BAB ENAM BELAS

30 12 0
                                    

Aku rasa aku punya kewajiban untuk 
memenuhi ekspetasi orang lain.
-Alina Nirwana-

×××××

Tangan kanannya mengambil gelas yang sebenarnya diperuntukkan untuk wine. tapi tanpa Alin peduli, dia mengisinya dengan root beer ala A&W yang bisa dibeli di Indoapril dengan harga 5000-an. Begitu terisi hampir penuh, mulutnya menyesap perlahan. 

Mata Alin terlihat kosong, padahal gadis itu mulai memikirkan banyak hal. Sambil meminum birnya, dia juga membuang nafas dengan lesu. Begitu isinya habis, tangannya kembali mengisi lagi. 

Alin mengangkat kepalanya dan melihat atap langit rumah. Matanya kembali mengawang. Apa aku sudah ngelakuin yang benar?

Sejak bangun tidur, berangkat ke sekolah dan menghadapi ujian, lalu kembali  ke rumah, hanya pertanyaan itu yang terus mengisi pikirannya. Bukannya mau sok memberatkan pikiran sendiri, tapi Alin merasa tidak nyaman kalau pertanyaan itu belum terjawab. 

Seperti Airin, Alin juga penasaran dirinya akan menjadi apa di masa depan. Apakah dia akan terkenal, akan sukses, menjadi pegawai biasa saja, atau menjadi pengangguran? Masa depan selalu menarik untuk dipikirkan, begitu menurut dirinya.

Hanya saja dia tidak tahu apakah dirinya sudah melakukan keputusan yang tepat. 

Masuk ke dunia modelling, mulai mendapatkan job, lalu ikut les pelajaran juga—sekarang dia sudah mengikuti 4 les mapel yang berbeda, dan belajar segiat mungkin. Sebenarnya aktivitas yang seperti ini bukan masalah. Tapi kenapa dia ngerasa ada yang janggal?

"Apa mungkin ini gara-gara alasan?" gumamnya pada dirinya sendiri. Dia menaruh gelas di mejanya dan langsung meminum Root Beer langsung dari botolnya karena tangannya sudah mulai pegal. 

Alasan dia melakukan dua hal itu juga untuk memenuhi ekspetasi orang lain. Rasanya tidak tepat kalau dia menghancurkan ekspetasi itu. Lagian dia kan memang bisa melakukannya? Jadi harusnya itu sudah menjadi kewajibannya, kan?

"Ah sudahlah, capek juga kebanyakan mikir." Tanpa ampun, Alin langsung meneguk sisa minuman yang ada. 

Setelah isinya habis, sebuah pertanyaan baru kembali muncul di otaknya. "Kenapa root beer itu enak, sih?"

Tanpa gadis itu sadari, seseorang masuk ke ruang dapur tempat dimana Alin berada. "Lin? Alin ngomong sama siapa?"

"Eh?" Kemunculan mbak Elda yang mendadak membuat dirinya tidak sempat mendengar pertanyaan dengan jelas. "Kenapa, mbak?"

"Kamu disini sendirian?" Kepala Alin terangguk perlahan. Anggukan kepala itu membuat Elda jadi merinding sendiri. "Lin, kamu nggak gila, kan?"

"Hah? Gimana-gimana?" Alin masih tidak mengerti juga.

"Dari tadi mbak perhatiin, kamu ngomong sendiri. Kamu nggak lagi halusinasi, kan? Atau... kamu ngomong sama setan, ya!?"

"Please, lah mbak.. Aku aja ketakutan sama setan kw di rumah hantu, mana mungkin aku berani ngomong sama yang asli?" Gadis itu menepuk jidatnya. "Aku cuma lagi mikir aja kok, mbak. Masih 100% waras."

"Bagus deh, nak.. Oh iya, kamu sudah lihat foto anak mbak, nggak? Yang paling gede?" Mata Mbak Elda mulai berbinar penasaran. Minggu lalu ibu itu menyuruh Alin melihat foto anaknya dengan niat siapa tahu Alin kecantol. Apalagi mereka sebaya, jadi harusnya memiliki kemungkinan besar untuk cocok. (gede = besar)

 "Oh, si Jeri, ya mbak? Aku sudah lihat, kok."

"Cakep nggak, Lin? Lebih cakep dari Kevan?" Mbak Elda semakin penasaran dengan jawaban Alin. Kalau menurut dianya sendiri, jelas lebih cakepan anaknya daripada si Kevan itu. Apalagi kalau dia perhatikan, bibir Kevan kelihatan agak hitam. Ciri-ciri perokok. 

Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang