🍂 Like a dead leaf

1.7K 196 30
                                    

I. DUSK

SENJA akan tenggelam di ujung barat dalam waktu dekat. Jingganya pun perlahan memudar, hendak menyapa malam. Tetapi kau masih bertahan disana. Dibawah ring basket dengan memeluk bola oranye yang selama dua jam kau mainkan. Sekarang bola itu berada di pangkuanmu, dengan posisimu yang kini menyanggah tubuh dengan kedua tangan. Memandang bagaimana senja melambaikan salam jumpa. Sedangkan aku memandangmu dalam diam dan rematan kuat pada tali ransel.

Aku merasa darahku berdesir saat melihat lengkungan senyum di wajahmu. Namun detik berikutnya aku terpaku di tempat saat  air matamu luruh disaat senyum indah itu masih menghias wajahmu.

Apa yang terjadi?

Air mata itu terus mengalir, semakin deras, dan pilu. Dadaku merasa ngilu. Ingin sekali aku meraihmu ke dalam pelukku. Merengkuhmu sekuat mungkin dan meyakinkanmu bahwa kau tak sendiri. Tetapi apa dayaku? Aku bahkan tak pernah muncul di hadapanmu. Kau bahkan tak mengenalku. Kau tak tahu aku. Namun aku begitu mencintaimu.

Bagaimana bisa?

Mengapa kau mampu membuat hati ini berdebar kuat saat jarak kita dalam radius dekat walau kau tetap tak bisa melihatku. Mengapa aku selalu bahagia disetiap kau tertawa? Dan mengapa aku harus merasakan sakit ini? Bahkan karena melihat air mata yang tak kuketahui mengapa itu hadir.

Jeon Jungkook.

Kau baik-baik saja?

II. FIGHT

PAGI masih berembun, dingin masih begitu menusuk. Sekolah masih begitu sepi. Namun aku melihatmu disana. Di atas gedung tertinggi di tempat ini. Aku melihatmu, saat tengah menyapa mentari pagi. Mencari kehangatan sinarnya yang tak muncul pagi ini, karena dingin menguasai. Dan kabut mengambil alih.

Namun diantara embun yang menyelimut, aku mampu melihatmu. Termenung sendiri dengan menatap sekitar. Dari atas gedung, kau nampak masih dengan kegelisahanmu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Namun aku tak pernah melihatmu datang sepagi ini. Kalau begitu, bolehkah aku bersyukur untuk ini? Karena tugas piketku hari ini membuatku datang lebih pagi. Yang tak kusangka akan melihatnya sepagi ini.

Aku merasakan senyuman tak luntur dari wajahku. Debarannya bahkan tetap cepat setiap melihatmu. Berlebihan? Kurasa begitu. Namun itulah yang aku rasakan.

Terlebih saat kau tersenyum. Huh, rasanya jantungku seperti akan melompat keluar. Tapi lagi-lagi, kesedihan itu menyayat hatiku. Wajah sendumu kembali kulihat. Kau menatap langit, lekat. Bibirmu bergerak, mengucapkan sesuatu. Yang tentu saja tak mampu kudengar apa itu. Aku masih mendongakkan kepalaku, menatapmu diatas sana yang juga mendongak, masih termenung menatap langit—yang mulai menghangat karena mentari nampak pada akhirnya.

Dan kau pergi.

Bersamaan dengan sekolah yang mulai ramai. Oh! Aku harus melaksanakan piketku.

Beruntung belum ada siapapun, jadi aku bisa membersihkan ruangan ini dengan mudah sebelum yang lainnya datang.

Satu jam kemudian, bel berbunyi. Aku sudah duduk manis di bangkuku, paling belakang, dekat dengan jendela. Sendiri. Ya, jumlah siswa di sini ganjil. Dan aku tak mendapat teman semeja. Tak masalah. Lagipula, mereka tak pernah menganggapku juga.

Why, Am I? [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang