Lelaki dengan tas jinjing besar warna hitam turun dari bus ekonomi jurusan YogyakartaㅡSurabaya. Dia terlihat kesusahan membawa tas itu karena tubuhnya beberapa kali oleng serta peluh yang menetes deras.
Dia memutuskan untuk berhenti dan meneduh di depan masjid seperti saran bundanya tadi sebelum berangkat.
Lelaki dengan kemeja garis-garis serta celana bahan itu memilih duduk di samping bapak-bapak yang terlihat sedang tidur. Dia menatap sekeliling sebelum mengeluarkan gawai keluaran 2016, ya cukup jadul jika dilihat tahun ini sudah tahun 2020.
Aplikasi berikon hijau dengan bulatan di tengah menjadi destinasi jempolnya. Kemudian mengetikkan beberapa deret huruf yang dia hafal sebelum memutuskan untuk pergi dari zona nyamannya dan menyeberangi provinsi lain, seorang diri.
Setelah selesai dia menekan tombol memesan lalu tidak selang lama dering telepon terdengar, menampilkan nomor telepon di layar ponselnya bertanda jika itu dari abang ojek online pesanannya.
Mereka bercakap-cakap sebelum akhirnya lelaki itu diminta untuk keluar terminal dan pergi ke halte Gudang Garam karena ojek online yang menjemput tidak boleh memasuki terminal, ojek online hanya boleh memasuki terminal jika mengangar penumpang.
"Atas nama Renjana Surendra?"
"Iya, Pak."
"Naik, Mas. Mau pakai jas hujan?"
"Kayaknya enggak bakal hujan deh, Pak. Cuma mendung."
Bapak ojek online pun mulai menyalakan mesin motornya dan melaju membelah padatnya kota Surabaya kala Siang hari.
***
Benar kata Minho, langit hanya menampakkan warna hitam dan tidak mengeluarkan air matanya. Minho sudah paham mengenai cuaca seperti ini, dia pandai dalam menebak prediksi cuaca seharian.
Minho sudah berdiri di depan rumah bertingkat tiga dengan gerbang hitam yang menutupi seluruh lingkungan rumah.
Bersiap untuk mengetuk ah gerbang apa bisa diketuk? Minho baru sadar akan hal itu dan berniat menghubungi Chan saja untuk memberitahu jika dia menghampiri tunangannya itu ke indekosnya. Oh, ya, kalian benar, Minho adalah tunangan Chan.
"Siapa ya?" Kegiatannya urung Minho lakukan karena dia mendengar suara yang tampak imut dari sampingnya. Minho memutuskan untuk menoleh dan mendapati sesosok lelaki manis mirip tupai.
"Saya ingin bertemu Biru William," jawab Minho.
"Ah, teman kak Biru?" Lelaki manis itu bertanya pada Minho.
Minho mengangguk, "Oh, bukan, saya tu-"
Ucapan Minho terpotong kala sosok yang dia tunggu muncul dengan motor vespa warna hitam, si nani ㅡnama motor si pengendara, yang secara khusus diberikan oleh Minho.
Chan tetap memasukkan motornya ke halaman indekos dengan Jisung yang berteriak, "Oh, Kak Biru, ini ada teman nyari kakak!"
Dengan tidak sabaran Chan turun dari motornya dan menyeret tangan Minho untuk ikut bersamanya memasuki kamar indekosnya.
"Sore sebaiknya ke kamar saja, kak Biru ada urusan padanya," ucap Chan sebelum benar-benar hilang ditelan pintu kamar indekosnya sendiri.
Jisung hanya menatap kedua orang itu dan menggeleng heran atau tepatnya, raut penasaran lebih mendominasi.
"Sore, itu bukan urusanmu," gumam lelaki manis itu lalu masuk ke kamarnya sendiri.
***
"Kenapa bisa datang kemari, Ja?"
Minho menunduk, tidak kuat menatap mata elang sang tunangan yang dijamin pasti sedang menatapnya tajam.
"Aku akan merantau untuk bekerja di sini," Minho menjelaskan.
"Tapi kenapa harus Surabaya?!?! Kan bisa ke Yogyakarta kota???!!"
"Kan ada Kak Biru di sini, bunda yang mau," Minho menjawab kembali.
"AASHHSHH!!"
"Kamu lebih baik jangan ke sini, ngekos aja di kos lain," Chan berucap kembali.
"Tapi Kak, bunda menyu-"
"Bunda bunda bunda, aku muak dengan bundamu!! Kenapa punya anak manja sepertimu sih!"
***
Minho akhirnya keluar dari kamar Chan dengan tetap menunduk. Sekarang dia bingung harus bagaimana. Dia tidak menyangka Chan benar-benar tidak menerimanya seperti ini.
"Sst-"
Minho mendengar desisan yang sepertinya memanggil dirinya. Di sana Minho mendapati orang yang membukakan dia gerbang indekos tadi.
"Ayo masuk kamarku, sepertinya kamu lelah setelah perjalanan jauh," lelaki itu, Jisung menawari Minho untuk rehat di kamarnya.
"Tunangan Kak Biru?" Tiba-tiba Jisung bertanya ketika Minho sudah meletakkan tas jinjing dan ransel yang terasa berat itu di lantai.
Minho mengangguk, "Tunangan sepihak. Kak Biru sebenarnya tidak setuju tapi karena bundaku memaksa akhirnya mau tidak mau Kak Biru setuju," Minho menjelaskan.
"Ah, sepertinya aku curhat," ucap Minho ketika menyadari kebodohannya atas membeberkan aibnya sendiri.
Jisung memandang Minho prihatin, "Tak apa. Btw, namamu siapa?"
"Aku Renjana, biasa dipanggil Jana. Satu tahun lebih muda dari Kak Biru."
"Berarti aku juga harus memanggilmu Kakak? Aku Sore, Kak, dua tahun di bawahmu," Jisung berganti memperkenalkan diri.
"Kamu semester empat?" Tanya Minho.
Jisung mengangguk, "Kalau Kak Jana berarti sudah semester akhir? Skripsian?"
Minho menggeleng, "Aku sudah lulus, jadi mau cari pekerjaan di sini. Rencananya biar bisa deket sama Kak Biru, tapi malah diusir," Minho menampilkan senyum kecutnya.
"Kalau kak Jana mau, Sore bisa berbagi kamar dengan kakak. Kamar ini cukup luas untuk ditempati satu orang saja, Sore juga sering kesepian. Nanti biaya sewanya kita tanggung berdua atau kalau kak Jana masih belum punya penghasilan biar Sore saja yang tanggung."
Minho memandang lelaki manis di depannya ini takjub. Bagaimana bisa dia begitu baik? Padahal mereka belum ada satu jam berkenalan.
"Tapi Kak Biru?"
"Jangan pedulikan dia, kan kakak kosnya di kamarku bukan di kamarnya."
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Minho setuju. Ini menguntungkannya dan dia pun sudah kenal dengan yang menawari.
Akhirnya saat itu juga Jisung membawa Minho pergi menemui Bapak indekos untuk memberitahukan perihal itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambilkan Bulan | minsungchan✓
Conto(💋) Biru, Renjana, Sore. Tiga kata, tiga manusia, tiga kepribadian. [180320ㅡ080420]