BAB DELAPAN BELAS

27 10 1
                                    

Apa sih alasanmu ikut
yang sebenarnya?

×××××

"Duh, gimana ya, Rin?"

"Gimana apanya?"

"Aku ikut OSIS atau nggak?" pusing Alin. Pemilihan ketua OSIS barusan saja berlalu, dan sekarang adalah waktunya perekrutan anggotanya. 

"Lho, katanya nggak mau ikut? Kan kamu takut keleleran kerjaan?" Airin bingung. Dia masih teringat kalau Alin memang mengatakan hal itu. Alin mengangkat bahu dengan wajah memelas.

Masalahnya, barusan saja saat keluar dari toilet dia bertemu dengan Ray, ketua OSIS yang baru. Ray langsung mengajaknya bicara untuk ikut OSIS karena mereka kekurangan orang. Banyak yang tidak tertarik untuk menjadi OSIS untuk tahun ini. Awalnya Alin mau menolak, tapi Melly dan gerombolannya datang dan ikut masuk ke pembicaraan. 

"Ikut aja, Lin! Ikut OSIS itu lumayan lho katanya? Sering dapet nilai tambahan juga," suruh Melly.

"Kamu sendiri ikut nggak?"

"Ikut, dong! Ayo, Lin! Besok kita wawancara barengan."

"Kamu lho kelihatan cocok kalau ikut OSIS."

"Hng.. Aku pikir-pikir dulu deh." Kemudian Alin langsung kembali ke kelas dan sekarang meminta bantuan kepada Airin. 

"Apa aku coba dulu, ya?" Sepertinya kalau dipikir makin lama, rasanya masuk OSIS jadi termasuk salah satu hal yang harus dicoba. Siapa tahu dia memang cocok?

Airin tidak membantu sama sekali karena gadis itu hanya diam, bukannya menjawab keluhan Alin. Lagian gadis itu tidak perlu jawaban, Airin bisa menebak kalau Alin sudah memiliki jawabannya sendiri. 

Seminggu berlalu sejak wawancara untuk menjadi anggota OSIS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seminggu berlalu sejak wawancara untuk menjadi anggota OSIS. Masih belum ada informasi lebih lanjut mengenai siapa saja yang diterima. Airin menunggu dengan seksama sambil meminum tehnya dan menunggu Alin yang tadi dipanggil.

Saat melihat Alin yang berjalan dengan langkah yang berat, Airin mendekatinya. "Dipanggil kenapa emangnya?"

"Tentang OSIS. Jadi yang dipanggil yang yang diterima."

Jawaban Alin cukup jelas untuk Airin. Dia tidak masuk OSIS. Padahal yang berkeinginan awal untuk masuk OSIS adalah Airin, tapi malah Alin yang keterima. Ada sedikit perasaan kesal walaupun tidak mendominasi, sisanya Airin mencoba mengerti. Mungkin memang nggak jodoh... 

Ketika Airin kembali ke tempatnya seakan-akan dia langsung bisa menerimanya, Alin juga merasa berat. Sejak wawancara, justru dia berharap tidak diterima karena setelah dipikir ulang, bisa saja dia tidak punya waktu untuk melakukan semua kegiatannya secara bersamaan. Atau setidaknya ada Airin yang akan menemaninya. Ternyata tidak sama sekali. Apanya yang kekurangan orang, pas wawancara bejibun kok yang ikut. 

Sayangnya tidak ada yang bisa disalahkan. Alin sudah terlanjur mengambil langkah untuk menjadi lebih sibuk lagi, tidak mungkin dia dibolehkan berhenti di tengah jalan.

"Lin, aku sudah bilang pas mau wawancara. Kegiatan organisasi bukan sesuatu yang bisa kamu coba dan berhenti seenaknya kalau nggak cocok," ingat Airin seakan-akan dia tahu kalau Alin sangat menyesal ikut OSIS. 

Saat mata Alin mencoba menilai dari ekspresi dan sikap Airin, sepertinya temannya itu terlalu tenang. Senyuman khasnya seperti biasa selalu muncul di wajahnya. Sikapnya pun tenang, tidak terlihat sedang menahan kesal sama sekali. Mungkin dirinya saja yang berpikiran berlebihan akan reaksi Airin. Tapi lebih baik Airin tenang seperti ini, karena kalau Airin menunjukkan kekesalannya secara terus terang, Alin tidak tahu harus melakukan apa.

Lagipula Airin sendiri tidak berniat menunjukkannya. Dia mencoba menekan kekesalannya sendiri. Ini bukan masalah besar. Setidaknya kalau dia tidak bisa menjadi anggota OSIS, luang waktunya bisa dia gunakan untuk aktivitas lain. Tapi tetap saja, justru badan Alin yang tidak bisa tenang. "Rin, I'm sorry."

"For what?" Dahinya mengernyit. "Kalau tentang OSIS, aku nggak apa-apa. Cuma kesel sedikit, tapi paling besok juga sudah lupa."

Beban Alin terasa menghilang sedikit begitu mendengar jawaban itu. Sikap Airin memang sedewasa itu, dan itu yang membuat Alin betah untuk berteman. Setidaknya Airin tidak sama-sama childish seperti dirinya. 

Begitu pintu kelas terbuka dan menunjukkan wajah Kevan yang tidak sabar untuk bertanya, Alin mencoba mempersiapkan diri untuk segala ocehan cowok itu. Seperti biasa, Kevan menduduki kursi sebelahnya. "Lin, kamu ikut OSIS? Sebelumnya kamu bilang nggak bakal ikut OSIS?"

"Aku berubah pikiran."

"Kok nggak ngomong ke aku?"

Mata Alin berkedip dua kali saat mendengar omong kosong seperti itu. "Tapi kamu siapa sampai aku harus bilang kalau aku ikut OSIS?"

Tanpa Alin sadari, kalimat itu keluar begitu saja. Perasaan cowok itu agak nyeri saat mendengarnya, tapi Kevan memilih melanjutkan bicaranya. "Setidaknya aku bisa nemenin kau kalau ikut OSIS juga."

"Sudah ada Airin. Lagian memangnya kamu bakal keterima? Airin aja nggak keterima.." apalagi kamu?

Sorot mata Kevan berubah menjadi jahil. "Kalau itu mah gampang, kan aku deket sama Ray. Bisa kusuruh masukin aku."

Ah, sepertinya Alin paham kenapa dirinya bisa masuk. Ada kemungkinan sejak awal Alin memang diharapkan ikut oleh Ray. Dia tahu kalau ketua OSIS juga ikut serta dalam pemilihan anggotanya. Sepertinya Ray langsung meloloskan Alin begitu saja. Kemungkinan juga yang ikut OSIS kebanyakan adalah temannya Ray. "Untung aku nggak bilang ke kamu kalau gitu."

Cewek itu terkekeh, sedangkan Kevan malah makin bingung. Apa gadis itu mengatakan secara terang-terangan kalau dirinya tidak mau ditemani oleh cowok itu? Sudah penolakan halus ke berapa kalinya yang dia terima sekarang? 

"Nggak apa-apa, aku pasti dibolehin masuk ruang OSIS semauku." Sudah khas Kevan, selalu bertingkah seenaknya. Alin tidak menyahut lagi karena terlalu malas, untung saja seorang guru sudah masuk duluan sehingga cowok itu harus kembali ke tempatnya.

 Alin tidak menyahut lagi karena terlalu malas, untung saja seorang guru sudah masuk duluan sehingga cowok itu harus kembali ke tempatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Alin meyelesaikan curhatannya, mamanya hanya mengelus kepalanya. "Sebenarnya mama takut kamu capek, sih. Kamu itu gampang capek dari kecil."

"Tapi gimana lagi.. Aku sudah terlanjur ikut.."

"Lagian apa sih alasan kamu ikut?"

Alin termenung. "Kenapa juga, ya? Mungkin karena yang lain bilang aku kelihatan cocok buat masuk OSIS."

"Jangan bilang kamu ikut cuma buat memenuhi ekspetasi orang lain?" 

Kalimat tersebut langsung memenuhi pikirannya selama semalaman.

[To Be Continued..]

Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang