BAB EMPAT PULUH SATU

18 4 0
                                    

"Aku masih mau dianggap normal."
~Alina Nirwana~

×××××

Dari jauh Airin bisa melihat seseorang di samping Alin. "Ray, itu Kevan nggak sih?"

Ray selaku supir dadakan yang mengandalkan GPS akibat tidak tahu jalan langsung memusatkan perhatiannya ke dua orang yang ada di pinggir jalan. Berbeda dengan Airin yang tidak bisa mengenali Kevan dari jauh, Ray langsung tahu dalam sedetik. "Itu Kevan. Kok bisa dia di sini?"

Kelihatannya mereka berdua sedang membicarakan sesuatu, tapi Alin tampak diam dan tidak membalas apa-apa. Perasaan Airin jadi aneh sekaligus penasaran. Tempat konseling Alin ada di perumahan sehingga tidak banyak yang tahu, apakah Kevan sudah jadi penguntit Alin? 

Barusan saja gamenya selesai, Rio mengedarkan pandangan dan mendapati mobil Ray datang. "Waduh, kenapa Ray ikut kemari?" Tanpa alasan yang jelas, dia malah menunduk untuk menyembunyikan wajahnya dari Ray. Padahal dia tidak melakukan hal yang dilarang—apa menguntit bisa dibilang hal yang melanggar? Ntahlah, aura ketua osisnya agak menakutkan juga.

Orang yang ditakuti lewat begitu saja dan malah tidak sadar kalau ada mobil lain yang terpakir, justru yang sadar adalah Airin karena duduk di sisi kiri, tapi Airin tidak ambil pusing sama sekali. Tepat di depan tempat konseling, Ray membunyikan klakson dua kali. Alin dan Kevan tidak terlihat terganggu walaupun diam-diam Kevan mengumpat karena klakson yang didengar dari dekat itu menyakitkan gendang telinga.

"Lin," panggil Airin begitu keluar dari mobil. "Ayo pulang."

Kedatangan Airin sangat tepat waktu, tadi Alin memang sengaja sedikit berlama-lama di dalam ruangan meskipun terapinya sudah selesai karena tidak mau panas-panasan di luar. Siapa juga yang tahu kalau keputusannya bisa menghindarinya untuk menjawab pertanyaan Kevan.

Gadis itu melewati Kevan tanpa menjawab sama sekali, saat tangannya sudah menyentuh pegangan mobil, Kevan menahan lengan kirinya. "Lin, kamu nggak mau jawab pertanyaanku? Kenapa? Malu?"

Perasaan yang muncul sejak Kevan muncul adalah cemas dan takut. Dia masih berusaha mengatur stigma bahwa orang yang datang ke psikolog tidak sama dengan orang gila. Tapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan pikiran Kevan yang sekarang. "Sejak kapan kamu ke psikolog, Lin?"

Mata Alin tidak mau menatap Kevan, jadi Airin yang melihat secara intens kepada Kevan. Dia tidak paham tapi sepertinya dia bisa menangkap gambaran utama kejadian sebelum dia datang. Tatapan Kevan semakin lama terlihat meremehkan, tidak enak untuk Alin lihat. "Ternyata kamu mengecewakan juga, ya."

"Atas hak apa kamu tanya dan ngomong gitu?" tanya Airin dengan berani. Dirinya melangkah sedikit maju dan melepaskan pegangan Kevan. "Suami bukan, pacar bukan. Atas hak apa kamu harus tahu sejak kapan dia jalanin terapi dan merasa kecewa?"

"Bisa diem nggak?"

"Kamu yang diam, sialan," umpat Airin dengan bahasa Indonesia agar terdengar lebih halus. "Kamu ini nggak peka atau bego?"

Tensi Kevan menaik. Sepertinya mulut Airin adalah sasaran empuk untuk ditampar. "Lin, masuk." Alin buru-buru masuk ke mobil dan tetap menunduk. Sekarang dia tidak bisa membuka mulut agar air matanya tidak tumpah.

Karena Airin masih perempuan, Kevan mencoba menahan amarahnya walaupun dia tidak ingin mengalah. "Jadi memang ya Alin itu gila? Untung aku belum pacaran sama dia."

"Fortunately no. You don't deserve her. Kamu tahu? Ini alasan aku nggak pernah setuju kalian bisa pacaran. Akhrinya keburukanmu muncul sebelum semua terlambat." Tidak ada sikap gentar sama sekali pada Airin, justru gadis itu lega bisa mengatakan uneg-unegnya meski sedikit. Di kala semua orang sangat setuju dengan kedekatan dua orang itu, Airin terpaksa menutup ketidaksukaan dan tetap diam saja. Finally, it'll be over.

"Kamu tahu kalau aku lagi tahan emosi, kan?"

"Aku tahu. Terus kenapa? Oh iya, apa aku harus kasih tahu kalau menguntit tidak baik? Sama aja namanya melanggar privasi orang."

Memang begitu kenyataannya tapi tetap terdengar tidak enak dan Kevan menolaknya. "Siapa yang bilang aku nguntit?"

"Semuanya kelihatan jelas. Ada mobil merah cabe yang lagi parkir, supirnya jelas-jelas nungguin kamu, terus tempat ini nggak gampang ketahuan sama orang luar dan Alin kelihatan risih. Kusimpulkan kamu nguntit." Desisan keluar dari mulut Airin. Sebenarnya bagian mobil merah itu dia agak tidak yakin, tapi gerak-gerik supir yang tiba-tiba muncul dan seakan-akan menunggu Kevan membuatnya yakin kalau Kevan lagi stalking.

Sebelum Kevan kelepasan, Ray keluar untuk berjaga-jaga. "Rin, ayo kita pulang."

Rasanya perkataannya sudah cukup memuaskan, jadi Airin menurut. Dia membuka pintu mobil dan satu kalimat yang keluar dari mulut Kevan membuatnya terdiam. "Gimana jadinya kalau satu sekolah tahu ini?"

Alin bisa mendengar itu jelas karena pintunya terbuka dan menahan nafasnya. Bukan, bukan ini yang dia inginkan. Dia tidak mau semua orang tahu kalau dia lemah, kalau dia ... dia gila. Sontak kepalanya menggeleng kuat-kuat tetapi tidak ada yang memperhatikannya.

Melihat tidak ada yang bisa menjawab, senyuman licik timbul di Kevan, "Apa yang bakal terjadi? Mungkin semuanya juga bakal pikir dia gila dan berakhir dikucilkan."

Suasana terasa semakin panas, bahkan Rio yang diam di mobil juga merasa kepanasan. Apa AC mobilnya mati, ya? 

Kalau ini ada di anime atau dunia komik, sudah ada pancaran listrik di mata Airin dan Kevan. "Kamu mau tahu sejak kapan dia begini? Tentu aja sejak kamu suka dia. Dan setidaknya aku yakin nggak semua orang sebodoh kamu untuk tahu bahwa ke psikolog sama dengan gila. Dikucilkan? itu bakal kerasa sedih di awalnya, kedepannya Alin bakal bisa menghadapinya dengan percaya diri. At least, orang kayak kamu nggak bakal dikasih kesempatan kedua."

Senyuman Kevan langsung menghilang, tanpa peduli Airin langsung masuk dan menutup pintu lebih keras dibanding seharusnya. "Bisa-bisanya kamu suka cewek macem itu, Ray." Ucapan itu Kevan tujukan pada Ray. Cowok itu cuma tersenyum miring dan berkata, "She's cool, right? Aku balik dulu dan aku harap nggak ada berita aneh-aneh, karena kalau nggak aku harus sibuk datangin psikolog ke sekolah untuk kasih edukasi ke teman-teman. Dah."

Ray masuk dengan bangga. Dari awal tadi dia sudah tidak setuju dengan sikap Kevan. Meski awalnya tidak mendengar jelas percakapannya tapi dia tahu Airin menghadapinya dengan baik. Semua ini demi Alin.

Sayangnya reaksi Alin tidak seperti harapannya. "Rin, seharusnya kamu nggak ngomong kayak gitu. Gimana kalau dia beneran kasih tahu semua kalau aku nggak waras?"

Rupanya masalahnya masih ada di diri Alin sendiri. Dengan kalimat tanpa ada emosi marah-marah justru membuat Airin kehilangan kata. "Lin, seharusnya kamu tahu yang benar kayak gimana, kan..."

"Apa gunanya aku tahu yang benar sedangkan yang lain bakal terus melihatku sebagai orang gila? Bahkan untuk memikirkannya bikin aku pusing, Rin. Sakit rasanya, Rin. Sakit." Setetes demi setetes air mata mulai turun membasahi. "Aku masih mau dianggap normal."

Sekarang tinggal tergantung Kevan, apakah cowok itu tetap akan memberitahu semuanya atau diam. 

Tapi berdasarkan sifatnya, seperti Kevan tidak akan tinggal diam.

"Aku masih mau hidup seperti remaja normal tanpa mental illness, Rin."

[To Be Continued...]

Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang