minghao tersadar dengan tubuh banjir keringat. ia tergeletak di ruang tengah, tempatnya ketiduran saat mengerjakan tugas.
napasnya belum teratur. dadanya masih naik-turun. pening di kepalanya belum hilang.
kakinya terangkat ke atas, bermaksud menghampiri temannya yang tengah menginap. begitu pintu kamar dibuka, ternyata kosong. mingyu bersama tas perlengkapannya tidak ada di penjuru kamar.
ke mana mingyu?
minghao merasa dejavu.
minghao bingung harus bertindak apa.
ia ingin lari, tapi dengkulnya terasa lemas. ia ingin pergi, tapi hatinya berkata untuk tetap.
minghao melewati lorong rumahnya. tanpa sengaja matanya terlirik ke cermin. keadaan tubuhnya memang tambah kacau.
kantung matanya semakin membesar dan badannya semakin mengurus.
baju kusut dengan bercak-bercak gelap di celana bagian bawah.
jangan lupakan aroma tidak sedap yang ada di sekelilingnya. minghao harus mandi.
kakinya dihentakkan perlahan. ia berjalan ke pintu depan. ingin menghirup udara segar.
betapa terkejutnya ia saat melihat mingyu dengan wajahnya yang mengeras, berlari tergesa ke rumahnya.
“minghao, lo ke mana?!” serunya sambil mengguncang pelan pundak minghao.
minghao terkejut, “maksudnya apa? gue gak ke mana-mana—”
“maksudnya apa? udah tiga hari ini lo menghilang! lo dari mana aja?!” ujar mingyu sambil mendorongnya masuk ke rumah.
“h-hah, apa sih—”
“selama empat hari ini gue berjuang sendiri, tau? pergi ke bermacam tempat, mengurusi ini-itu.” mingyu mengeluarkan banyak perlengkapan dari tasnya, “bahkan mengurusi mereka yang sudah di langit.”
minghao terdiam.
pergerakan tangan mingyu terhenti, “mind to tell me, what the fuck is this?” ujarnya sambil melemparkan sebuah kotak yang cukup besar ke lantai—ke tengah-tengah mereka.
hening sejenak.
lutut minghao terlipat, pemiliknya berjongkok. jemarinya membuka kotak kardus dengan hati-hati.
aroma anyir menyerebak tepat setelah kotaknya terbuka.
mingyu menarik napas, “gue nemu di kolong kasur gue—kasur di kamar tamu. gue gak tau ini apa, dan bener-bener nge-down begitu ngeliatnya.”
mata minghao membulat melihat isinya.
sebuah baju putih—tidak, tiga lembar baju putih dengan bercak darah di ketiganya. sebuah pisau dapur dan belati dengan darah yang mengering, pistol, dan tali tambang yang terpotong berantakan. juga ada laptop di baliknya.
tersusun rapi hingga muat di satu kotak.
“ini apa, minghao?”
pandangan minghao mengabur dengan menaiknya genangan air di matanya.
“mingyu, i can explain—”
“no need to explain. ini lo yang berbuat?”
“b-bukan ... ” minghao menyeka keringat yang mengalir di dahinya, “ini adek gue—”
“lo anak tunggal.”
“a-adek ... gue manggilnya delapan.” napas minghao tersenggal, “lebih muda dua belas tahun—”
“minghao, i’m calling the police.”
“jangan, dia benci polisi—”
“i’m calling the police.”
“mingyu!”
“they’re on the way.”
minghao mengangkat kepalanya. memperlihatkan matanya yang memerah.
“jadi yang lo ceritain sebelumnya,” mingyu berjongkok, “itu semua bohong?”
minghao menelan ludahnya, “bukan. gue gak bohong.” ujarnya lugas.
“terus apa?”
laki-laki tiongkok itu tidak menjawab.
mingyu mengangguk pelan, lantas berdiri membelakangi temannya. ia berbicara lagi di ponselnya. dengan polisi, tentunya.
minghao tetap bergeming.
pandangan dan pikirannya kosong. badannya lemas. dengan perlengkapan penuh darah di tangannya, ia semakin lemas.
tidak tahu harus berbuat apa.
“mereka sebentar lagi sampe.” mingyu menoleh, “bakal lebih gampang kalo lo yang nyeritain sendiri.” ujarnya lalu kembali berbalik, berbicara di ponselnya.
minghao menarik napas dalam-dalam.
ia mengarahkan moncong pistol ke dagunya.
jemarinya menarik pelatuk.
DOR!
once upon a time, end.