Semester 13 - Sandaran (Part 2)

62 3 0
                                    

Flashback on

Esther menghembuskan napasnya kasar saat ia kembali melihat Aiden yang sudah babak belur akibat di hajar habis-habisan oleh Arif yang kini sudah duduk di samping kanannya. Ia tidak jadi bertanya ketika ia mendengar suara ketukan dari pintu. "Masuk!" Perintahnya.

Suara deritan pintu terbuka membuat ketiga orang menoleh ke arah sumber suara. Eva berjalan menghampiri Aiden dan menampar wajahnya. Esther langsung berdiri dan membelalakkan matanya. "Cuman segini?" Aiden hanya menatap Eva dengan tatapan mengejeknya.

"Eva Kurniasih!" Suara bentakan Esther membuat Eva tersadar dengan posisinya saat ini. "Kamu sadar saya ini siapa?" Eva hanya terdiam dan menatap Aiden dingin.

"Pasti Aiden kan yang mukul duluan?!" Tuduhnya. Aiden langsung menyuruh Esther untuk diam dan menganggukkan kepalanya. "Ngaku gak kamu!" Aiden hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Iya. Aku yang mukul Arif. Kenapa? Orang ini perlindungan diri kok," balas Aiden sengit. Esther hanya bisa menghela napasnya dan menatap Aiden.

"Udah, Aiden! Jangan jadi provokator," ucap Esther.

Aiden menghirup napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan dari mulut. "Kalo misalnya kamu gak percaya, bisa tanya Aldi sama Hari. Mereka berdua siap kalo jadi saksi." Aiden langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan Esther.

Kini ia melihat sepasang kekasih di depannya. "Kamu tunggu di sini ya, Arif. Eva lebih baik kamu ke kelas sama panggil Aldi sama Hari." Perintah Esther sambil mengeluarkan laptopnya.

"Ibu kan udah denger sendiri kalo Aiden yang mukul!" Esther tidak menggubris Eva yang sedang memprotes keterlibatan kekasihnya.

Esther menatap tajam Eva. "Kamu panggil Aldi sama Hari, atau kamu ikut pacar kamu saya telpon orang tua kamu? Apa perlu juga saya telpon, orang tua Aiden juga, hah!?" Eva langsung terdiam dan berjalan keluar.

Kini Esther dapat dengan leluasa menginterogasi Arif. "Bu, maaf... s-saya gak mau masuk penjara bu, tolongin..." ucap Arif sambil menggenggam tangan Esther.

Esther menarik tangannya dan menatap Arif. "Kenapa kamu mukul Aiden?! Apa kamu gak mikir kaya gitu pas mukul Aiden?" Esther mencecarnya dengan pertanyaan. "Kamu bukan pertama kalinya loh mukul murid lain, Arif. Kamu sebenernya bisa saya skorsing kaya Kelvin kemaren." Arif hanya diam dan menunduk.

Esther menghela napasnya kasar dan ia kembali mengetik surat pemanggilan orang tua untuk Arif. "Eva bu, yang nyuruh," bela Arif.

Esther tidak menggubris ucapan yang di lotarkan oleh Arif. "Sudah sana, kamu masuk ke kelas!" Perinta Esther.

Arif beranjak dari tempat duduknya dan langsung keluar dengan wajah yang muram. Esther menghela napasnya kasar. Ia menyandarkan punggungnya, lalu ia mengambil handphone-nya.

Suara ketukan pintu kembali terdengar di telinganya. "Masuk!" Suara pintu terbuka memperlihatkan Aldi dan Heri yang memasang wajah masam. "Kenapa kalian?" Esther memperhatikan kedua murid yang ia panggil.

"Kami mau di sogok! Biar si biang keladinya gak di apa-apain," ucap Aldi kesal. Heri menganggukkan kepalanya setuju.

"Aiden gak ngapain-ngapain, malah di tuduh. Kurang ajar bener mantannya," timpal Heri.

Esther hanya menghela napas dan menopang dagunya. Kepalanya mulai terasa pening, dan kantuk mulai menyerang dirinya. "Yaudah, cepet. Bentar lagi mau pulang kan?" Esther langsung mengeluarkan dua lembar utuh folio bergaris dan bulpen. "Saya minta kalian tulis apa yang terjadi dan tanda tangan. Ibu harap kalian bisa jujur!"  Perintah Esther.

Aldi dan Heri hanya menganggukkan kepalanya nurut dan mereka mulai menulis. Esther menopang dagunya dan berusaha untuk menahan matanya yang perlahan-lahan mulai terpejam.

Pikirannya penuh dengan rasa penasaran mengapa Kelvin sengaja membuat dirinya di skorsing. Bukan kali ini Esther meskorsing atau mengeluarkan seorang murid dari tempat ia bekerja karena pelanggaran yang mereka lakukan.

"Bu Esther? Bu!" Panggil Aldi.

Esther menegakkan badannya dan menggelengkan kepalanya pelan. "U-udah selesai?" Aldi dan Heri menganggukkan kepalanya berbarengan. Belum sempat ia berucap kembali, Nando membuka pintunya dengan kasar dengan napas yang tersengal-sengal.

"Bu, Jason..." Esther mengerutkan keningnya. "Jason..." ucapnya terbata-bata sambil menunjuk ke arah lapangan. Esther hanya menghembuskan napasnya kasar dan ia segera mengikuti Nando menuju lapangan.

Mereka berdua di kejutkan dengan Jason yang sedang memukul wajah Arif dan tidak ada satu pun orang di sekitarnya berani mendekat. "Kamu cepet panggil satpam, anak PMI yang jaga UKS, sama guru cowok yang lagi nganggur, cepet!" Esther memberanikan dirinya mendekat untuk memisahkan perkelahian tersebut.

"Bubar!" Perinta Esther.

Seluruh murid langsung membubar kan diri mereka, lalu Esther dengan sekuat tenagannya mendorong Jason hingga dirinya tidak sengaja terpukul di bagian wajah dan pingsan oleh Arif.

Flashback off

Kelvin tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kok kamu ketawa sih?! Bukannya prihatin sama temen kamu Arif." Esther menatap tajam Kelvin.

"Gimana mau prihatin kalo calon masa depan saya di sakitin kaya gini." Esther terdiam. Kelvin menyesap es kopi yang di pesan olehnya. "Menurut ibu siapa yang salah? Aiden atau Arif? Kalo kasusnya si Bang Jason. Saya udah tau yang salah sih," jelasnya.

Esther langsung menunjukkan kartu yang ada di tangannya. "Saya menang!" Kelvin menganggukkan kepalanya. Ia langsung memutar roda yang bertuliskan Truth or Dare. Jarum kecil yang ada di atas menunjukkan ke bagian kanan roda tersebut.

"Truth," ucapnya sambil menatap mata Esther.

Esther membereskan kartu remi tersebut, "dua permainan lagi pulang ya?" Kelvin menganggukkan kepalanya setuju. Esther menghirup napasnya dalam-dalam dan memikirkan pertanyaan yang akan ia tanyakan.

"Ayok tanya," tantangnya.

"Apa kamu pernah sedikit pun punya rasa pengen balikan sama mantan kamu?" Kelvin hanya terdiam. Esther menunggu Kelvin untuk menjawab pertanyaannya.

"Sedikit," balasnya singkat.

Esther hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti sambil menyerahkan tumpukan kartu remi. "Sekarang, kita main Blackjack. Apa ibu siap?" Esther menggelengkan kepalanya.

"Saya masih mau tanya." Kelvin kembali meletakkan tumpukan kartu tersebut dan kini ia menatap mata biru milik Kelvin.

"Saya... awalnya sama kaya Aiden. 5 stage of grief adalah... denial, anger, depression, acceptance, dan move on. Saya sekarang ada di fase acceptance, kok." Kelvin menggenggam tangan Esther dengan erat.

Esther membalas genggaman tangan Kelvin dan dapat merasakan dingin tangannya. "Bagaimana kamu menghadapinya?" Tanya Esther penasaran.

Kelvin hanya tersenyum tipis, lalu ia menghembuskan napasnya kasar. "Gak semua orang yang sedang berduka langsung dengerin lagu yang happy keculai emang dasarnya psikopat atau orang yang punya dendam kesumat, kan?" Esther menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu, maksud saya." Esther melepaskan genggaman tangannya. "Maksudnya, cara kamu menghadapi fase sebelumnya kaya apa?" Kelvin hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Saya..." Kelvin mengeluarkan keringat dari wajah hingga dahinya dan merasakan sakit perut yang luar biasa.

"Kelvin! Kamu kenapa?!" Esther langsung menghampiri Kelvin yang sedang memegang perutnya dengan keringat dingin yang terus keluar dari seluruh tubuhnya.

"A-ambil handphone saya..." Kelvin memejamkan matanya erat-erat karena menahan sakit di perutnya. Tanpa berfikir panjang lagi. Esther langsung mengambil handphone Kelvin dan menelpon kerabat terdekatnya.

.
.
.
.
.
.

Jangan lupa untuk share, vote, komen, dan tambahkan ke library! Karena setiap hal kecil yang kalian lakukan dapat membantu Author makin termotivasi untuk menulis.

Bu EstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang