Semester 5 - Under the Rain

102 7 14
                                    

Kelvin menghela napasnya kasar seraya menatap ke arah jas hujan miliknya. "M-maafin saya ya?" Kelvin hanya bisa terduduk lesu di halte bus tersebut.

"Ibu sih! Apasih bu!? Kenapa ibu nuduh saya kek gitu!?" Esther hanya diam dan menatap Kelvin yang kesal. "Saya emang nakal, suka bolos, cabut dari sekolah, tapi saya gak pernah ada niatan buat macam-macam sama ibu! Emang saya kek Alvin!?"

Esther menghela napasnya kasar. Tidak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan suara. Esther diam dan sesekali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Di sini ada motel, kalo ibu mau istirahat di sana silahkan. Saya bakalan mau nerobos ujan!" Ucap Kelvin agak lantang.

Esther hanya terdiam masih menatap jalanan yang sepi. Malam itu hujan turun deras di sertai dengan suara petir yang menggelegar. Angin malam itu berhembus kencang. Membuat siapa saja yang berada di luar ruangan akan merasakan dingin yang luar biasa.

Esther hanya bisa diam dan mengusap-usap lengannya. Blazer yang ia kenakan tidak bisa melindunginya dari angin di malam itu. Sedangkan Kelvin. Ia masih berjongkok sambil menatap jas hujannya yang robek.

Suara gemertak gigi terdengar di telinganya. "Ibu dingin!?" Kelvin menatap Esther. Esther hanya mengangguk pelan. Ia mendecih "bilang kek dari tadi." 

Kelvin langsung membuka jaket parasutnya, dan memberikannya kepada Esther. "Ini..."

"Udah jangan banyak omong, bu. Pake aja!" Pasrah. Esther langsung mengambil dan memakai jaket parasut tersebut, lalu menghela napasnya kasar. Suara petir yang di sertai kilatan membuat Kelvin dan Esther segera mematikan handphone mereka.

Kelvin mengadahkan tangannya dan menggeram. Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda dalam waktu dekat, ia langsung menatap Esther. "Bu, kalo gak masuk, palingan saya sakit ya?" Esther mengerutkan kening.

"Kamu mau ngapain emang!?" Kelvin langsung membuka jok motornya. Ia memasukkan seluruh gadget dari handphone, smart watch, dan earphone bluetooth miliknya. 

"Masukin handphone ibu sama handbag ke dalam sini." Perintahnya. Esther menatap Kelvin dengan dahi yang ia kerutkan. "Udah... ntar saya anterin pulang. Saya mau mampir ke suatu tempat dulu." Esther hanya terdiam dan menatap Kelvin.

Ia hanya mengenakan kaos tanpa lengan bewarna merah, celana training pendek dengan warna senada, serta sepatu basket bewarna putih-merah membuat Esther sedikit ragu untuk melanjutkan perjalan mereka.

"Kamu yakin? Ntar..."

"Ibu mau cepet rebahan gak sih!?"  Esther hanya menghela napasnya kasar. Merasa kalah, ia langsung memasukkan handbag beserta handphone-nya ke dalam jok motor. Kelvin langsung menutup rapat-rapat.

Kelvin melihat di seberangnya ada toko buku. "Bu, mau ikut saya gak ke toko buku seberang!? Saya mau beli selotip." Esther menganggukkan kepalanya. Kelvin langsung menstarter motornya dan menjalankan motornya ke toko buku tersebut.

.
.
.
.
.
.

Kelvin meletakkan satu cangkir teh hangat di depan Esther yang sedang duduk di ruang tamu. "Saya udah pesenin Grab. Agak lama emang, soalnya ujan." Esther hanya diam dan menganggukkan kepalanya.

"Se-sekali lagi maaf ya? Saya... ngebuat kamu tersinggung." Kelvin hanya menganggukkan kepala, lalu menghela napasnya.

Kelvin menegakkan posisi duduknya. "Gapapa... saya udah sering kok." Esther hanya diam mengangguk. Kelvin langsung membuka toples yang ada di ruang tamunya. "Ini kuenya di makan, di dapur gak ada makanan."

Esther menghela napasnya kasar. "Terus... kamu kalo makan gimana?" Tanya Esther.

Kelvin hanya diam sambil memainkan handphone-nya sambil sesekali memakan kue yang ada di dalam toples satunya. "Saya jarang makan malem. Kadang saya kalo pulang basket ya... mandi terus langsung tidur."

Esther menggelengkan kepalanya. "Kalo misalnya hari biasa?" Kelvin menghela napasnya kasar.

"Saya... biasanya makan sore terus... keluar main sama kakak. Kenapa?" Esther menghela napasnya kasar. Esther mendengar suara dari perutnya. Wajahnya merah dan ia menundukkan kepalanya. Kelvin yang menyadari gesture dari Esther langsung menghela napasnya kasar. "Kalo laper, bilang bu. Saya sebagai  tuan rumah ya... gak tau kebiasaan ibu kaya gimana. Yaudah, ibu mau apa ntar saya pesenin lewat Go-Food."

Esther hanya menghela napasnya kasar. Untuk mengganjal perutnya, ia memakan kue yang ada di dalam toples tersebut. "Um... orang tua kamu mana? Masa kamu tinggal sendirian di sini?" Esther berusaha berbasa-basi dengan Kelvin namun, yang di tanya hanya diam. 

Matanya fokus ke benda persegi panjang tersebut sambil sesekali tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kak Ve apaan sih! Ngaco dia!" Esther diam sambil mengamati wajahnya.

Kelvin yang sadar di tatap oleh Esther, langsung menatap wajah Esther. "Maaf ya bu, saya... agak ke distract." Kelvin mengangkat kakinya lalu ia menyilangkan kakinya di kursi. "Bu... Esther tadi tanya apaan?" Kelvin menatap Esther sambil mengkerutkan kening.

Esther hanya menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Gak jadi, saya sudah tau kok jawabannya." Kelvin hanya menganggukkan kepalanya pelan. Esther menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Kamu... deket banget ya sama kakak kamu? Emang..."

"Saya sama Kak Ve emang deket karena bokap-nyokap gak pernah di rumah. Sekalinya di rumah, paling ya... stay dua sampe tiga hari, langsung aja pergi. Mau gak mau... saya harus deket kan sama kakak? Kalo gak sama siapa lagi? Pembantu!?"

Esther menghela napasnya kasar lalu, mengusap wajahnya. "Terlalu sensitif ya?" Kelvin menganggukkan kepalanya.

"Saya gak suka aja ada orang yang... tanya hal pribadi kalo gak saya yang mulai." Esther hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan menatap toples yang ada di hadapannya. "Kuenya abis?" Dengan wajah merah padam, Esther mengangguk pasrah.

"M-maaf ya?" Esther mengangkat alisnya sambil menatap Kelvin.

Kelvin menaruh toples yang ada di depannya ke hadapan Esther. "Gak usah minta maaf. Tuan rumah seharusnya kaya gitu." Kelvin beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju keluar. Esther mencoba mengintip dari dalam.

Ia melihat Kelvin yang sedang membayar pesanan makanan. Esther mengambil handphone miliknya, lalu ia menghela napasnya kasar.

Kak Jessica
Lo masuk rumah sakit atau gimana? Kerja lama amet. Cepet
pulang! 

Bang Tama
Missed Call (8)

Nina
Sent you a picture 📸

Esther menghela napasnya kasar ketika ia melihat isi notifikasi dari keluarganya. "Kenapa?" Kelvin menutup pintu kos-kosannya sambil menenteng plastik yang berisi makanan di tangannya.

"I-ini... saya di cariin." Kelvin hanya berdehem dan mengecek aplikasi Grab. "Gak ada yang mau bu, ini masih mencari driver mulu."  Kelvin menunjukkan layar handphone miliknya.

Esther menghela napasnya kasar dan menopang dagunya. Hujan yang semula kencang kini sudah agak mereda. "Yasudah, mendingan ibu makan dulu, ntar saya anter ke rumah ibu."

Esther menggelengkan kepalanya. "S-saya..."

"Mesen Go-Jek?!" Esther menghela napasnya kasar dan menganggukkan kepalanya lesu.  Kelvin duduk di samping Esther dan menaruh plastik putih tersebut di hadapannya. "Ini seblak. Saya mesen level 4 buat ibu, level 10 buat saya."

Esther menerima makanan tersebut dengan menganggukkan kepalanya. Mereka  berdua langsung memakan seblak yang di pesan oleh Kelvin sambil mengobrol ringan.

.
.
.
.
.
.

Jangan lupa untuk share, vote, komen, dan tambahkan ke library! Karena setiap hal kecil yang kalian lakukan dapat membantu Author makin termotivasi untuk menulis.

Bu EstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang