BAB TIGA BELAS

55 16 38
                                    

Semua berawal dari ketidakbisaan
~Guru Les Alin~

×××××

Apakah ada yang salah kalau Alin suka dunia mode tapi tidak tertarik dengan modellingnya?

Iya, Alin pasti aneh.

Mengingat betapa aneh dirinya, dia hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan menumpukan kepala di salah satu tangannya.

"Kak, seorang model nggak harus hitungin f(x), sin cos tan, dan lain-lainnya, kan?" tanya Alin random pada guru lesnya yang baru.

"Apa, Lin?" Putri, guru les Matematika Alin, tidak sempat mendengar dengan jelas. Dia sedang sibuk memecahkan soal PR Alin dengan cepat, tetapi Alin malah memikirkan hal random.

Alin menggeleng. "Nggak apa-apa, kak. Aku cuma kepikiran aja."

Ayo kembali fokus lagi, Alin!

"Aduh!" Dia menepuk kedua pipinya sedikit kencang sehingga dia meringis kesakitan dan mengelus keduanya.

Putri terkekeh melihat murid barunya. Baru pertemuan pertama, tapi tingkah Alin sudah aneh saja. "Kamu nggak apa-apa, Lin?"

Gadis itu menggeleng. Tangannya kembali mengambil pensilnya dan meninggalkan pipinya yang sudah memiliki cap merah. "Maaf ganggu, kak. Silakan dilanjut lagi.."

"Oke, kulanjutin ya. Buat nomor 4, yang kita ketahui disini apa aja?"

"Hm... sudut 45° dan panjang miring?" tebak Alin. Untungnya benar. Guru lesnya mulai menerangkan semua. Alin mencoba memahami semampunya.

"Jadi segini jawabannya. Paham, Lin?"

Alin mengangguk paham. Untuk saat ini dia paham, tidak tahu lagi setelah melupakannya apakah dia masih bisa ingat atau tidak.

"Kita lanjut ya.."

Mereka melanjutkan hingga nomor terakhir dengan lancar. Kak Putri menerangkan dengan cara yang mudah dipahami untuk Alin, dan Alin otaknya sedang cemerlang. "Kita masih ada waktu 15 menit, mau ngobrol santai atau lanjut kerja soal sendiri nggak, nih?"

"Ngobrol santai, kak!" Alin menjawab dengan semangat. Walaupun lagi cemerlang, dirinya juga ogah kalau harus belajar ketika ada pilihan lain yang lebih menyenangkan.

"Kakak ambil jurusan apa?" Gadis itu bertanya duluan untuk menghindari kekosongan suasana.

"Matematika murni."

Alin bertepuk tangan kecil, "Pantes kakak ngajar Mat."

"Aku juga ngajar fisika, kok. Mungkin kalau kamu tertarik fisika, boleh sama kakak juga, haha," canda Putri. Jelas dia sadar kalau materi pelajaran Alin sekarang untuk anak IPS, terlebih wajah Alin langsung horor.

"Aku aja IPS sudah pusing sama pelajaran IPS, apalagi pelajaran IPA kayak fisika. Nggak deh, ampun." Dia menjawab dengan mimik muka yang serius. Itu berhasil menarik senyuman di wajah Putri.

"Kamu sendiri sudah tahu mau ambil jurusan apa?" Putri bertanya balik. Alin menggeleng. "Aku aja nggak ngerti bakatku gimana."

Putri mengangguk paham. Kalau dia mencoba mengingat ulang apa yang Alin katakan secara random, kemungkinan gadis itu akan jadi model. Apalagi wajahnya sangat mendukung. "Kamu mau jadi model, ya?"

"Nggak tahu, deh. Aku lagi coba ikut kelas modelling. Kalau cocok, ya paling kedepannya jadi model. Kalau nggak... Nggak tahu lagi mau jadi apa."

"Kamu cocok banget sih kalau jadi model."

Lagi-lagi kalimat yang sama seperti semua orang. Iya sih, Alin mengakui itu. Wajahnya yang blasteran memang lumayan—menurut orang lain, kalau buat Alin sih biasa aja. Kadang jelek malah. Lalu tubuhnya yang tinggi dengan berat badan yang ideal. Setidaknya penampilan fisiknya sudah memenuhi kriteria model.

Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang