10

3.8K 390 30
                                    

Sejak malam itu, Singto tidak pernah menyapanya atau menanggapi ucapan Krist. Bahkan setelah dua minggu, mereka tidak pernah berbicara, untuk bertemu pun jarang. Singto akan berangkat pagi sekali dan pulang larut sekali. Terlihat Singto beberapa kali pulang pagi dalam keadaan mabuk. Dan Singto tetap memasuki kamar yang berbeda dengan Krist.

Pagi tadi Krist juga kembali mencoba menyapa sang suami saat bertemu di dapur, "Phi..."

Namun, Singto tidak menjawab dan memilih pergi, Singto selalu menghindari Krist baik di rumah maupun di kampus. Tidak ada lagi sikap manis atau perhatian yang diberikan Singto pada krist.

Malam ini, setelah beradu pendapat dengan batinnya, Krist memilih pergi menyusul Singto menuju kantor. Namun, ia melihat Singto baru saja memasuki mobil. Krist yang datang dengan taksi langsung mengatakan pada sopir, untuk mengikuti mobil Singto.

Mobil tersebut  dikemudikan oleh Singto sendiri, tidak ada orang lain didalam sana. Saat mobil tersebut berhenti di sebuah club malam, Krist mengerutkan keningnya.

"Jadi, setiap malam kau disini?" Gumam Krist sendirian.

"Tuan?" Tanya sopir taksi yang membuyarkan lamunan Krist.

"Ah maaf..." Ujar Krist yang langsung menyodorkan sejumlah uang kepada sang sopir.

Krist turun dari taksi mengikuti langkah Singto. Selama ia hidup, sepertinya  Krist baru kali ini masuk kedalam sebuah club malam. Hingar bingar musik pengiring di dalam gedung membuat Krist merasa sedikit stres. Suara musik yang begitu keras dan keramaian disana bisa membuat orang merasa pusing jika tidak terbiasa. Krist melihat Singto duduk didepan meja bartender, ia memilih duduk di meja yang tak jauh darinya untuk mengawasi.

"Tuan? Apa yang anda pesan?" Tawar seorang pelayan cantik dengan pakaian minimalis yang menunjukkan lekuk tubuh.

"Tidak-tidak. Aku belum menginginkan sesuatu." Ujar Krist sopan, "Oh maaf. Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Krist tanpa mengurangi kesopanannya kepada sang wanita.

"Tentu tuan..."

"Lelaki itu sering kemari?" Krist menunjuk ke arah Singto yang tampak menikmati minuman beralkohol sendirian.

"Tuan Singto? Eum, dua minggu terakhir hampir setiap harinya." Jawab si cantik.

"Bersama seseorang?" Tanya Krist penasaran.

"Tidak tuan, beliau selalu menolak siapapun bahkan gadis tercantik." Ujar pelayan cantik tersebut, "Apa anda mengenalnya?" Tanyanya karena Krist terlihat mengenal Singto.

"Sedikit." Benar jika Krist hanya mengatakan sedikit, karena kenyataannya ia memang tidak mengetahui apapun tentang lelaki yang sudah menjadi suaminya.

Beberapa menit setelah si pelayan pergi, terlihat Singto di hampiri seorang perempuan. Oh itu bukan seorang namun tiga perempuan cantik sekaligus

"Phi..." lirih Krist melihat salah seorang perempuan langsung mendudukkan dirinya di atas pangkuan Singto. Ia sudah melihat sedari awal, Singto melakukan penolakan dan perempuan-perempuan itu yang tampak memaksa meskipun sudah di tolak. Meskipun Singto tidak menanggapi godaan-godaan itu, tetap saja ada rasa aneh yang menyerang dada Krist.

Kesal karena perempuan itu tidak segera turun dari atas pangkuan Singto, meskipun sang suami sudah mendorong tubuh itu untuk menjauh, Krist memilih melangkah mendekat.

Krist langsung menarik lengan si cantik yang duduk manis di atas pangkuan Singto begitu ia sudah di samping gerumunan itu, "Menjauh dari suamiku!" Ujar Krist kesal setelag berhasil membuat si cantik turun dari tempat yang tidak seharusnya.

"Siapa suamimu?" Tanya Singto kepada Krist.

Krist mengerutkan keningnya, "Tentu saja kau suamiku!" Kesal Krist karena pertanyaan Singto.

"Hah?" Singto beranjak dari duduknya, meninggalkan beberapa lembar uang ke atas meja, "Jangan bercanda!" Bisiknya sebelum berjalan pergi meninggalkan Krist yang membeku.

