Delapan

24 3 0
                                    

Untuk apa memaksa memiliki, jika hanya diri yang dicari, namun hati tak pernah ada disisi.

Lala.

• • • •

Keheningan selalu menghilang kala jam kosong diberitakan. Apalagi di hari Senin seperti ini. Berganti riuh sorai para siswa yang menantikan waktu santai itu. Lumayan, dua jam. Ada yang mendengarkan musik, ada yang menyusun tiga bangku menjadi satu untuk dijadikan kasur ala ala, ada yang corat coret di bor, bahkan ada yang menyeduh kopi di kulkas kelas, dan yang paling parah ya mereka yang pacaran di pojokan sana.

"La, ga mau gabung bikin kopi sama kita-kita, nih?" tanya Arrayan Micael, si anak sok cool itu, ganteng sih, tapi aslinya, hiperaktif banget. Sepertinya dia memperhatikanku yang hanya memainkan headset sedari tadi, "Temen-temen lo udah kumpul disana tuh" telunjuknya mengarah ke sudut kanan kelasku.

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Rayan, "Loh dari tadi gue sendirian?" aku menatap sekitarku yang sudah kosong, teman-temanku sudah berhamburan entah kemana.

Rayan tersenyum menatapku "Baru sadar? Hahaha, makanya ayo buruan, gabung!" ajaknya yang tiba-tiba menarik lenganku terburu-buru membuat kakiku berbenturan dengan kaki meja.

"E eeeh! Pelan-pelan!" cetusku kasar.

Rayan berbalik ke arahku, tatapannya bertemu dengan kedua mataku. Membuat waktu terhenti beberapa detik "Sorry, La"

Seisi kelas menoleh kearahku dan Rayan, membuatku keki setengah mati. Menahan sakit yang tak seberapa, namun harus menahan malu karena hal bodoh ini. Rayan terkekeh pelan. Dasar manusia suka cari gara-gara.

"Untung mejanya ga patah" ungkap Rayan yang segera menunduk mengusap-usap meja yang berbenturan dengan kakiku.

Aku geleng-geleng melihat kelakuannya, "Ga waras" pungkasku, lalu mengambil langkah untuk meninggalkannya.

"Kok kalian ninggalin gue sendirian sih?" protesku pada ke lima temanku itu, juga geng Rayan yang turut bergabung disana.

"Orang dipanggil berkali-kali juga ga noleh" sahut Adel yang duduk di lantai bersebrangan denganku.

"Emang siapa yang manggil gue?" tanyaku masih dengan nada yang tidak santai sama sekali.

"KITAAAA" sahut mereka kompak.

Aku hanya tertawa pelan ditimpali protesan-protesan usil dari mereka.

"Ayo, La, racikin kopi buat kita!" pinta Rayan semangat.

Mataku menyorotnya tajam "Oh, jadi sebenernya lo ajak gue kesini cuma mau nyuruh gue buat racikin kopi, gitu?"

"Ga gitu, La" sela Abay, salah satu anggota geng AKAR (Arrayan, Kenan, Abay dan Rasen). "Lo kan yang paling jago bikin kopi ala barista" rayunya.

Aku dan ke 5 sahabatku, sangat akrab dengan geng mereka, mungkin, karena satu kelas? Ya walaupun akrabnya hanya di situasi-situasi tertentu saja. Seringnya sih, adu mulut. Apalagi Putri dengan si Rasen. Kalau di ibaratkan nih, mereka sudah seperti tom and jerry di dunia nyata.

Awalnya, geng mereka itu hanya 4 orang. Ya mereka-mereka itu saja, yang sekelas denganku, tapi, lama-lama semakin hits dan tersorot di sekolah, jadi anggotanya terus bertambah, katanya sih, yang boleh gabung cuma yang ganteng-ganteng plus bisa berantem aja. Ah, tapi mereka juga bukan geng sih. Sama seperti aku dan sahahat-sahabatku, yang ketika berkumpul pasti ada di satu titik yang sama. Bedanya, lebih serem aja kalo mereka lagi bergerombol mau nyerang sekolah lain yang cari masalah. Yang gitu sih, namanya geng, ya? Yaudah deh, terserah kalian mau nganggap mereka geng apa bukan.

   CanderasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang