BAB TIGA PULUH

12 4 0
                                    

Sudah satu jam lebih Airin berada di rumah sakit. Kadang gadis itu mengobrol hal kecil dengan Alin, kadang orang tuanya mengajak ngobrol di luar. Setelah mengobrol dengan mama papa Alin, akhirnya Airin tahu kalau orang tuanya juga sama khawatirnya dengan dirinya. Tetapi Alin selalu berkata tidak apa-apa. "Tolong bujuk dia, ya."

Sayangnya Airin juga kesusahan melakukan itu. Rasanya membujuk di saat ini adalah hal yang sia-sia. "Kenapa mereka nggak boleh datang kesini, Lin?"

"Aku lagi nggak mau ngelihat mereka." Alin memalingkan mukanya. Alis kanan Airin menaik. Sepertinya itu hanya alasan Alin. Tahu Alin tidak akan menjawab jujur, Airin memutuskan untuk pulang. "Ya sudah, Lin. Aku pulang dulu, ya. Semoga cepet sembuh, ya."

"Iya. Dah, Rin." Tangan Alin melambai dengan lemas.

[]

Kevan : Lin, kok kamu gak mau ketemu aku?

Alin : Nggak perlu
Alin : Aku ngerasa ngerepotin jadinya

Kevan : Tapi aku nggak merasa gitu, tuh?
Kevan : Besok aku datang, ya

Alin : Please, Kev. Sekali ini jangan maksa.
Alin : Tolong:)

Kevan terdiam melihat pesan terakhir Alin. Seharusnya kalimat itu terlihat biasa saja, tapi sepertinya ada aura yang agak nggak enak. Apalagi emot tersenyum itu. Rasanya jadi menyeramkan. 

Kevan : Aku cuma khawatir..

Pesan itu hanya berakhir dibaca tanpa dibalas. Apa gadis itu marah sama dia? Tapi nggak mungkin rasanya kalau Alin marah hanya karena ini. Bahkan sejauh ini dia belum melihat Alin marah atau kesal secara langsung. 

"Beneran nggak boleh masuk, ya?" tanya Jia. Sebenarnya mereka sudah hampir sampai di rumah sakit saat Airin memberitahukan kalau Alin nggak mau bertemu dengan mereka. Melly dan teman-temannya langsung pergi ke mal saat tahu kalau kehadirannya tidak diinginkan. Sedangkan Jia dan Kevan tetap menunggu dan memastikan sendiri kalau kedatangannya ditolak.

Seperti yang dilihat, mereka ditolak. 

"Dia kayaknya emang nggak suka kamu deh, Kev," celetuk Jia lagi. Kesabaran Kevan langsung terkuras banyak. Kevan menoleh dengan wajah tidak santai. "Bisa diam nggak, sih?"

Jia menggigit bibir bawahnya. Baru kali ini Kevan kalah dalam memenangkan hati seseorang. "Sorry. Tapi menurutmu kenapa Alin nggak mau dijenguk?"

"Mungkin dia nggak suka lihat sisi lemahnya dia." Kevan menebak asal. 

"Bukannya itu kamu?" cibir Jia. Dia tahu betul kalau Kevan paling benci menunjukkan sisi lemahnya. Tapi jawabannya juga tidak salah. Jia tidak tahu apakah menjadi sakit adalah hal yang memalukan untuk dilihat orang. Menurutnya sih tidak masalah, tapi mungkin Alin memikirkan hal yang berbeda. "Sekarang mau ngapain lagi? Nyusul Melly ke mal?"

"Ke mal aja lah daripada nunggui disini. Kamu ikut atau pulang?"

"Aku pulang aja deh. Bosen ke mal terus."

Sebagai cowok yang gentle, Kevan menawarkan tumpangan. "Aku antar."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect Spotlight (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang