Pertama-tama, aku mau berterimakasih pada kalian yang membaca sampai chapter ini:( Thank you sooo much~!
[]
Katanya, mungkin obat antidepresan tidak akan berpengaruh banyak pada remaja, tapi setidaknya Alin bisa merasa sedikit lebih baik. Kata psikolognya juga—baca : Yuna—dia harus memerangi pikiran negatifnya. Itu bagian yang sulit karena pikiran negatif selalu datang tanpa diundang. Terlebih lagi dia disuruh keluar dari modelling dan OSIS, gimana bisa dirinya diminta untuk tidak berpikiran macam-macam?!
"Lin, katanya kamu keluar dari modelling? Kenapa? Padahal sudah cocok banget, lho," ujar Melly saat tahu ntah darimana kalau Alin keluar dari aktivitas itu. "Sama akunmu yang khusus pakaian dihapus juga, kan? Kok tiba-tiba, sih?"
"Gimana, ya ..." Ini adalah jenis pertanyaan yang susah dijawab. masa dia bilang karena disuruh psikolog? Nanti yang lain bakal berpikiran dia sudah tidak waras, dong? Sebagai orang yang satu-satunya paham dengan kondisi Alin, Airin yang menjawab. "Dia butuh istirahat, Mel. Lagian passion-nya bukan di modelling, jangan dipaksa terus dong walaupun kelihatannya cocok."
Nada Airin agak sewot, tapi Alin bersyukur dengan itu. Setidaknya Airin bisa mengatakannya dengan tegas dan itu agak mewakilinya walaupun dia sendiri tidak yakin. "Oh, gitu. Cuma agak disayangin aja sih. Apalagi Alin kan suka baju gitu."
"Suka baju bukan berarti suka jadi modelling." Pikirannya jangan secetek itu, dong, geram Airin. Rasanya dia mau mengatakan itu dengan keras, tapi Alin juga nggak suka itu. Terlebih lagi bisa-bisa Airin dianggap suka marah-marah. Akhirnya Melly berlalu dan berita bagusnya, ternyata tidak ada orang yang mempertanyakan sikapnya kecuali Melly dan Kevan. Cowok itu tadi sempat mendampinginya saat berjalan ke kelas. Setidaknya pertanyaan Kevan tidak terdengar memaksa seperti Melly. "Katanya kamu keluar dari modelling, ya? Kenapa emangnya?"
"Rin," panggil Alin. "Aku itu berlebihan, ya? Aku sudah takut kalau sekelas ataupun murid-murid lain bakal mempertanyakan keputusanku, tapi nyatanya nggak."
Oh? Apakah Alin bisa sadar secepat itu? "Kadang berpikir lebih sederhana itu bagus, Lin, dan kamu juga harus tahu kalau nggak semua orang peduli sama kamu."
Hm, apakah kalimatnya terdengar negatif? Airin sempat khawatir Alin salah menangkap kalimat terakhirnya, tapi memang begitu kenyataannya. Satu angkatan memiliki 100 murid lebih, berarti murid-murid SMA-nya terdapat kurang lebih 300 orang. Jumlahnya memang masih kalah dibanding jumlah followers-nya akun kedua Alin, tapi tidak semua orang fokus pada Alin saja. Ah, Airin sendiri sudah salah paham. Dia juga mengira banyak murid yang perhatiannya terpaku pada Alin, padahal tidak. "You get what I mean, right?"
"Yeah, I do." Gadis itu menjawab dengan murung. Untuk saat ini, pikiran negatifnya hilang karena tahu kalau semua orang tidak benar-benar memperhatikan semua perubahannya. "Kalau gitu sia-sia dong aku khawatirin penampilanku?"
"Betul!"
Saat Alin menceritakan pemikirannya saat sekolah, Lea dan Heru senang. Sepertinya Alin tidak akan depresi dalam jangka waktu yang lama. Semua orang berpikir bahwa itu mudah sekali, sayangnya apa yang Yuna ingatkan memang benar. "Bisa aja itu cuma mindset untuk sehari aja."
Memang benar adanya, keesokannya saat di toilet, Alin menatap wajahnya agak lama. "Rin, kayaknya aku ada yang beda, ya? Lebih pucat. Aduh, aku lupa bawa lipbalm, kamu ada lipbalm nggak?" Airin langsung memberikan tanpa bertanya, tapi kernyitan di dahinya menunjukkan dia agak bingung apakah ini tanda yang buruk atau biasa saja. "Untung kamu bawa lipbalm, jangan sampai aku kelihatan kayak orang sakit di depan teman-teman."
Hah, gimana-gimana? "Rin, kenapa aku bodoh di Mat, ya? Aku masih les, cuma aja masih nggak bisa fokus. Kamu tahu kan aku nggak boleh dapet nilai jelek kali ini."
"Kenapa kalau kamu dapat jelek?"
"Tandanya aku gagal, Rin" Sepertinya mindset Alin tidak sepenuhnya berubah. "Aku nggak mau bikin mereka kecewa ..."
"Maksudmu teman-teman? Jadi kamu masih berusaha jadi Alin yang sempurna, ya?" Pertanyaan Airin dengan nada yang agak gimana membuat Alin jadi menciut sendiri. Dia sadar gimana pun juga pemikirannya tidak gampang diubah, dia masih harus menjadi sempurna karena itu ekspetasi teman-temannya. Untuk hari itu, Alin tidak bicara apa-apa mengenai kejadian di sekolah, justru Airin yang mengatakan kejadian di toilet itu ke Heru melalui chat.
"Gimana ya, Yun? Alin masih berpikir kalau ekspetasi yang nggak pernah ada itu jadi kewajiban utamanya," keluh Lea. Mama Alin mencoba tidak menampilkan kekhawatirannya, tapi itu masih terlihat jelas di mata Yuna. "Tenang, Ya. Jangan panik dulu, memang kita nggak bisa berharap konsep pemikirannya Alin langsung ganti begitu aja. Aku bakal bantu sebaik yang aku bisa, kok."
Di sesi keenam, Yuna masih menjalankan terapi yang sama untuk ketiga kalinya meski tekniknya bervariasi, yaitu terapi transpersonal. Di ruangan Yuna yang terkesan agak klasik walaupun tetap modern memberikan kenyamanan tersendiri untuk Alin. Sekarang gadis itu asik menggambar di buku sketsa yang sudah Yuna sediakan secara khusus. "Aku kadang mikir modelling nggak seburuk itu, aku nggak bicarain hal-hal yang biasanya kuceritain, ya. Cuma aja gara-gara modelling, aku jadi bisa gambar model-model baju yang selama ini cuma berakhir di otak. Tapi ..." Dia tidak melanjutkan kalimatnya dan sibuk menyelesaikan model pakaian ketiganya. Hasilnya tidak buruk banget, malahan sangat bagus untuk ukuran orang yang jarang menggambar.
"Tapi apa?"
"Ya gitulah pokoknya. Modelling nggak buruk banget, kok!" Meskipun Alin masih asik membayangkan pakaian yang ingin dia pakai ke diri sendiri dan mulai menggambar lagi. Sayangnya ketidakfokusannya membuat dirinya harus menghapus gambarannya. "Kamu belajar gambar pakaian-pakaian gitu darimana? Pernah lihat di Youtube?"
"Sekali, itupun nggak detil. Sisanya tergantung kreativitasku."
"Kamu keren, sih. Untuk ukuran pemula, gambarannya sudah tunjukkin beberapa detail lebih."
Seperti sistem, Alin senang dengan pujian itu, tapi secara tidak langsung dia akan mengambil itu sebagai ekspetasi. Jadi, untuk menghindari itu, Yuna memberi penegasan tambahan. "Ingat, Lin. Ini pure ujian, saya nggak bakal expect kamu untuk menggambar lebih bagus. Yang penting kamu enjoy aja."
Gadis itu masih di tahap senang dengan pujian, belum memasukkan pujian itu sebagai list beban tambahan, tapi Alin mengiyakan saja. Kini setelah tidak ada ide yang masuk lagi, akhirnya Alin menghentikan kegiatannya. "Mbak, aku nggak bisa gambar lagi."
"Kalau gitu ..." Yuna melirik jam tangannya. "Gimana kalau kita pergi keluar?"
"Keluar? Tapi ini masih waktunya terapi, kan?"
"Masih, kok. Hanya aja bentukannya nggak kayak terapi, kok."
[To Be Continued...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Spotlight (✓)
Teen FictionKata orang, menjadi cantik akan menyelesaikan 50% masalah kehidupan. Mungkin benar, tapi rasanya masalah batinku yang bertambah. Semua sorotan seakan-akan aku pemeran utama terlalu berlebihan. Semua orang datang dan mengagumi diriku, padahal aku tid...