"Lin, kamu ke psikolog? Ternyata kamu sakit, ya?" Kevan sedikit tidak percaya dengan informasi yang diam-diam dia ketahui. Wah, siapa yang mengira Alin nggak sesempurna yang dia bayangkan?
[]
Sehabis mencoba jalan-jalan ke mal, ada luapan kesenangan lagi yang mulai timbul di diri Alin. Meskipun butuh setengah jam setelah masuk mal dan akhirnya baru kembali merasa senang. Hanya saja kali ini dia hanya membeli ayam pok-pok dan kentang goreng, tidak ada baju baru.
Niatnya sehabis ini Alin akan langsung ke tempat Yuna karena waktunya berdekatan. Alin mulai mendaftar satu-satu kegiatan yang niatnya mau dia lakukan hari ini. Sehabis terapi, mungkin dia akan makan pizza sendirian untuk membangkitkan rasa senangnya.
Sambil berpikir, dia melahap ayamnya. Tanpa dia sadari, Kevan menyadari kehadirannya. Betapa beruntungnya cowok itu hari ini. Awalnya dia ogah-ogahan menemani kakaknya yang gila belanja. Satu toko saja bisa setengah jam sampai satu jam aja, belum lagi dengan rata-rata total 15 toko lebih yang didatangi. Janjinya sih kali ini cuma cari baju buat ulang tahun sepupunya, tapi kelihatannya tiga kantong belanja juga tidak cukup untuk ulang tahun sepupunya.
Melihat Alin yang jalan sepintas sudah membuat diri Kevan kembali bersemangat. "Kak, aku mau nyusul calon pacar dulu, ya."
"Calon pacar? Yang mana?" goda kakaknya. Biasanya adiknya yang buaya darat murahan itu punya beberapa nama yang akan dianggap sebagai calon pacar. Hanya saja sekarang ada satu nama yang sering cowok itu sebut.
"Yang paling cantik, haha." Tanpa banyak bicara lagi, Kevan menaruh tas belanjaan kakaknya dan berlari kecil menuju Alin. "Lin!"
Gadis itu tidak menoleh juga. Justru dia mengambil ponselnya dan menerima telepon seseorang. Secara tiba-tiba Kevan jadi tahu diri untuk tidak mengganggu orang telepon, padahal biasanya sih tidak.
Langkah kaki Alin mulai cepat. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya jadi tergesa-gesa. Kevan mau menyusulnya juga, tapi kakaknya pasti menunggu. Jarak di antara mereka semakin menjauh, Alin terus jalan cepat sedangkan Kevan cuma bisa menerima keadaan di belakangnya. "Sekali-sekali jadi adek yang baik, deh. Dah, Lin."
Melihat kedatangan Kevan yang cepat membuat dahi kakaknya berkerut. "Lho? Sudah selesai ngomong sama calon pacarnya?"
"Dianya kabur, Kak."
Jawaban yang ambigu membuat kakaknya salah paham. "Awas, itu tanda kamu bakal ditolak mungkin."
"Jangan mulai deh, Kak. Kakak tahu kan seberapa gigihnya aku sama prioritas pertamaku?"
"Halah, halah ... Iyain, deh."
Setelah mendapatkan satu tas belanja tambahan yang harus Kevan bawakan demi putri mahkota keluarga, mereka berjalan sedikit dan memasuki toko lainnya. Lagi-lagi dirinya akan berdiri-duduk-berdiri-duduk sambil mengawasi kakaknya yang mencoba berbagai jenis model sepatu hak tinggi. "Kak, sepatu kakak kan sudah banyak."
"Iya, sih. Ini lihat-lihat aja, kok."
Lihat-lihat doang tapi berakhir mengeluarkan kartu hitamnya. Itu sih namanya beli, bukan lihat-lihat.
Siklusnya berputar-putar di situ saja hingga saat waktunya makan siang, dia bisa meletakkan belanjaan kakaknya dan mengambil ponselnya. Ada tiga pesan sekaligus yang dikirim oleh Rio.
Rio : Oi, aku lihat Alin
Rio : [Send a photo]
Rio : Oi bales oiKevan : Hm, aku juga ketemu dia tadi
Rio : I see, dia masih di depanku
Kevan : Ngikutin?
Rio : iy
Rio : Anjir, dia masuk tempat psikolog cuk
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Spotlight (✓)
Dla nastolatkówKata orang, menjadi cantik akan menyelesaikan 50% masalah kehidupan. Mungkin benar, tapi rasanya masalah batinku yang bertambah. Semua sorotan seakan-akan aku pemeran utama terlalu berlebihan. Semua orang datang dan mengagumi diriku, padahal aku tid...