Dengan tangan berkeringat, Airin mengambil air mineral dan menatap Alin yang tidak kalah berkeringat. Mereka baru saja melakukan workout selama 30 menit. Karena Airin sudah biasa, jadi 30 menit bukan sesuatu yang mematikan, tapi sebagai pemula tentu saja Alin sudah mau mati rasanya. "Setiap hari kamu kayak gini?"
"Ya nggak setiap hari juga sih, seminggu 5 kali aja. Rata-rata waktunya ya 30 sampai 1 jam."
"Wih, kok bisa tahan, sih?" Alin sih memang tidak sampai sungguhan pingsan di kali pertamanya melakukan workout. Salahnya sendiri karena menolak tawaran Airin untuk melakukan workout 10 menit karena dirinya pemula.
"Namanya juga mau kurus, Lin." Ternyata itu penyebab tubuh Airin terlihat lebih kurus dan bagus daripada biasanya. Diam-diam gadis itu olahraga juga.
"Kamu diet juga? Tapi kok makannya tetap kayak biasanya?"
"Aku ngurangin kalori yang dikonsumsi aja, Lin. Mending kamu cari olahraga lain yang lebih ringan dibanding stres sama workout gini, deh."
"Maunya gitu, tapi aku nggak tahu olahraga apalagi yang harus dicoba." Mencari sesuatu baru untuk disukai ternyata lumayan susah.
"Kamu disuruh apalagi selain olahraga?"
"Coba bikin desain baju karena pas itu aku mendadak kepengen bikin desain kayak orang pro, tapi sekarang nggak ada mood buat bikin gambar begituan. Huft, harusnya aku nggak hapus akun keduaku, ya." Tingkah Alin yang seperti membuat dirinya kelihatan seperti remaja normal, labil dengan apa yang dia sukai selain belanja di mal.
Suasana menjadi hening karena keduanya sama-sama memikirkan hal-hal yang bisa Alin coba lakukan. Sebenarnya menurut Airin ada banyak hal yang bisa Alin lakukan, tapi difilter lagi dengan selera dan kemampuan gadis itu, hampir saja Airin menyebutkan dance tapi malah teringat dengan acara sekolah saat kelas 10 semester 1, Alin terpaksa jadi penari pengganti saat itu. Meski gerakan sangat gampang, Alin tetap melakukan beberapa kesalahan sehingga ditaruh di posisi paling belakang. Untung saja segmen acara itu tidak banyak yang menonton.
Sedangkan Alin yang awalnya juga berpikir sama kerasnya lama-lama melantur ke lainnya. "Coba aja kalau aku pinter kayak kamu, pasti aku nggak perlu belajar sekeras itu. Ck, aku nggak mau dibilang ngandalin kecantikan aja."
"Kok jadi bahas itu, Lin?" Wajah Alin sudah seperti ada aura gelap yang perlahan menyelubungi. Meskipun Airin diam memberi waktu Alin untuk menjawab, mulut gadis itu tidak kunjung membuka juga. Ya sudahlah, dibanding suasananya jadi tambah kelam, Airin yang membuka mulutnya. "Katanya kemarin kamu pulang bareng Kevan? Tumben mau? Kamu mulai suka sama dia, ya?"
"Nggak, kok. Kemarin aku nggak mau repotin papaku aja, terus nggak enak juga kalau nolak niat baiknya Kevan mulu. Eh, Rin, rabu depan temani aku ikut kegiatan pecinta alam lagi, ya."
"Kamu jadi ikut klubnya?"
"Masih belum tahu, tapi Pak Koni sih bilangnya aku masih bisa coba-coba ikut lagi. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, bangga juga pas aku bisa manjat sampai ke tengah walaupun mulainya agak-agak takut gitu. Menurutmu aku harus ikut nggak?"
"Gimana, ya... Semuanya tergantung kamu. Kalau aku bilang iya, ntar kamu malah ngira itu ekspetasiku buat kamu." Jujur saja Airin jadi harus was-was dengan ucapannya, takutnya disalah artikan untuk kesekian kalinya.
"Itu salahku, sih. Seharusnya aku suka modelling karena aku suka baju-baju, kan? Katanya juga otak anaknya diturunkan dari mamanya, tapi mamaku pinter kenapa aku malah bodoh?" Perasaan yang selalu dia alami setiap malam kembali datang. Menyalahkan diri kenapa interest-nya berbeda dengan yang lain.
