BAB TIGA PULUH EMPAT

14 5 0
                                    

"Kamu mau ke mana, Lin?"

"Aku ada jadwal modelling." Gadis itu mencari sepatu yang cocok dengannya, terlihat cantik dan nyaman untuk dipakai.

"Kamu nggak mau istirahat dulu? Setidaknya tunggu sampai kamu benar-benar pulih kayak dulu." Alin terdiam untuk beberapa saat dan berbalik menoleh ke mamanya. Di antara paham dan tidak paham dengan kalimat itu, Alin berjalan mendekat dan mengecup pelan pipi mamanya seperti yang dulu sering kali dia lakukan.

"Kayak dulu itu yang kayak gimana, Ma? Karena kurasa aku sama seperti dulu. Kalau nggak pun, sampai berapa lama aku harus menunggu diriku menjadi yang dulu?" Lea tidak bisa menjawab karena takut air matanya jatuh. Akhir-akhir perasaannya jauh lebih rapuh sehingga Heru saja harus berhati-hati untuk tidak menyinggung hal-hal yang sekiranya bisa membuat wanita itu menangis mendadak. "Aku pergi dulu."

"Lin ..." 

Di luar pagar sudah ada orang ojek online yang menunggu, jadi tidak ada kesempatan bagi Heru untuk mengantar anak gadisnya seperti biasa. Ntah kenapa Heru merasa sejak percakapan di kamar itu, Alin sengaja menjaga sedikit jarak di antara mereka. 

"Anak itu keras kepala, ya. Sifat dari mana sih itu?" sebal Heru. Padahal seandainya dia yang mengantar Alin, dia pasti mengambil kesempatan dari macet untuk membicarakan semuanya dengan baik-baik dan meluruskan beberapa kesalahpahaman.

Sambil mengusap matanya yang sudah berkaca-kaca, Lea menjawab, "Dari kamu, lah. Kamu kan kalau disuruh ke rumah sakit juga nggak bakal nurut."

"Ray? Kok kamu ada di sini?" tanya Alin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ray? Kok kamu ada di sini?" tanya Alin. Kali ini Alin menjadi model untuk toko baju dan dia baru saja menyelesaikan sesi foto pertamanya, sekarang dia akan berganti baju lain untuk sesi foto berikutnya. Ray juga sama kagetnya dengan kehadiran Alin tapi bisa menguasai ekspresinya dengan cepat. 

"Aku mau bawain makanan buat kakakku."

"Kakakmu?"

"Iya, dia itu penata gaya." Tidak lama, ada seorang perempuan yang mendekati mereka. Alin sedikit menundukkan kepala untuk menyapa tanpa suara, sedangkan Ray sudah tersenyum sumringah dan memberikan makanan yang dari tadi dia bawa. Pantas saja Alin merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu, ternyata dia adalah kakak Ray dan wajah mereka memang hampir mirip.

"Kalian ternyata kenal, ya?"

"Kita satu sekolah, kak. Dia juga anak OSIS," jelas Ray. Kakaknya mengangguk dan kembali ke temannya, tidak lupa mengingatkan Alin untuk tidak mengobrol kelamaan karena sebentar lagi akan lanjut sesi foto. 

"Kalau gitu aku kembali kerja dulu, ya."

"Iya. Kutunggu disini," ujar Ray tanpa diminta. Alin tidak yakin apakah Ray akan benar-benar menunggunya karena alasan cowok itu datang kan bukan karena dirinya. Sambil melanjutkan sesi pemotretan, awalnya Alin sering mencuri pandang untuk memastikan cowok itu masih ada di sana sampai akhirnya disuruh fokus lagi.

Tetapi ternyata saat sesi kedua dan ketiga selesai, Ray masih belum pergi dan duduk santai sambil menikmati kopinya.  Sejujurnya, laki-laki itu cocok untuk jadi model. Cukup dengan pose kasual seperti itu auranya sudah terlihat ganteng. Melihat itu, garis bibir Alin melengkung. Rasanya berbeda saat ditunggu Kevan dan Ray.

"Kamu pulang bareng kakakmu, ya?" basa basi Alin. Ray beranjak berdiri dan mematikan ponsel. "Nggak, kok. Kita pulang sendiri-sendiri."

Jadi Ray memang menunggunya? "Kalau gitu kenapa kamu masih disini?" Alin sok tidak tahu, padahal perasaannya sudah bergejolak.

"Sekalian aku nganterin kamu pulang kalau kamu nggak masalah. Nggak apa-apa, kan?"

Jelas tidak apa-apa. "Nggak masalah. Tapi kita mampir ke kafe dekat sini, ya?'

"Ayo."

[]

Di barisan antrian masih ada 4 orang yang berbaris, jadi Alin menggunakan hal ini untuk berbasa-basi. Tidak enak rasanya kalau harus diam-diaman dan canggung di situasi begini. Dahi gadis itu mengerut, dia ingin membicarakan sesuatu tetapi tidak tahu topik apa yang diangkat. Masa menanyai kabar? Memang sih sejak Alin keluar dari rumah sakit mereka tidak sempat bertemu lagi. Sesekali hanya berpapasan tanpa menyapa. 

Sebagai cowok yang cekatan, melihat itu sudah menjadi kode untuk Ray agar memulai percakapan. "Kamu kelihatannya baikan, nggak lagi lemas kayak kemarin-kemarin?"

"Lemas? Memangnya kemarin aku kayak gimana."

Ah, seharusnya Ray tidak membahas ini. "Susah untuk dijelaskan. Pokoknya kamu kelihatan lebih baik sekarang."

"Oh, begitu." Tatapan Alin menuju lantai. Sepertinya dia tidak bisa memaksa Ray untuk menjelaskan penampilannya yang kemarin-kemarin. "Setidaknya aku nggak kelihatan seperti orang yang harus diperiksakan ke psikolog."

"Psikolog?" Apa ini yang Airin maksud kemarin?

Bukannya menjawab, Alin malah kembali bertanya, "Aku memang kelihatan normal, kan? Aku nggak ngerti kenapa kedua orang tuaku nyuruh aku ke psikolog. Mereka pasti cuma terlalu khawatir. Yang pasti aku belum gila."

"Kurasa ke psikolog bukan berarti kita orang gila. Maaf kalau menyinggung, tapi kamu pernah dengar nggak kadang orang lain lebih mengenal diri kita sendiri dibanding kita sendiri? Apalagi itu orang tuamu sendiri yang sudah ngerawat kamu sejak kamu baru buka mata hingga sekarang."

Karena tidak sesuai dengan harapannya, Alin tidak berkata-berkata lagi. 

[To be Continued...]

Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang