“hao, you okay?”
minghao menoleh, mendapati seniornya tengah menatapnya lurus dan bertanya.
laki-laki itu tersenyum tipis dan mengibaskan tangannya, “okay. cuma agak ... kepikiran sama yang baru-baru ini.”
“mereka temen deket lu, ya?” seniornya berdehem.
minghao mengangguk. ia kembali tenggelam dengan pikirannya sendiri.
🌫
“pagi, dahyun.” minghao menyapa ramah, “apa dia sudah lebih baik?”
“pagi juga, kak minghao.” adik yugyeom, dahyun, menjawab. “belum, kak. kak yugyeom belum keluar dari kamarnya, dan makanan yang diberikan masih bersisa banyak. aku gak tau harus apa lagi.” ujar dahyun sambil menghela napas.
minghao mengangguk pelan.
yugyeom sangat terpukul dengan perginya bambam. dia mengurung diri, mogok makan dan sekolah, juga tidak menjawab pesan-pesan dari temannya.
beberapa hari terakhir ini, minghao dan yang lain bergantian mengunjungi yugyeom. mengajaknya bicara, memberinya makan. walau kadang tidak diterima bahkan tidak diizinkan masuk ke kamarnya, mereka tetap melakukannya.
“aku boleh masuk?”
dahyun mengangguk, membuka pintu lebih lebar.
minghao berdiri di depan pintu kamar yugyeom. ia mengetuknya.
“yugyeom?”
tidak ada jawaban.
tidak apa. sebelumnya juga begitu.
“yugyeom, gue boleh masuk?”
masih tidak ada jawaban.
“lu udah makan, belom?”
“kasian, loh, dahyun. dia nyiapin makanan dari pagi sampe malem, tapi gak disentuh.”
“makan, ya? buat kesehatan lu juga.”
“ini gue bawa bulgogi sama ayam. mau, nggak? mau, lah, ya. makan, ya, yugyeom.”
“yugyeom?”
tanpa sadar, tangan minghao menyentuh gagang pintu. ia sedikit terkejut saat tahu pintunya tidak dikunci.
“tumben gak dikunci. maaf, gue asal masuk aja—”
gerakan minghao tertahan.
ia membeku.
seseorang—lagi-lagi dengan topeng hitam dan baju putih—sedang menahan bantal di atas wajah yugyeom. tangan dan kaki yugyeom bergerak-gerak ke atas, berusaha menyingkirkan bantal tersebut.
tak lama kemudian, orang itu mengeluarkan belati dan menikam uluhati yugyeom.
