6.💔

20.5K 1K 3
                                    

"Asyifa siap memberikan ginjal untuk mas Raihan." Ucap Asyifa yakin membuat bunda dan ayah menatapnya tajam.

"Nggak nak, kita pasti bisa dapetin pendonor." Tolak bunda langsung.

"Kita udah dapetin bun, Syifa orangnya." Suara Syifa melemah.

"Jangan, Raihan juga kalo tau bakal nolak, biar ayah cari di luar kota bahkan luar negeri."

Kini sudah hari ke 4 Raihan di rawat namun belum juga mendapatkan pendonor, selama itu juga Asyifa sudah memikirkannya matang matang.

Syifa tersenyum kecut, Raihan tidak akan perduli padanya, Asyifa harus sadar dan mengenali batasannya agar ia tidak mengikut sertakan perasaan yang dapat menjadi boomerang baginya.
"Nggak papa yah sebelum hal yang tidak kita inginkan terjadi, Asyifa mohon jangan larang Asyifa bun yah Asyifa ikhlas lahir bathin demi suami Asyifa." Syifa berjongkok di depan bunda, tangannya terulur menggenggam tangan bunda.
"Asyifa mohon."

"Permisi, keadaan pasien memburuk, pasien tidak bisa bertahan dengan satu ginjal karena itu pasien secepatnya membutuhkan ginjal baru kalo tidak nyawa yang akan jadi taruhannya." Ucap dokter yang baru keluar dari ruangan Raihan.

"Saya siap menjadi pendonor dok." Syifa bangkit.

"Nggak nak..." Bunda kembali mencegah Syifa.

"Bunda..." Ucap Asyifa dengan tatapan memohon.

"Jangan dok! Kita tunggu sekertaris saya sedang mencari." Ayah mengambil Handphone.

"Ayah... mas Raihan butuhnya sekarang, ayah percaya sama Asyifa semua akan baik baik saja." Syifa berusaha meyakinkan ayah mertuanya.

"Dokter dokter pasien kritis, kita tidak bisa menunggu lama lagi." Ucap suster dengan panik, membuat bunda dan ayah mematung seketika.

"Dok siapkan operasi sekarang saya siap tapi saya minta kalo bisa dokter perempuan yang menangani saya." Putus Syifa sepihak.

"Baik saya permisi." Ucap dokter kemudian pergi di ikuti suster menyiapkan peralatan operasi.

Bunda menangis didekapan ayah, Asyifa berjalan sedikit menjauh kemudian mengambil handphone berniat menghubungi orang tuanya, tak lama terpampang wajah cerah sang abi dan umi tercinta.

"Assalamualaikum abi... umi..."

"Waalaikumsalam Humairanya umi... gimana kabarmu dan suamimu?"

"Alhamdulillah Humaira baik umi, Em... Humaira mau ngomong sama umi, abi sama bang Azzam."

Humaira?
Keluarga memanggil Asyifa dengan Humaira, yang di mulai oleh Azzam karna dulu saat ia menggoda adiknya itu pipinya sering kali memerah entah karena ketawa, kesal ataupun nangis dan juga di ambil dari nama tengahnya yaitu Asyifa Khumairoh irta biar lebih gampang mereka ubah menjadi Humaira.

"mau ngomong apa nak? abangmu pergi ke Singapura menggantikan abi meeting." Jawab Abi Asyifa.

"Humaira sambungkan ke abang dulu." Asyifa menambahkan Azzam.

"Assalamualaikum... Humaira"

"Waalaikumsalam bang" Ucap Asyifa, abi dan umi bersama.

"Eh ada umi ada abi pada lagi kangen kangenan ya..." Ucap Azzam dengan wajah sumringah.

"Ada yang mau Humaira omongan bang, tapi sebelumnya maaf abi, umi, bang tolong jangan putus omongan Humaira."

"Iya sok silahkan."

Asyifa mengambil nafas panjang dan menghembuskannya seakan yang akan di katakan begitu berat, bukan Asyifa tidak yakin dengan keputusannya melainkan Asyifa berat untuk menjelaskannya.

"Mas Raihan mengalami gagal ginjal abi, umi, bang jalan satu satunya adalah transplantasi ginjal, tapi sampai hari ini belum juga mendapatkan pendonor ginjal, keadaan mas Raihan sekarang kritis, kalo tidak mendapatkan ginjal baru nyawa mas Raihan tidak tertolong, Humaira mohon restu dan doa abi, umi, abang, Humaira udah pikir matang matang kalo mau mendonorkan ginjal buat mas Raihan, bukti bakti Humaira kepada mas Raihan, ini keinginan Humaira sendiri tanpa ada paksaan jadi Humaira minta restu dan izinnya sama abi, umi juga bang Azzam." Ucap Asyifa panjang lebar.

"Kamu yakin Ra?" Tanya Azzam memastikan.

"Seratus persen yakin bang."

"Kalo itu keinginan kamu dan yang terbaik untuk semuanya abi sama umi izinkan, tanpa kamu minta doa umi sama abi selalu mengalir untuk anak anak umi abi." Ucap umi dengan mata berkaca kaca.

"Humairanya abi udah dewasa sekarang, abi bangga dengan mu nak, kapan operasinya?"

"Belum tau bi Humaira harus cek kecocokan terlebih dahulu."

"Ya udah abi sama umi siap siap ke sana dulu ya, nanti jangan lupa kirim ruangan kamu, abi matiin dulu assalamualaikum." Ucap abi mengakhiri dan sekarang tersisa Asyifa dan Azzam.

"Waalaikumsalam"

"Humaira... abang bangga sama kamu, ade abang yang cengeng sekarang udah jadi wanita yang tegas, tegar dan insyaallah sholiha, abang mau bilang ngga boleh abang salah mau bilang boleh berat, tapi abang dukung semua langkah yang di ambil Humaira, maaf abang ngga bisa nemenin operasi kamu tapi doa dan restu abang selalu sama Humaira, abang sayang sama kamu."

"Makasih bang hiks Humaira juga sayang abang."

"Heeeiii jangan nangis Humaira, nanti pipinya tambah merah, semangat, abang yakin kamu pasti bisa, abang janji setelah pekerjaan selesai langsung meluncur ke rumah kamu."

"Iya bang Humaira tunggu, abang sehat sehat di sana jangan lupa sholat."

"Iya Humaira, abang tutup dulu Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam"

Setelah panggilan telepon berakhir Asyifa langsung mengirim nama dan nomor ruangan kepada uminya, menghapus air matanya, mengambil nafas panjang dan kembali menyusul mertuanya.

"Nak... Ayah banyak berhutang budi kepadamu, maaf, ayah minta maaf seadanya ayah lebih baik mencari pendonor kamu nggak perlu gini." Raut penyesalan tergambar jelas di wajah mertua Syifa.

"Ayah... ini udah takdir Asyifa, lagian Asyifa nggak kenapa napa kok Asyifa baik baik saja ayah, ayah jangan nyalahin diri ayah."

"Nak... Bunda berterima kasih banyak hiks bunda nggak tau mau bales gimana kebaikan kamu hiks." Tangis bunda pecah di pelukan Asyifa.

"Asyifa ikhlas bunda Asyifa nggak butuh balasan sama sekali, Asyifa cuma mau jangan kasih tau mas Raihan kalo ginjal yang ada di tubuh mas Raihan itu ginjal Asyifa."

Karena apa?
Asyifa takut kalo Raihan tidak menerima ginjal itu di tubuhnya dan akan bertindak bodoh.

Asyifa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang