Singto dan Krist baru saja memasuki kamar, Krist melemparkan tasnya ke atas sebuah meja sebelum duduk di tepi ranjang, "Seharusnya kau tidak perlu menjemputku, kita tidak dalam posisi yang dekat," Keluh Krist.
Tidak ada pembicaraan setelah Singto menjemputnya ketika ia hendak pulang bersama Godt, hingga mereka sampai di dalam kamar.
Singto baru saja membuka lemari untuk memilih pakaian ganti, "Kita memang tidak sedekat itu, tapi kita sudah menikah!" Singto mulai meninggikan suaranya, menunjukkan kekesalannya yang sudah tertahan sedari kampus.
Krist tersenyum miring menatap Singto yang sudah menghadapnya didepan lemari pakaian, "Menikah? Lalu apa jika kita sudah menikah? Kita menikah karena keterpaksaan bukan ketertarikan, apa kau yakin bisa menyebut ini pernikahan?"
Singto melangkah mendekat, "Krist! Jaga bicaramu! Pernikahan bukan suatu permainan dan sebuah hal yang bisa kau rendahkan!"
Krist berdiri dari duduknya, "Aku tidak merendahkannya!"
"Kau merendahkannya dengan menyebut ini bukan pernikahan, cobalah untuk menerima ini semua. Itu akan lebih mudah jika kau sudah mau menerimanya." Jelas Singto yang berjalan menuju pintu, berdebar dalam kondisi emosi yang tengah tidak stabil hanya akan membuat masalah semakin parah.
"Menerima? Kau yakin menyuruhku menerima? Kita sama-sama laki-laki dan bagian mana yang harus diterima? Bahkan dengan akal sehat pun ini sulit diterima!" Jawab Krist membuat Singto mengurungkan niatnya membuka pintu kamar.
Singto berbalik dan berjalan mendekat ke arah Krist, "Apa hanya karena kita sama-sama lelaki atau karena ada hal lain yang menyebabkan kau tidak bisa menerimanya?"
"Pertama, karena kita lelaki dan kedua tidak ada cinta di antara kita. Pernikahan tanpa cinta tidak akan bisa bertahan lama!" Jelas Krist.
Singto kembali melangkah mendekat, "Sekalipun ada cinta di salah satu pihak?" Ia mengucapkannya dengan sangat lirih.
Krist mengerutkan keningnya, memikirkan ucapan Singto barusan. Apa lelaki yang ada dihadapan ia berdiri ini sudah jatuh cinta kepada dirinya?
"Apa-"
Tok! Tok! Tok!
Suatu ketukan pintu membuat ucapan Krist terpotong, Singto yang mendengarnya langsung berjalan membukakan pintu.
Nenek tengah berdiri dengan sebuah senyuman disana, "Apa kalian akan melewatkan makan siang?"
Singto hanya sedikit membuka pintu dan menunjukkan wajahnya, mencoba menutupi Krist yang masih berdiri dengan kekesalan diwajahnya, "Tidak nek, kami akan turun. Krist masih mau menyiapkan pakaian untukku,"
"Kau benar-benar beruntung mendapatkan Krist," Ucap nenek yang masih bisa didengar Krist.
"Tentu," Jawaban Singto ini membuat Krist menyebikkan bibirnya merasa bangga, karena sang suami yang setuju dengan pujian yang ditujukan pada dirinya.
"Nenek tunggu dibawah ya?"
"Baik Nek," Jawab Singto sebelum menutup pintu dan berjalan menuju lemari.
"Jangan membuatnya berantakan!" Krist memukul salah satu tangan Singto yang tengah mencari pakaian ganti, "Biar aku yang pilih!"
"Krist..."
"Hmmm..." Krist hanya bergumam menanggapi panggilan Singto, ia berbalik menghadap Singto yang berdiri sangat dekat dengannya, menyerahkan kaos lengan pendek berwarna hitam dengan celana pendek biru.
"Cobalah untuk menerimanya..." Ujar Singto yang sudah menerima pakaian dari Krist, kemudian ia melangkah menuju kamar mandi, tidak membiarkan Krist memberikan jawaban.
Selesai dengan berganti pakaian, Singto dan Krist turun menuju dapur bersama. Ada nenek dan ibu yang sudah duduk di tempat biasa, Krist langsung duduk didekat nenek dan Singto.
Makan siang itu tidak ada candaan seperti biasa, sangat tenang hingga membuat nenek menyampaikan protes, "Apa kalian bertengkar?"
"Tidak. Kami hanya sedikit berdebat. Tapi tidak sampai bertengkar" Krist menjawab dengan lembut dan sopan.
"Kalian terus berdebat? Tidak ada api jika tidak ada pemantiknya. Seingatku, putraku tidak pernah memulai karena ia cenderung menghindar dari masalah"
Ucapan ibu Singto tersebut langsung membuat Krist menghentikan gerakan tangannya dan turun kebawah, sudah biasa ia menjadi kambing hitam jika sudah berurusan dengan ibu Singto.
Singto meraih tangan Krist yang ada dibawah meja, "Aku yang salah kali ini. Jadi, jangan menyalahkan Krist. Kami berdebat hanya karena warna pakaian. Krist sudah mengambilkan warna hitam tapi aku ingin memakai warna lain, saat aku sudah marah aku baru sadar jika belum membeli pakaian baru dengan warna lain."
Singto berdiri dari duduknya tanpa melepas tangan Krist, "Kami sudah selesai makan. Maaf, kami permisi lebih dulu..." Ucap Singto setelah melihat Krist ikut berdiri.
Singto sedikit menarik tangan Krist, keduanya kembali ke kamar mereka.
"Aku mau tidur siang..." Ucap Krist begitu keduanya sudah berada didalam kamar dan Krist berhasil melepaskan pegangan Singto.
Singto berjalan mendekat sebelum memutuskan untuk berjongkok dihadapan Krist yang sudah berbaring dengan memejamkan mata.
"Menangis lah..." Bisik Singto tepat didepan wajah Krist, "Menangis lah jika kau ingin..." Lanjutnya.
Terlihat bagaimana setetes air mata baru saja meluncur dari salah satu ujung mata yang tengah terpejam, dengan lembut Singto mengelapnya, "Maafkan ibuku..." Singto menggunakan tepi ranjang sebagai penopang kepalanya, menjadikan wajah ia dan Krist sangat dekat. Bahkan Singto mampu merasakan hembusan nafas hangat milik Krist.
"Apa kau mau kita pindah?" Tanya Singto, "Aku tidak ingin kau terus di pojokkan setiap kita ada masalah."
"Aku rindu orang tuaku..." Ujar Krist dengan berbisik, menahan tangis.
Singto berdiri dari duduknya dan masuk kedalam selimut Krist, berbaring di tepi ranjang sebelum menarik Krist kedalam pelukannya.
"Menangislah... Aku tidak akan marah, mengejek, atau melihatnya. Tidak perlu malu..." Ucap Singto lembut sembari mengusap punggung Krist, "Nanti kita ke rumah orang tuamu..." Lanjut Singto. Awalnya Krist mendorong tubuh Singto untuk menjauh, tapi mendengar ucapan lembut dari sang suami, ia memilih diam didalam dekapan Singto.
Beberapa saat kemudian, dada singto mulai basah karena Krist yang menangis. Krist menangis karena perasaan rindunya yang tidak bisa terbendung ditambah ibu Singto yang terus memojokkannya.
Krist terus menangis untuk waktu yang lama hingga ia tertidur karena lelah menangis. Singto yang menyadari jika Krist sudah tertidur didalam pelukannya tersenyum lembut, ia membersihkan sisa air mata di pipi Krist. Menarik selimut untuk Krist sebelum ia dengan perlahan turun dari ranjang.
Karena kaos yang digunakannya sudah basah, Singto berganti pakaian. Ia juga terlihat menyiapkan beberapa pakaian ganti kedalam tas ransel sebelum ia kembali menyusul Krist tidur siang.
Orang pertama yang bangun adalah Krist, "Jam 5?" Gumamnya melihat ke arah jam di atas nakas. Krist menghela nafas sebelum berbalik menghadap Singto.
"Kau cukup tampan dan baik, tapi tetap saja menyebalkan." Krist dengan pemikirannya saat mengamati Singto.
"Kau tau, aku pernah melihat Mook melampiaskan kemarahannya padamu saat tau kita akan menikah dan dengan santainya kau mengatakan maaf. Disitu aku baru menyadari satu hal, jika ia bukan orang baik yang dengan mudah mengatakan maaf sepertimu. Bukan dia yang menjadi perhatianku kala itu, tapi kau Krist." Singto membuka kedua matanya di akhir kalimat.
"Kau bercanda? Aku mau mandi" Krist langsung beranjak dari ranjang menuju kamar mandi, sembari memegangi telinga yang terasa panas.
.
.
.TEBECEH
KAMU SEDANG MEMBACA
Benci Bilang Cinta (SK) (END)
FanfictionKisah couple SK, cerita ini saya tulis berdasarkan permintaan seseorang yang ingin mengaplikasikan kisah sinetron Indo, Benci Bilang Cinta pada karakter kesayangannya, Peraya. Hanya sampai bagian 4 saya mengaplikasikan kisah sesuai sinetron, selebih...