Semester 6 - Lucid Dream (Part 1)

105 5 1
                                    

Esther menghela napasnya sambil menatap Aiden yang sudah babak belur. "Kamu kenapa!? Kok bisa babak belur kaya gitu!?" Aiden hanya diam dan tertunduk.

Esther langsung menepuk pundak Aiden dan mengusapnya. Aiden yang semula hanya terdiam, ia langsung menangis. Esther membiarkan Aiden menangis. "Aiden... kamu kenapa? Apa..."

"Pacar saya..." suara pintu terbuka membuat Esther mengerutkan keningnya. Aiden masih menangis. Suara isakan Aiden semakin keras tatkala Eva mendongakkan kepalanya dengan paksa.

"Kamu apain Arif!?" Tanya Eva. Esther yang tidak tahu akar masalahnya, hanya diam. Esther  berdiri untuk menutup pintu namun, Eva menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Saya gak boleh tutup pintu?" Eva hanya terdiam. Esther langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

"Jawab Aiden!" Eva menampar Aiden yang masih menangis.

"Eva! Tolong..."

"Dia emang cowok, tapi kelakuan kaya bocah! Pantes aja mantannya ninggalin dia." Aiden hanya diam dan masih menangis. Esther hanya menghela napasnya kasar dan berusaha menahan amarahnya.

Suara ketukan pintu menjadi penyelamat suasana tegang di dalam ruangan tersebut. Esther langsung membuka pintu dan membukannya. "Eva mana?" Nando langsung masuk dan menatap Eva yang sedang menatap Aiden dengan tajam. "Udah, lo jangan terus mojokin Aiden. Gue saksinya! Arif duluan yang mukul dia duluan, bukan Aiden! Lo..."

Nando mendengkus kesal, mengusap wajahnya kasar. "Jangan ikut campur! Lo juga! Lo itu sahabat gue atau bukan sih!?" Eva kini menatap Nando dengan tajam. Nando hanya menghela napasnya kasar.

Esther hanya diam dan menatap ketiga muridnya yang sedang berdebat. "Sudah... sudah..." Aiden yang senggugukkan, hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Esther duduk di samping Aiden sambil mengusap punggungnya.

"Heran gue. Kenapa ketua OSSIS dapet modelan yang kaya gini?" Nando menyikut lengan Eva sambil menatap Eva tajam. "Apa!? Gue gak boleh berpendapat!?" Esther yang geram dengan tingkah Eva hanya bisa diam.

Aiden menghela napasnya kasar dan menatap ke arah Eva dengan mata yang sembab dan tajam. Eva yang masih menyilangkan tangannya di dada sambil memutar matanya malas. "Kenapa? Kamu lebih milih dia orang lain ketimbang pacar se-sendiri?! Orang dia yang mukul duluan kok. Apa salah kalo aku ngebela di-diri aku?" Tanyanya dengan sengguggukan.

Eva hanya diam. Esther menghela napasnya kasar sambil mengusap punggung Aiden. "Aiden bener, Va. Lo gak seharusnya ngebela Arif. Dia itu bukan..."

"Ah! Kalian sama aja! Kalian gak tau lukanya dia tuh gak seberapa. Lo liat Arif! Dia sampe di bawa ke UKS!" Esther hanya menghela napasnya kasar dan mengeluarkannya secara perlahan lewat mulut. Tangannya mulai bergetar, keringat dingin mulai keluar dari dahinya, dan mukanya sedikit pucat.

Esther melegakan tenggorokkannya. "Emang... kenapa Arif bisa mukul kamu? Apa kamu komporin?" Tanya Esther seraya mengacak-acak rambut Aiden.

"Aiden nolong saya, bu." Singgah Nando. "Saya... lagi di palak sama Arif di kantin, eh Aiden dateng ngerebut uang saku saya dan... ya ibu tau sendiri sisanya kaya gimana." Ucap Nando sambil menatap sinis Eva.

Eva hanya diam. "Kok kamu gak bilang!? Kamu aku anggap apa!?"

"A-aku udah jelasin ke kamu, tapi kamunya gak mau dengerin! Sekarang kamu anggap aku apa!?" Eva hanya diam dan tidak mengeluarkan sepatah apapun. Nando hanya tersenyum miris dan melirik.

"When pride destroyed you entirely." sindir Nando.

"Oh... gitu rupanya." Esther menghela napasnya kasar. Ia menatap Aiden yang masih tertunduk. Aiden hanya diam sambil memainkan jari-jarinya. Esther tahu, Aiden memiliki kemampuan yang spesial. 

Bu EstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang