Dua Belas

12 3 0
                                    

Percaya pada satu hati karena memang hanya dirinya yang memberi arti. Bukan ia yang sekedar memberi janji, berpura-pura lupa, lalu pergi dengan senang hati.

Lala.

• • • • •

Kembali ku sapa lembut kabut yang mendekapku. Mentari masih tersipu melihat Ayahku melajukan mobilnya sepagi itu. Tentu saja, untuk mengantarku.
Jalanan lengang turut mempersilahkannya. Yang seharusnya kota ini terasa dingin di pagi hari, tidak sama sekali jika bersamanya. Hangat. Dengan candanya, nasihatnya, pelukannya. Dirinya.

Dia yang tak pernah menyuruhku melakukan apa, namun selalu memperlihatkan perbuatan baik untuk aku menirunya. Segala keterbatasan yang selalu ia katakan tak ada yang terlihat oleh kasatku, tak ada yang terdengar oleh telingaku. Dia tetap kekuatan baru bagi diriku. Satu kali ia bernafas, satu kali pula ia membuat benteng perlindungan untukku. Semakin jauh langkahnya, semakin bangga aku menjadi putri kecilnya.

"Yah, Lala boleh tanya ga?"

Matanya melirikku sebentar, "Nanya apa?"

"Kenapa Ayah milih jadi abdi negara?" tanyaku, "Padahal resiko sama tanggung jawabnya kan besar"

Ia mengangguk dan tersenyum ramah.

"Ini cita-cita Ayah?" tanyaku lagi.

Terdengar tawa kecil dari mulutnya, "Waktu kecil cita-cita Ayah pengen jadi pilot"

"Terus?"

"Ga diizinin sama kakek kamu"

"Kenapa?"

"Biayanya mahal"

"Oh... Terus?"

"Dulu, didikan kakek ke Ayah sama Om-om kamu itu keras banget. Hidup kami serba pas-pasan"

Mataku menatap penuh pada Ayah, tak sabar untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

"Ayah inget banget, dulu Ayah sering liat nenek kamu nangis karena kehabisan uang buat beli lauk"
"Nenek meluk kami sambil terus nangis"

"Terus, Yah?"

"Kamu ini daritadi teras teros teras teros"

"Hahahaha"
"Sorry, Yah, abis Lala penasaran sih, lanjutin" rengekku.

"Yaudah, dari situ Ayah janji sama diri Ayah sendiri"

"Janji apa?"

"Ayah gamau liat istri sama anak-anak Ayah nangis kesusahan" tuturnya sendu, "Ya memang sih beberapa tahun setelahnya usaha kakek kamu mulai maju. Ayah beraniin diri buat bilang sama kakek kalo setelah lulus sekolah, Ayah mau ikut pendidikan abdi negara"

"Terus diizinin?"

"Ga langsung diizinin gitu aja"
"Banyak banget pertimbangan yang kakek kasih buat Ayah"
"Ayah dulu sempet marah, tapi nyatanya, semua itu jadi salah satu pelajaran dan kekuatan buat hidup Ayah sekarang"

"Terus, masalah resikonya Yah?"

"Dalam hidup, udah seharusnya kita berani ngambil resiko dari apa yang udah kita pilih, La"
"Begitupun Ayah, ketika Ayah milih jadi abdi negara, artinya Ayah udah siap dengan resiko apapun nantinya"

"Terus, menurut Ayah, apa enak terus-terusan ninggalin orang-orang yang Ayah sayang? Apalagi sekarang, Ayah cuma bisa pulang seminggu sekali bahkan kadang sebulan sekali" tuturku.

"Nah, disitulah kekuatan terbesarnya. Saat harus berpisah dengan orang-orang yang dicintai. Hebat, kan?" jelas Ayah, terukir sebuah senyuman di bibirnya, "Gini La, kadang yang lebih menyakitkan itu saat kita harus meninggalkan, bukan ditinggalkan"

   CanderasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang