"Hah? Jadi Alin gila?!" Rio pura-pura terkejut dengan itu.
Kevan tersenyum miring. "Iya. Untung belum pacaran, jadi nggak repot ngurus orang gila."
Mata Ray tidak lepas dari Alin untuk mengecek gadis itu. Alin kelihatan sekali untuk tetap tenang walaupun sedikit bergetar. Siapa sih yang bisa bertahan kalau ditodong di depan umum seperti itu? Bu gurunya menyenggol Ray dan berbisik, "Ray, itu beneran?"
"Iya, Bu."
Garis bibir Yuna melengkung. Ini adalah sesuatu yang dia sudah prediksi. "Terima kasih untuk informasi itu. Tapi semuanya, saya harus beritahu bahwa lagi-lagi mindset kuno itu harus diubah. Tidak semua orang yang pergi ke psikolog atau psikiater adalah orang gila. Justru beberapa penderita masih bisa melakukan aktivitas selayaknya warga negara yang normal. Contohnya adek Alin. Dia masih bisa ke sekolah meskipun itu hal yang sulit. Tetapi apakah artinya dia harus dijauhi?"
Kepala Yuna menggeleng. "Tidak. Kita sebagai teman dan gurunya harus memperlakukannya seperti biasa. Saya sudah bilang tadi, penderita gangguan mental bukanlah orang yang harus dijauhi, mereka harus ditolong dan diperhatikan. Di sini saya meminta kerja sama kalian semua. Mau saya beri bukti kalau orang yang datang ke psikolog atau psikiater bukanlah orang gila? Kalian bisa cek satu youtuber berdarah korea yang sudah lama tinggal di Indonesia. Dia merasa ada yang janggal dengannya dan pergi ke psikiater. Di sini dia bisa diselamatkan dari berbagai hal yang tidak diinginkan. Bahkan kadang kita yang merasa normal pun sesekali bisa pergi ke psikolog. Kami para psikolog dan psikiater siap untuk mendengar kisah kalian, jangan takut untuk datang ke kami jika merasa lelah."
Ada beban yang terlepas dari pundak Alin. Pemikiran Kevan untuk memberitahu di sini bisa dibilang tepat sasaran dan juga melenceng. Sangat tepat sasaran untuk memberi edukasi ke murid untuk tidak mengecap Alin aneh dan tentu saja melenceng dari yang Kevan pikirkan.
Berkat seminar yang semakin menarik, para murid lebih bersemangat mengikuti seminarnya dan pola pikirannya juga berubah. Penanganan mindset yang cepat membuat murid-murid tidak memiliki pikiran aneh-aneh sama sekali, justru beberapa dari mereka merasa ada tanggung jawab untuk menjaga lingkungan sekolah menjadi lebih friendly dan tidak judgemental.
"Beruntung juga Dek Kevan dan Alin tidak sampai pacaran, ya. Nanti takutnya Alin yang malah repot harus punya pacar dengan mindset kuno seperti itu," sindir Yuna dengan halus. Di hari itu saat Airin sibuk beradu mulut dengan Kevan, dia melihat semua. Tentu saja dia melihatnya, kan semuanya terjadi di depan kantornya.
Baik Airin ataupun Ray tersenyum mengejek ke Kevan. Mau tahu sesuatu? Mereka sengaja mempersiapkan ini semua untuk mengurangi beban Alin. Biarkan gadis itu fokus dengan penyembuhannya, jangan ditambah dengan tatapan menghakimi dari murid-murid.
Berkat kesempatan Ray menjadi ketua OSIS, dia bisa mengajukan seminar ini ke sekolah walaupun jangka waktu persiapannya bisa dibilang sangat singkat. Hanya lima hari yang tersisa dan itu waktu yang krusial karena tidak tahu kapan bom waktu Kevan meledak. Beruntung sekolah mau mendengar alasannya yang terdengar penting dan genting.
"Apa anda bisa datang ke sekolah saya untuk memberi seminar singkat tentang penyakit mental? Menurut saya ini penting," pinta Ray pada Yuna sepulang sekolah. Yuna ingat dengan jelas bahwa cowok itu juga keluar dari mobil untuk mengakhiri perdebatan itu. Ingatan dan perasaannya tidak salah untuk menebak bahwa Ray tulus mau membantu Alin.
Seakan-akan alam pun memberi persetujuan, kebetulan di tanggal yang Ray ajukan tidak ada jadwal untuk Yuna alias dia bisa menjadi pembicaranya. Mereka berdua—lebih tepatnya mereka bertiga termasuk Airin, sudah merancangkan skenario terburuk dan yang paling memungkinkan untuk terjadi. Antara bom waktu Kevan meledak sebelum hari H atau meledak di tengah seminar. Untung saja Kevan tidak mengatakan apapun selama 5 hari dan memutuskan angkat suara di tengah seminar.
Sialan, sialan, sialan. Cowok itu kelihatan benar-benar kesal. Bukan ini yang dia inginkan. Rasanya selama ini waktunya untuk menunggu waktu dan tempat yang pas menjadi sia-sia. Alin kelihatan jauh lebih tenang setelah mendengar ucapan Yuna. "Dia beneran tantemu? Kenapa dukung Alin, sih!"
"Dia juga psikolog Alin, Van."
Sekarang Kevan yang mau kabur. Gerombolan gadis di belakangnya sengaja menyindirnya. "Kalau aku jadi Alin sih syukur banget bisa nggak jadian sama Kevan."
"Kevan sih yang sinting. Bukannya dibantu malah dijauhin. Gak pantes banget dia buat pacaran sama Alin."
"Kasihan Alin bisa disukai cowok macem Kevan."
Mau kabur, dia terlihat pengecut. Tapi kalau tetap diam, kupingnya sangat panas. Sebagai seorang Kevan yang selalu mementingkan emosinya, cowok itu berdiri dan segera keluar dari aula tersebut. Beberapa guru mencoba menghentikannya tapi Ray mencoba berbicara pada para guru untuk membiarkannya pergi. "Nggak apa-apa, Pak. Biarin dia ngerasain malunya."
"Saya juga mau mengingat pada masing-masing kalian untuk tidak lupa pada kesehatan mental kalian sendiri. Siapapun bisa terkena gangguan ini jika tidak was-was. Mungkin beberapa kalian lagi sangat berambisi untuk menjadi yang terbaik atau masuk ke universitas ternama, tapi saya mohon jika sudah terasa sangat berat, jangan lupa untuk beristirahat sejenak dan ceritakan isi hati kalian ke keluarga atau teman. Utamakan kesehatan mental kalian, dengan begitu kalian bisa melakukan segala hal dengan baik. Sekian dari saya."
"Baik, terima kasih Bu Yuna. Kita sudah mendengar beberapa hal yang penting dari Bu Yuna. Apakah ada yang mau bertanya? Ayo yang penasaran jangan takut untuk bertanya. Ini juga demi kalian sendiri. Saya akan beri lima kesempatan untuk bertanya."
Satu per satu murid mengangkat tangannya dan bertanya. Dengan senang hati Yuna menjawab.
Seminar ditutup dengan foto bersama, selepas itu murid-murid dipersilahkan untnuk menikmati jam istirahat. Sebelum Yuna pulang, Alin menghampirinya. "Permisi, mbak. Aku mau terima kasih buat tadi."
"It's okay, Lin. Kamu juga harus berterima kasih ke Ray dan Airin, mereka dua orang yang memberikan ide ini dan benar-benar tulus mau membantu kamu. Jangan lupa kamis kita ketemu, ya!"
Alin tidak bisa berkata-kata setelah Yuna pergi. Setidaknya ada satu hal yang sangat dia syukuri dan akan selalu teringat di ingatannya, kehadiran sahabatnya dan ketua OSIS benar-benar berharga untuk perjalanan kehidupannya.
"Rin, Ray, thanks for today. Aku nggak nyangka ternyata seminar ini dibuat demi aku. I'm speechless ..."
"Aku lega kami bisa angkat sedikit beban itu. Sekarang jangan takut lagi, ya? Dan tolong lakukan segalanya sesuai keinginanmu, bukan keinginan orang lain. Setidaknya kalau kamu masih mau nurutin keinginan orang lain, turuti aja keinginanku."
Kalimat Airin membuat Alin bertanya-tanya. "Apa itu?"
"Find your true happiness. Cukup itu aja. Sekarang ayo makan, aku laper."
Ini bukan akhir, tetapi ini adalah awal. Awal bagi Alin untuk menerima dan menghadapi keadaannya dengan kepala tegak dan dukungan sesuai yang ia dukungan. Kini tujuan hidup sebelumnya tergantikan menjadi kalimat pertama Airin. Find the true happiness.
[To be Continued...]
Catatan Penulis :
Apakah ini akhirnya? Hoho, sebenarnya iya. Cuma aja semua tidak akan lengkap tanpa penutup yang sebenarnya. Jadi, seperti penutup chapter ini yang bertuliskan To Be Continued, bukan The End, see you very soon~!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Spotlight (✓)
JugendliteraturKata orang, menjadi cantik akan menyelesaikan 50% masalah kehidupan. Mungkin benar, tapi rasanya masalah batinku yang bertambah. Semua sorotan seakan-akan aku pemeran utama terlalu berlebihan. Semua orang datang dan mengagumi diriku, padahal aku tid...