"Karena kamu unik, Lin. Lagian itu kan gambaran umum dari orang-orang yang bentuk fisik sama hobi lainnya sama kayak kamu. Tapi menurutku bukan berarti kesukaanmu juga harus sama persis. Toh anak kembar aja tetap ada perbedaannya, apalagi kita dengan miliaran orang di dunia ini?"
Kedatangan Airin untuk menjadi temannya memang sudah sangat cocok. Sahabatnya memang lebih dewasa dan bisa dibilang sabar untuk menghadapi dirinya yang sempat keras kepala. Kalau dari awal Alin mendengar perkataannya dengan kepala dingin, mungkin dia tidak akan segila ini. "Thanks, Rin sudah mau jadi temanku."
Sosok Alin yang sekarang sudah seperti dulu sebelum dirinya terkenal. Senyum manisnya dengan mulut yang tidak sungkan untuk berterima kasih. Berkat Alin, Airin juga belajar untuk sering berterima kasih meskipun untuk hal sekecil apapun walaupun masih kaku dibanding gadis itu. "Percaya deh, aku jauh lebih gak percaya bisa temenan sama orang cantik kayak kamu, wkwk. But I have no regret to did SKSD to you."
[]
Kalau Alin perhatikan lagi, porsi makan Airin memang jauh berkurang dibanding dulu. Mungkin dirinya kurang perhatian dengan hal-hal sekitarnya sejak terfokus dengan perkataan-perkataan orang. Tadi saat mereka melihat foto-foto narsis mereka saat awal kelas 10, wajah Airin jadi lebih tirus. "Kamu dietnya sampai kapan?'
"Kemungkinan sampai tahun depan?" Kenapa sekarang dietnya Airin terdengar mengkhawatirkan? Memangnya boleh diet segitu lamanya?
"Memangnya nggak apa-apa?"
"Nggak sih, aku ngelakuin kalori defisit, cuma ngurangi 500 kalori per hari. Itupun aku masih ada cheat meal day, jadi nggak terlalu terganggu, lah."
"Tapi emang perubahanmu itu perlahan-lahan ya, jadi nggak kelihatan tapi tiba-tiba berubah juga. Keren," puji Alin.
"Iya, pas awal-awal aku mulai diet sama workout juga ngerasa nggak ada yang berubah, tapi ya sebenarnya pasti ada yang berubah walaupun nggak kelihatan langsung. Setelah sebulan lakukan program workout, berat badanku cuma turun 2 kilo an, tapi lingkar perut sama paha mulai berkurang sedikit. Kalau dilihat sih kelihatannya tetap sama aja. Kamu sendiri gimana, Lin? Ngerasa yang berubah nggak walaupun kelihatannya simpel?"
"Eum..." Kalau diingat-ingat, ada hal kecil yang akhir-akhir ini kembali dia lakukan. "Aku mulai sering rapiin kamarku. Dulu memang selalu rajin sih, cuma aja pas kelas 11 mulai males rapiin. Eh, itu termasuk perubahan nggak sih? Kan balik kayak dulu?"
"Menurutku perubahan atau balik kayak dulu ya sama aja, sama-sama positif. Terus tidurmu gimana?"
"Kadang nyenyak, kadang ya seperti begitu."
Airin mengangguk paham, dia tahu kalau semua nggak mungkin secara instan langsung membaik. Mencari hal baru untuk disukai saja masih kesusahan. "Nggak apa-apa, tetap bagus, kok. Ya udah, sekarang mau tidur atau nonton drakor? Temanku ada rekomendasi tontonan yang katanya dijamin aku bakal suka."
Kapan terakhir kali dia nonton drama korea? Mungkin awal-awal semester satu sebelum benar-benar kehilangan mood untuk nonton drakor lagi. "Ayok, deh." Kasihan juga kalau sahabatnya harus ikut-ikutan nggak nonton kalau dia bisa lagi nggak tertarik nonton.
[To Be Continued...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Spotlight (✓)
JugendliteraturKata orang, menjadi cantik akan menyelesaikan 50% masalah kehidupan. Mungkin benar, tapi rasanya masalah batinku yang bertambah. Semua sorotan seakan-akan aku pemeran utama terlalu berlebihan. Semua orang datang dan mengagumi diriku, padahal aku tid...