Melihat Singto meninggalkan dirinya, dengan langkah cepat ia segera menyusul langkah sang suami yang sudah berjalan menuju tempat parkir.

Krist ikut masuk ke samping kemudi, begitu Singto masuk di bagian kemudi mobilnya, "Apa? Aku kemari dengan taksi, ini sudah sangat larut dan tidak ada taksi!" Protes Krist setelah melihat Singto menatapnya tajam.

"Phi..." Panggil Krist begitu mobil sudah mulai melaju.

Krist melihat Singto tak bergeming, "Phi..." Panggilnya lagi namun sang suami benar-benar tidak memberikan jawaban.

"Bagaimanapun kau tetap suamiku." Ujar Krist tiba-tiba. Ia tidak peduli jika Singto tidak memberikan jawaban.

"Kau itu suamiku jadi berhenti berkeliaran di club seperti tadi, aku sudah menunggumu di rumah. Kenapa masih mampir?" Krist meluncurkan protesnya tanpa menatap Singto. Ia mengatakannya dengan perasaan kesal, seolah sang istri tengah merajuk.

"Aku tau..." Krist tidak melanjutkan apa yang ingin ia katakan, suaranya tiba-tiba tercekat saat mengingat bagaimana awal mula mereka bertengkar. "Ah, hujan..." Krist baru menyadari jika langit baru saja menuangkan air, membuat ia mengalihkan perhatiannya.

"Haaahhh..." Krist menghela nafas panjang, "Aku tau aku salah, aku minta maaf. Seharusnya aku tidak meminta bantuan Godt untuk memasang sprei ataupun memasukkannya ke dalam kamar pribadi kita." Ujar Krist masih belum menatap Singto, namun sang suami sepertinya berniat menutup mulutnya rapat-rapat.

"Kau dengar? Aku minta maaf, jadi jangan marah lagi. Pulanglah tepat pada waktunya, rumah itu sangat sepi." Ujar Krist dengan sedikit kekesalan di awal dan lirih di akhir kalimat.

"Ayo sekamar lagi! Aku tidak mau memiliki kamar sendiri." Ucap Krist seolah malu untuk mengatakannya, bahkan ia menunduk.

"Phi? Kau dengar aku?" Krist menatap Singto, lelaki disampingnya itu bahkan tidak melirik ke arah Krist ataupun memberikan ekspresi apapun.

"Maaf." Sebuah air mata baru saja meluncur membasahi salah satu pipi Krist.

"Maaf." Ucapnya lagi dengan suara orang khas tengah menangis.

Krist menangis bahkan saat mobil sudah berhenti dan Singto turun lebih dulu meninggalkan Krist disana masih menangis.

Singto mengabaikannya, ia tetap masuk ke kamar yang berbeda. Krist yang sudah masuk kedalam rumah dan langsung menuju kamar tampak kecewa karena Singto tidak ada disana. Ia naik ke atas ranjang sebelum tiba-tiba sebuah petir mengejutkannya. 

Lampu padam karena hujan yang lebat disertai petir dan guntur. Krist benci ini, ia bukanlah seorang pemberani jika berhadapan dengan kondisi seperti ini.

Singto berjalan menuju kamar Krist, membuka pintu kamar tanpa permisi dan menemukan seseorang tengah sembunyi di balik selimut tebalnya, suara tangisan dari balik selimut. Itu adalah Krist yang merasa takut.

"Krist?" Sapa Singto begitu melihat gundukan selimut, ia membawa sebuah lilin di tangan kanannya.

Singto meletakkan lilin itu ke atas nakas di samping tempat tidur Krist, sebelum ia duduk ditepi tempat tidur.

"Krist?" Sapa Singto sekali lagi.

"Phi! Aku takut!" Krist sudah membuka selimut sebelum menghamburkan tubuhnya untuk memeluk Singto dengan wajah basah air mata. Singto merasakan jika tubuh Krist masih sedikit bergetar karena takut.

"Maafkan aku! Aku tidak akan melakukan kesalahan lagi, jangan pisah kamar! Aku tidak mau sendiri!" Ujar Krist disela-sela tangisannya.

"Maaf phi..." Lirihnya didalam pelukan Singto.

"Hmmm... aku disini... jangan takut lagi dan jangan melakukan kesalahan yang sama atau aku akan pergi hingga kau tidak bisa menjangkau ku, oke?"

TEBECEH

Benci Bilang Cinta (SK) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang