Ra."

"Wino, aku benar-benar maaf waktu itu ak-"

"Nura ...," suara rendahnya menginterupsiku. Ada kesan serius terdengar dari nada bicaranya.

"Hm?"

"Setelah lulus ... aku harus ke Jepang. Kondisi kesehatan ayahku lagi gak baik, sedangkan ada cukup banyak murid yang harus segera ikut kompetisi piano di sana. Jadi ... aku harus pergi menggantikan ayah membimbing mereka."

***

All About U(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang